• Login
  • Register
Sabtu, 13 Agustus 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Apakah Nadran Bertentangan dengan Ajaran Islam?

Abdul Rosyidi Abdul Rosyidi
15/10/2018
in Aktual
0
48
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Nadran atau sedekah laut sedang menjadi pembicaraan hangat. Linimasa saya dibanjiri berita-berita terkait hal itu. Beberapa hari belakangan, di salah satu grup WA yang saya ikuti pun ramai sekali pembicaraan mengenai tradisi yang satu ini. Berita terakhir di Bantul membuat saya sangat prihatin.

Ya, saya terhenyak membaca berita pengrusakan persiapan nadran di Bantul, akhir pekan kemarin. Dari sekian barang bukti, ditemukan spanduk bertuliskan “Kami Menolak Semua Kesyirikan Berbalut Budaya, Sedekah Laut atau Selainnya.”

Dalam kacamata para perusak ini. Sedekah laut dan semacamnya tak lebih dari sebuah bentuk kesyirikan.

Sebelumnya, paska bencana gempa dan tsunami melanda Palu dan sekitarnya, narasi serupa juga naik ke permukaan. Bencana tersebut terjadi karena kesyirikan warga. Karena azab.

Momentum tersebut sepertinya dimanfaatkan segelintir orang untuk mendapuk untung. Narasi kesyirikan sedekah laut terus bermunculan di daerah lain.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Keluarga Satu Visi Ala Nabi Ibrahim As (4)
  • Fiqh Itu Tidak Statis
  • Tegas! Nabi Melarang Menyakiti Warga Non-Muslim
  • Keluarga Satu Visi Ala Nabi Ibrahim As (2)

Baca Juga:

Keluarga Satu Visi Ala Nabi Ibrahim As (4)

Fiqh Itu Tidak Statis

Tegas! Nabi Melarang Menyakiti Warga Non-Muslim

Keluarga Satu Visi Ala Nabi Ibrahim As (2)

Logika awam sudah cukup untuk memahami bahwa ada yang bergerak secara sistematik memanfaatkan isu ini.

Isi pesannya kurang lebih sama, sedekah bumi, larung saji, nadran, dan sebagainya harus dilarang karena penuh kesyirikan. Dan kesyirikan itulah yang menyebabkan banyak bencana di Indonesia.

Padahal, banyaknya bencana yang terjadi lebih karena Indonesia berada di jalur cincin api. Juga tempat bertemunya lempeng-lempeng bumi yang terus bergerak. Bukan karena azab atas dosa sekelompok orang.

Tapi di sini saya hanya akan menulis tentang nadran dan sedekah bumi. Tak akan memperdalam kecurigaan apakah ada gerakan kepentingan di balik muncul ramainya narasi tentang penolakan nadran tersebut.

Sebelumnya saya ingin menjelaskan, saya adalah santri yang lahir dan dibesarkan di daerah pesisir utara Cirebon. Sedikit banyaknya saya tahu ritual nadran dan sedekah bumi itu seperti apa. Saya juga sedikit mengerti ada di bagian mana Islam dalam tradisi ini.

Nadran dan sedekah bumi adalah lambang rasa syukur manusia pada Tuhan. Pada zat Yang Maha Kuasa, yang memberi manusia kehidupan, memelihara bumi tempat kehidupan, dan yang melimpahkan rizki.

Ritual tersebut adalah bahasa simbolik dari kesadaran yang begitu dalam bahwa manusia hanyalah hamba. Yang tak punya kuasa tanpa kuasaNya.

Sebuah laku kolektif yang mungkin susah untuk dipahami kita di zaman ini yang banyak melihat sesuatu hanya dari aspek materialnya belaka.

Baca juga: Prinsip Kesalingan dalam Kearifan Lokal Masyarakat Minangkabau

Tapi bagi orang-orang di kampungku, nadran dan sedekah bumi itu semudah kita memahami bahwa kalau kita mengambil/menerima maka kita juga harus memberi. Inilah prinsip timbal balik atau mubadalah di dalam ritual nadran.

Prinsip yang menjadi kunci ajaran kebaikan agama-agama di dunia. Tak terkecuali Islam.

Kalau kita setiap hari mengambil makanan dari laut dan bumi, maka sudah seharusnya kita juga memberi kepada mereka. Yang juga secara otomatis sebagai ungkapan syukur kepada yang mempunyai dan menguasai laut dan bumi.

Itu filsafat masyarakat kita dahulu kala. Kearifan yang sejalan dengan ajaran Islam untuk berbuat baik kepada setiap makhluk. Dan bersyukur atas setiap nikmat yang telah dianugerahkan.

Lalu bagaimana caranya kita membalas kepada zat yang sudah memberi kita terlalu banyak?

Setiap embusan nafas, denyut jantung, aliran darah, limpahan rizki, dan masih banyak lagi adalah pemberian Allah yang terlalu banyak untuk dibalas.

Manusia tidak akan pernah sanggup membalas kebaikan itu dengan setimpal. Bahkan jika manusia beribadah sehari semalam lamanya.

Maka yang mungkin adalah dengan laku simbolik, dengan ritual kepasrahan diri. Sebuah acara yang perlu ditata dengan makna-makna abstrak yang bersumber dari kepercayaan-kepercayaan masyarakat setempat. Nah itulah nadran dan sedekah bumi.

Tapi masalahnya kita sudah sangat terbiasa melihat sesuatu hanya dari sisi materialnya belaka? Ruhnya, semangatnya, nilai-nilai luhurnya, luput dari pandang.

Lalu muncullah mereka yang berpikiran tertutup yang melihat nadran hanya dari aspek materialnya saja. Yang kasat matanya saja.

Kemudian dengan mengatasnamakan agama menuduh syirik dan tak ragu melakukan kekerasan. Aduh, kira-kira agama mana yang mengajarkan kekerasan? Tidak ada. Islam pun tidak.

Jadi kekerasan itu datangnya dari mana?

Baca juga: Hijrah dari Fakta Kekerasan ke Fitrah Kasih Sayang

Tentu saya juga mengkritik banyak aspek dari ritual nadran dan sedekah bumi yang kian jauh dari ruhnya. Acara ini kian tahun kian terasa aroma komersialisasinya. Untuk tidak dikatakan sangat berorientasi pasar.

Muncul juga banyak hiburan yang bertentangan dengan moral publik di arena nadran. Ini juga akibat masuknya ideologi pasar tadi ke dalam arena nadran yang saban tahun dibanjiri ribuan orang. Bukan karena nadran adalah ritual syirik.

Terakhir, menurut saya, nadran dan sedekah bumi terlalu agung nilai kulturalnya untuk dihentikan hanya karena aspek-aspek negatif yang datang belakangan. Alangkah indahnya jika cara-cara Nabi dan para Wali yang welas asih itu kita teladani.

Salah satu cara yang bisa dicoba yakni dengan menghidupkan kembali nilai-nilai lama yang luhur tersebut. Masyarakat penting untuk bahu membahu mengaktualisasikan kembali nilai-nilai nadran baik dalam ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah harus ikut mendorong hal tersebut.

Saya kira, nilai-nilai di dalam nadran dan sedekah bumi tidak secuil pun bertentangan dengan ajaran Islam.[]

Tags: adatBudayadosafilsafatislamlarung sajiNadrannilairitualsedekah bumisedekah lautsyirikTradisi
Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi, editor. Alumni PP Miftahul Muta'alimin Babakan Ciwaringin Cirebon.

Terkait Posts

KUPI II

Halaqah Pra KUPI II, Langkah Awal Bangun Peradaban Damai, Adil dan Setara

10 Agustus 2022
Dukung KUPI

27 Pesantren dan Ribuan Santri Ikuti Halaqah Muda Pra-KUPI Dua

18 Juli 2022
Masyarakat Sipil

Temui Sekretaris BNPT, Masyarakat Sipil Bentuk Pokja Tematis RAN PE

12 Juli 2022
kurban

Merebut Tafsir: Hewan Kurban

11 Juli 2022
menyembelih hewan kurban

Tata Cara Menyebelih Hewan Kurban

9 Juli 2022
kurban

Rukun, Syarat dan Kesunahan Penyembelihan Hewan Kurban

9 Juli 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berbagi Suami

    Ini Bukan tentang Drama Berbagi Suami, Tapi Nyata Ada

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tegas! Nabi Melarang Menyakiti Warga Non-Muslim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Wajar Jika Perempuan Tidak Bisa Memasak, Benarkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sebagai Manusia, Sudahkah Kita Beragama?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nikah Sirri Adalah Bentuk Lain Dari Praktik Perdagangan Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Keluarga Satu Visi Ala Nabi Ibrahim As (4)
  • Sebagai Manusia, Sudahkah Kita Beragama?
  • Fiqh Itu Tidak Statis
  • Ini Bukan tentang Drama Berbagi Suami, Tapi Nyata Ada
  • Keluarga Satu Visi Ala Nabi Ibrahim As (3)

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist