• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Apakah Nadran Bertentangan dengan Ajaran Islam?

Abdul Rosyidi Abdul Rosyidi
15/10/2022
in Aktual
0
Apakah Nadran Bertentangan dengan Ajaran Islam?

Apakah Nadran Bertentangan dengan Ajaran Islam?

314
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id– Nadran atau sedekah laut sedang menjadi pembicaraan hangat. Linimasa saya dibanjiri berita-berita terkait hal itu. Beberapa hari belakangan, di salah satu grup WA yang saya ikuti pun ramai sekali pembicaraan mengenai tradisi yang satu ini. Berita terakhir di Bantul membuat saya sangat prihatin. Berikut ini apakah Nadran bertentangan dengan ajaran Islam?

Ya, saya terhenyak membaca berita pengrusakan persiapan nadran di Bantul, akhir pekan kemarin. Dari sekian barang bukti, ditemukan spanduk bertuliskan “Kami Menolak Semua Kesyirikan Berbalut Budaya, Sedekah Laut atau Selainnya.”

Dalam kacamata para perusak ini. Sedekah laut dan semacamnya tak lebih dari sebuah bentuk kesyirikan.

Sebelumnya, paska bencana gempa dan tsunami melanda Palu dan sekitarnya, narasi serupa juga naik ke permukaan. Bencana tersebut terjadi karena kesyirikan warga. Karena azab.

Momentum tersebut sepertinya dimanfaatkan segelintir orang untuk mendapuk untung. Narasi kesyirikan sedekah laut terus bermunculan di daerah lain.

Baca Juga:

Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

Logika awam sudah cukup untuk memahami bahwa ada yang bergerak secara sistematik memanfaatkan isu ini.

Isi pesannya kurang lebih sama, sedekah bumi, larung saji, nadran, dan sebagainya harus dilarang karena penuh kesyirikan. Dan kesyirikan itulah yang menyebabkan banyak bencana di Indonesia.

Padahal, banyaknya bencana yang terjadi lebih karena Indonesia berada di jalur cincin api. Juga tempat bertemunya lempeng-lempeng bumi yang terus bergerak. Bukan karena azab atas dosa sekelompok orang.

Tapi di sini saya hanya akan menulis tentang nadran dan sedekah bumi. Tak akan memperdalam kecurigaan apakah ada gerakan kepentingan di balik muncul ramainya narasi tentang penolakan nadran tersebut.

Sebelumnya saya ingin menjelaskan, saya adalah santri yang lahir dan dibesarkan di daerah pesisir utara Cirebon. Sedikit banyaknya saya tahu ritual nadran dan sedekah bumi itu seperti apa. Saya juga sedikit mengerti ada di bagian mana Islam dalam tradisi ini.

Nadran dan sedekah bumi adalah lambang rasa syukur manusia pada Tuhan. Pada zat Yang Maha Kuasa, yang memberi manusia kehidupan, memelihara bumi tempat kehidupan, dan yang melimpahkan rizki.

Ritual tersebut adalah bahasa simbolik dari kesadaran yang begitu dalam bahwa manusia hanyalah hamba. Yang tak punya kuasa tanpa kuasaNya.

Sebuah laku kolektif yang mungkin susah untuk dipahami kita di zaman ini yang banyak melihat sesuatu hanya dari aspek materialnya belaka.

Baca juga: Prinsip Kesalingan dalam Kearifan Lokal Masyarakat Minangkabau

Tapi bagi orang-orang di kampungku, nadran dan sedekah bumi itu semudah kita memahami bahwa kalau kita mengambil/menerima maka kita juga harus memberi. Inilah prinsip timbal balik atau mubadalah di dalam ritual nadran.

Prinsip yang menjadi kunci ajaran kebaikan agama-agama di dunia. Tak terkecuali Islam.

Kalau kita setiap hari mengambil makanan dari laut dan bumi, maka sudah seharusnya kita juga memberi kepada mereka. Yang juga secara otomatis sebagai ungkapan syukur kepada yang mempunyai dan menguasai laut dan bumi.

Itu filsafat masyarakat kita dahulu kala. Kearifan yang sejalan dengan ajaran Islam untuk berbuat baik kepada setiap makhluk. Dan bersyukur atas setiap nikmat yang telah dianugerahkan.

Lalu bagaimana caranya kita membalas kepada zat yang sudah memberi kita terlalu banyak?

Setiap embusan nafas, denyut jantung, aliran darah, limpahan rizki, dan masih banyak lagi adalah pemberian Allah yang terlalu banyak untuk dibalas.

Manusia tidak akan pernah sanggup membalas kebaikan itu dengan setimpal. Bahkan jika manusia beribadah sehari semalam lamanya.

Maka yang mungkin adalah dengan laku simbolik, dengan ritual kepasrahan diri. Sebuah acara yang perlu ditata dengan makna-makna abstrak yang bersumber dari kepercayaan-kepercayaan masyarakat setempat. Nah itulah nadran dan sedekah bumi.

Tapi masalahnya kita sudah sangat terbiasa melihat sesuatu hanya dari sisi materialnya belaka? Ruhnya, semangatnya, nilai-nilai luhurnya, luput dari pandang.

Lalu muncullah mereka yang berpikiran tertutup yang melihat nadran hanya dari aspek materialnya saja. Yang kasat matanya saja.

Kemudian dengan mengatasnamakan agama menuduh syirik dan tak ragu melakukan kekerasan. Aduh, kira-kira agama mana yang mengajarkan kekerasan? Tidak ada. Islam pun tidak.

Jadi kekerasan itu datangnya dari mana?

Baca juga: Hijrah dari Fakta Kekerasan ke Fitrah Kasih Sayang

Tentu saya juga mengkritik banyak aspek dari ritual nadran dan sedekah bumi yang kian jauh dari ruhnya. Acara ini kian tahun kian terasa aroma komersialisasinya. Untuk tidak dikatakan sangat berorientasi pasar.

Muncul juga banyak hiburan yang bertentangan dengan moral publik di arena nadran. Ini juga akibat masuknya ideologi pasar tadi ke dalam arena nadran yang saban tahun dibanjiri ribuan orang. Bukan karena nadran adalah ritual syirik.

Terakhir, menurut saya, nadran dan sedekah bumi terlalu agung nilai kulturalnya untuk dihentikan hanya karena aspek-aspek negatif yang datang belakangan. Alangkah indahnya jika cara-cara Nabi dan para Wali yang welas asih itu kita teladani.

Salah satu cara yang bisa dicoba yakni dengan menghidupkan kembali nilai-nilai lama yang luhur tersebut. Masyarakat penting untuk bahu membahu mengaktualisasikan kembali nilai-nilai nadran baik dalam ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah harus ikut mendorong hal tersebut.

Saya kira, nilai-nilai di dalam nadran dan sedekah bumi tidak secuil pun bertentangan dengan ajaran Islam.

Demikian penjelasan terkait apakah Nadran bertentangan dengan ajaran Islam? Semoga bermanfaat. [Baca juga: Pesantren dan Tradisi Lokal]

Tags: adatBudayadosafilsafatislamlarung sajiNadrannilairitualsedekah bumisedekah lautsyirikTradisi
Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi, editor. Alumni PP Miftahul Muta'alimin Babakan Ciwaringin Cirebon.

Terkait Posts

Marzuki Wahid

Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

6 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

6 Juli 2025
Samia

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

6 Juli 2025
Ulama Perempuan

Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

6 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan ISIF

ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

5 Juli 2025
kekerasan seksual terhadap anak

Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

18 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pernikahan Tradisional

    Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID