Mubadalah.id – Apa yang pertama kali terlintas di pikiran anda setelah mendengar kata feminis atau feminisme? Beragam persepsi pastinya akan muncul dan mungkin akan berbeda pada setiap kepala. Dulu ketika pertama mendengar kata itu, persepsi yang muncul dalam kepala saya adalah tentang perempuan. Saya mengira bahwa feminis tak lain adalah feminim yang kerap digunakan untuk mengambarkan tentang perempuan.
Gambaran itu berupa kelembutan, kesabaran, kebaikan, ngemong dan lainnya yang merupakan lawan kata dari maskulin yang digunakan untuk mengambarkan laki-laki. Saya mengamini tentang gambaran umum yang melekat pada perempuan. Dalam persepsi saya perempuan memang harus punya sifat-sifat semacam itu dan akan gak ilok ketika itu tidak ia punya. Padahal feminis sendiri merupakan kesetaraan sosial, politik dan ekonomi untuk kedua jenis kelamin.
Gambaran umum tentang perempuan yang saya peroleh dari cerita tunggal di mana saya tumbuh ialah selalu mengerjakan pekerjaan domestik yang lekat urusannya dengan sumur, dapur dan kasur. Sedangkan laki-laki dengan bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Saya memandang bahwa hal semacam itu merupakan kodrat, dan ketika itu tidak berjalan pada rulesnya itu tidak baik.
Ketika saya menikah, pesan yang disampaikan oleh ibu saya adalah bahwa istri harus selalu menurut kepada suami, kepentingan suami adalah hal utama dan tugas istri adalah melayani suami dengan sebaik mungkin. Sayapun menuruti pesan-pesan yang diberikan, karena saya setuju dengan yang mereka sampaikan.
Dulu saya kerap merasa sangat rikuh dan tak nyaman ketika suami saya menyapu atau mencuci piring bekas dia makan. Meski sebenarnya itu merupakan hal yang sangat wajar. Sayapun kerap berterimakasih pada suami ketika dia memandikan anak atau telah menjaganya. Ucapan terimakasih sebagai bentuk apresiasi kepada suami atas “bantuan” yang diberikan nyatanya telah memarjinalkannya sebagai seorang ayah. Bagaimana tidak, bukankah seorang ayah adalah sebuah kata kerja yang berlaku pula untuk seorang ibu.
Dalam praktik keseharian, tentunya saya sangat kewalahan untuk menyelesaikan pekerjaan domestik, mengurus anak dan sesekali menyelesaikan pekerjaan di ranah publik. Ditengah rasa lelah, perasaan berkorban untuk keluarga begitu terasa. Peran gander yang lahir dari konstruksi sosial ini memang begitu memberatkan untuk perempuan dan juga laki-laki.
Beberapa dari rekan perempuan saya yang telah menjadi istri dan ibu menganggap memang seperti itulah tugas dan tangung jawab seorang perempuan yang telah menikah. Meski ia bekerja di luar rumah, pekerjaan domestik tetaplah menjadi tangung jawab utamanya. Di sisi lain laki-laki yang sudah menikah harus selalu kuat untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Konstruksi sosial yang sudah tersosialisasikan secara evolusional ini menghasilkan perbedaan gender yang kemudian melahirkan ketidakadilan.
Tentu saja ketidakadilan gender yang terjadi dalam realitas kehidupan berumah tangga semacam ini bukanlah hal yang baru. Sebagian besar mungkin tidak menyadari problematika ini. Sayapun demikian, butuh proses yang panjang untuk menyadari bahwa hal semacam ini adalah sebuah problematika.
Problematika gender yang terjadi dalam sebuah hubungan rumah tangga ini tidak hanya sebatas beban kerja untuk perempuan dan kemarjinalan untuk laki-laki sebagai ayah. Ada banyak hal yang lahir dari problematika seperti ini. Yang saya rasakan sebagai seorang perempuan problematika gender ini melahirkan sebuah premis bahwa perempuan selalu di bawah laki-laki. Hal ini berakibat pada rasa percaya diri sehingga potensi dalam diri tak dapat berkembang secara maksimal. Dari premis semacam itu juga melahirkan seksis yang tentunya akan melemahkan dan menghilangkan posisis serta nilai perempuan di lingkungan.
Tak cukup hanya disitu, problematika gender juga melahirkan persolan berat dari berbagai sektor. Dari sektor politik, problematika ini melahirkn subordinasi pada kaum perempuan di hadapan laki-laki dalam pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan.
Dalam sektor ekonomi, problematika gender melahirkan marginalisasi yang lebih sering menimpa perempuan. Proses marginalisasi terjadi dalam kultur, birokrasi, maupun program-program pembangunan yang secara tidak terasa meminggirkan keberadaan kaum perempuan.
Problematika gender juga membentuk streorotip terhadap perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap kaum perempuan. Selain itu juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan dalam bentuk fisik maupun mental.
Saya rasa ada banyak persoalan yang terjadi bersumber pada ketidakadilan gender. Menjadi feminis adalah cara untuk memperbaiki persoalan gender yang terjadi. Dengan menginternalisasi nilai-nilai feminis dalam diri setiap manusia akan melahirkan tindakan lebih baik dan lebih bijak. Termasuk dalam relasi berumah tangga. Bagaimana menurut Anda, apakah setuju bahwa feminis itu penting?