Dimasukannya RUU Ketahanan Keluarga dalam Prolegnas DPR-RI periode 2019-2024, mengundang reaksi keras dari kelompok perempuan khususnya yang selama ini memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Pertanyaan paling mendasar apakah kita memerlukan UU Ketahanan Keluarga dan seberapa relefan RUU tersebut dengan realita keluarga Indonesia saat ini?.
Keluarga memang menjadi arena pertarungan terbesar bagi banyak kepentingan, sebagaimana keluarga juga merupakan ranah paling penting bagi perjuangan kedaulatan perempuan selama ini. Bahkan UN-WOMEN dalam laporan kemajuan perempuan tahun 2019-2020, memfokuskan pembahasannya secara komprehensif tentang keluarga melalui publikasi “Families in the Changing World”.
Ketika Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) mulai digagas dan dikembangkan di Indonesia tahun 2001 yang lalu, pertarungan ideologi tentang keluarga merupakan tantangan terberat yang kami hadapi. Data statistik Indonesia tidak merekam secara spesifik tentang keluarga karena menggunakan pendekatan rumah tangga (household). Keluarga merupakan lembaga sosial universal yang berkembang berdasarkan kebutuhan manusia terkait dengan kegiatan seksualitas, reproduksi dan pemenuhan kebutuhan hidup.
Di dalam keluarga terbangun hubungan produktif, reproduksi, dan distribusi dengan struktur kekuasaan serta hubungan ideologis dan emosional yang kuat. Meskipun dalam keluarga ada pembagian tugas dan kepentingan bersama, namun setiap anggota keluarga memiliki kepentingan sendiri yang ditentukan oleh posisi mereka dalam peran produktif, reproduksi, dan relasi kekuasaan.
Rumah tangga adalah unit tempat tinggal dihuni satu atau lebih keluarga yang berbagi sumber daya reproduksi dan produksi, termasuk tempat tinggal dan makanan, serta aktivitas sosial lainnya. Umumnya anggota dalam satu rumah tangga memiliki hubungan kekerabatan dan perkawinan.
Trend satu rumah tangga memiliki anggota tanpa hubungan kekerabatan juga semakin meningkat karena alasan ekonomi, pendidikan dan kebencanaan. Trend lainnya adalah terpisahnya anggota keluarga kedalam dua atau lebih rumah tangga realita keluarga Indonesia lainnya, misalnya keluarga pekerja migran serta keluarga dalam perkawinan poligami.
Komposisi keluarga sangat dinamis dan berkembang mengikuti tantangan peradaban dunia. Laporan UN WOMEN mengidentifikasi lima formasi keluarga didunia saat ini. Keluarga yang secara tradisional terdiri dari pasangan dengan anak-anak dalam semua umur secara global hanya 38%, sementara di Asia Tenggara 36%.
Format “keluarga besar” (extended family) masih bertahan yaitu sekitar 27%, sedangkan trend keluarga hanya pasangan saja, hidup sendiri, orang tua tunggal dan hidup bersama tanpa hubungan keluarga, cenderung semakin meningkat.
Indonesia memiliki komposisi keluarga yang lebih beragam. Misalnya data PEKKA menunjukkan bahwa hampir 25% keluarga di Indonesia kepalai perempuan dengan 6 variasi formasi keluarga yaitu ibu dengan anak, nenek dengan cucu, perempuan dengan saudaranya, perempuan dengan keponakan, perempuan hidup sendiri, dan perempuan hidup dengan teman perempuannya.
PEKKA juga menemukan bahwa beberapa anggota keluarga yang dikepalai perempuan tidak jarang menempati lebih dari satu rumah tangga karena kemiskinan mereka. Misalnya Ibu tinggal dirumah tangga lain sebagai pekerja rumah tangga baik di dalam maupun diluar negeri, meninggalkan anaknya dirumah tangganya sendiri.
Selain itu, realita keluarga Indonesia juga diwarnai dengan ketidakadilan terhadap perempuan. Pertama, Formasi keluarga dan kedudukan perempuan didalamnya. Ideologi patriarchy yang mendasari pembentukan keluarga telah menempatkan perempuan dalam posisi sub-ordinat didalam keluarga.
Misalnya pengukuhan laki-laki sebagai kepala keluarga didalam UU Perkawinan berpotensi menghambat berkembangnya relasi kuasa yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perempuan tidak memiliki kendali bahkan atas tubuhnya sendiri, terbatas akses terhadap berbagai sumberdaya termasuk ekonomi, pendidikan dan informasi.
Kedua, Perempuan sebagai pencari nafkah dalam Keluarga. Perempuan terlibat aktif bahkan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Perempuan dalam keluarga miskin harus bekerja keras di sektor informal dengan pendapatan yang tidak memenuhi standar hidup layak, sementara peran reproduksi perempuan kerap dijadikan alasan untuk mendiskriminasi upah dan karir perempuan di dunia kerja.
Ketiga, Peran Pengasuhan dalam Keluarga dan Masyarakat. Perempuan memegang peran utama dalam pengasuhan dan perawatan anggota keluarga. Laporan UN WOMEN menunjukkan bahwa secara global, perempuan melakukan perawatan dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar tiga kali lebih banyak daripada laki-laki. Kemiskinan, keterpencilan dan memiliki anak-anak yang masih kecil memberikan beban kerja perawatan tak berbayar yang intensif bagi perempuan, sehingga tidak sempat untuk mengurus dirinya sendiri.
Keempat, Kekerasan terhadap perempuan didalam keluarga. Ketidaksetaraan gender dalam keluarga yang didasarkan pada norma sosial mengutamakan hak dan dominasi laki-laki, tuntutan kepatuhan perempuan dan kewajibannya menjaga keharmonisan keluarga, serta ketergantungan ekonomi perempuan terbukti menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan didalam keluarga dan pecahnya keluarga.
Dengan demikian, RUU Ketahanan Keluarga sesungguhnya tidak relevan karena mengabaikan realita keluarga dan kondisi perempuan Indonesia. Negara harusnya memastikan setiap anggota keluarga Indonesia termasuk perempuan dan anak dapat mengembangkan potensinya guna merespon tantangan kehidupan yang dihadapi dan terlindungi dengan memaksimalkan instrumen hukum yang sudah ada seperti CEDAW, UU-PKDRT, dan UU Perlindungan Anak.
Selain itu penting bagi negara untuk memastikan statistik sensitif gender agar dapat merekam dengan akurat kondisi keluarga di Indonesia sebagai basis membuat kebijakan, mengembangkan program dan mengalokasikan anggaran pembangunan yang ramah dan melindungi berbagai format keluarga Indonesia.
Negara sebaiknya fokus pada kewajiban melindungi setiap keluarga dan anggota nya di Indonesia, memastikan layanan publik yang murah, mudah dijangkau, inklusif dan berkualitas khususnya terkait kesehatan reproduksi, pendidikan dan perawatan bagi setiap anggota keluarga Indonesia.
Akses setiap anggota keluarga termasuk perempuan terhadap sumber pendapatan dan pekerjaan yang layak akan membantu mempercepat keluarga keluar dari kemiskinan dan ketertinggalan. Oleh karena itu, negara harus memastikan laki-laki maupun perempuan berperan setara dalam kegiatan pengasuhan dan perawatan dalam keluarga serta menegakkan hukum untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam keluarga. []