• Login
  • Register
Kamis, 29 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Bagaimana Al-Kindi Menyelaraskan Filsafat dan Agama?

Filosof dan filsafat berupaya untuk memberikan dalil atau argumen yang kokoh untuk mendukung serta menguatkan ajaran-ajaran agama

Abil Arqam Abil Arqam
13/01/2024
in Hikmah
0
Al-Kindi

Al-Kindi

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam diskursus keilmuan Islam, filsafat menjadi satu bahasan yang memunculkan banyak persilangan pendapat. Baik dalam kalangan para ulama, maupun khayalak awam. Hal yang utamanya menjadi persoalan ialah perihal genealogi filsafat sendiri, sebagai suatu ilmu yang lahir di peradaban Yunani dan muncul jauh sebelum kedatangan Islam.

Thales, sosok yang digadang-gadang sebagai orang yang mengawali sejarah filsafat barat hidup pada abad ke-6 sebelum masehi. Sedangkan Nabi Muhammad SAW, muncul dan membawa risalah Islam pada abad ke-7 masehi. Periode kehidupan mereka terpisah sejauh kira-kira satu abad lamanya.

Pertanyaan dan pernyataan dari filosof-filosof Yunani begitu radikal dan menyangkut perihal mendasar dalam kehidupan manusia. Beberapa dari pemikiran mereka bahkan banyak yang agaknya beririsan dengan ajaran-ajaran pokok dalam Islam. Oleh karena itu, hingga hari ini tidak sedikit ulama yang menolak dan bahkan mengharamkan ilmu tersebut.

Di lain sisi, begitu banyak ulama, khususnya yang hidup di awal-awal berdirinya dinasti Abbasiyyah, mempelajari dan bahkan ikut mengembangkan ilmu filsafat. Proyek penerjemahan karya-karya peradaban Yunani yang secara masif dilakukan pada masa pemerintahan Harus Al-Rashid dan Al-Ma’mun. Di mana fakta ini menjadi bukti betapa ilmu ini pernah mendapati posisi eminen dalam sejarah peradaban Islam.

Mengenal Al-Kindi

Bila membahas filsafat dalam diskursus keilmuan Islam, tidak pas rasanya bila melewatkan satu tokoh penting dalam sejarah filsafat Islam sendiri, yaitu Al-Kindi. Ia lahir di sekitar tahun 801 Masehi atau 175 Hijirah pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Al-Kindi yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq Al-Kindi lahir di kota Kufah dengan keluarga yang kaya dan terpandang. Ayahnya bahkan pernah menjabat sebagai gubernur Kufah pada masa kepemimpinan Al-Mahdi (775-785 M).

Baca Juga:

Islam adalah Agama Kasih: Refleksi dari Buku Toleransi dalam Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah (Part 2)

Meneladani Noble Silence dalam Kisah Bunda Maria dan Sayyida Maryam menurut Al-Kitab dan Al-Qur’an

Menjembatani Agama dan Budaya: Refleksi dari Novel Entrok Karya Oky Madasari

Ketika beranjak besar, dari Kufah Al-Kindi melangkahkan kakinya pergi menuju kota Basrah, yang pada saat itu merupakan salah satu tempat utama untuk belajar bahasa dan teologi Islam. Keilmuan al-Kindi semakin meningkat ketika ia menetap di kota Baghdad. Kota yang mashur dengan julukan  ‘kota seribu satu malam’. Di mana pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah menjadi Ibukota dan kiblat keilmuan dalam peradaban Islam.

Apa yang menarik dari Al-Kindi adalah bahwa ia mendapat julukan sebagai The Arabic/Muslim Philosopher (Filosof Arab/Muslim). Tak pelak julukan ini ia dapat karena pengaruh besarnya dalam mentranskrip karya-karya Yunani serta mengembangkannya, khususnya dalam bidang filsafat. Di samping itu, Al-Kindi merupakan ulama yang dalam karyanya berusaha untuk menyelaraskan agama dengan filsafat.

Tantangan yang Dihadapi Al-Kindi

Dalam upayanya untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu filsafat, Al-Kindi setidaknya menghadapi dua tantangan.

Pertama, begitu banyak kata-kata dalam Bahasa Yunani yang tidak memiliki padanan kata dengan Bahasa Arab. Oleh karena itu, Al-Kindi menciptakan kata-kata baru dalam Bahasa Arab. Salah satu contohnya adalah dengan menambahkan iyah di akhir kata untuk menjelaskan abstraksi istilah Yunani ke dalam Bahasa Arab. Seperti misalnya kata al-mahiyah (dari kata ma huwa) untuk menggambarkan arti dari kata esensi (to ti esti) dalam Bahasa Yunani.

Kedua, bahwa ketika itu banyak yang berpendapat bahwa ilmu filsafat adalah ilmu yang sesat dan bid’ah serta bukan berasal dari ajaran Islam sendiri. Untuk menjawab berbagai tuduhan semacam ini, Al-Kindi membuat suatu pernyataan yang agaknya menarik, yang ia tulis dalam karya magnum opus-nya, Risalah Al-Kindi Al-Falsafiyyah,

“Kita seharusnya tidak merasa malu untuk mengakui suatu kebenaran dan memungutnya dari mana pun kebenaran itu berasal, baik dari kaum-kaum terdahulu maupun dari bangsa asing. Bagi seorang yang ingin mencari kebenaran, tiada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mendapatkan kebenaran dari orang lain, tidaklah akan menurunkan derajat sang pencari kebenaran tersebut, tetapi justru membuatnya semakin terhormat dan mulia.”

Selain itu, dalam kitab yang sama, dengan terang al-Kindi menyatakan bahwa ilmu yang paling tinggi derajatnya dan paling mulia kedudukannya serta sebagai suatu pencapaian terbesar bagi umat manusia adalah ilmu filsafat. Yakni, ilmu yang membahas mengenai hakikat atau kebenaran segala sesuatu  dengan kadar potensi dan kemampuan manusia.

Metafisika

Secara spesifik, Al-Kindi kemudian mengatakan bahwa dalam rumpun ilmu filsafat, ilmu metafisika adalah ilmu yang memiliki kedudukan paling tinggi. Ia menyebutnya sebagai Al-Falsafah Al-Ula atau Proto Filosofia dalam Bahasa Yunani.

Menurutnya, metafisika sebagai ilmu yang membahas hal-hal melampaui fisiknya, mencoba mengulik dan mencari illat (sebab) atas segala sesuatu untuk. Karenanya, ilmu tentang tentang illat lebih penting daripada ilmu tentang ma’lul (akibat).

Dalam hal ini, Al-Kindi akan banyak mengaitkan metafisika dengan ilmu ketuhanan sebagai entitas pertama dan utama yang menjadi sebab dari adanya berbagai entitas lain di dunia ini. Hal inilah yang barangkali membuat Al-Kindi dengan getol ingin mempertemukan filsafat dengan agama.

Menurut Geroge Atiyeh, Al-Kindi sesungguhnya ingin membuktikan bahwa filosof dan ilmu filsafatnya tidak memiliki tujuan untuk menolak dan menunjukkan kekeliruan di balik agama dan wahyu. Jauh melampaui itu, filosof dan filsafat berupaya untuk memberikan dalil atau argumen yang kokoh untuk mendukung serta menguatkan ajaran-ajaran agama.

Terakhir, kaul dari al-Kindi yang satu ini agaknya menjadi satu pernyataan yang tegas terhadap mereka yang menolak dan bahkan mengharamkan filsafat,

“Bila orang-orang yang menentang filsafat menyatakan bahwa filsafat adalah perlu, maka mereka seharusnya mempelajari hal tersebut. Sebaliknya, jika mereka mengatakan bahwa filsafat tidaklah perlu, mereka harus mengemukakan alasan untuk itu serta menjelaskannya. Padahal, pemberian alasan dan penjelasan tersebut adalah bentuk dari proses berpikir filosofis.” []

Tags: agamaAl-KindifilsafatFilsufislamsejarah
Abil Arqam

Abil Arqam

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait Posts

Surah Al-Ankabut Ayat 60

Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki

28 Mei 2025
Etika Sosial Perempuan 'Iddah

Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah

28 Mei 2025
Kehidupan

Fondasi Kehidupan Rumah Tangga

27 Mei 2025
Sharing Properti

Sharing Properti: Gagasan yang Berikan Pemihakan Kepada Perempuan

27 Mei 2025
Meneladani Noble Silence

Meneladani Noble Silence dalam Kisah Bunda Maria dan Sayyida Maryam menurut Al-Kitab dan Al-Qur’an

24 Mei 2025
ihdâd

Ihdâd: Pengertian dan Dasar Hukum

24 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Terhadap Anak

    Alarm Kekerasan Terhadap Anak Tak Lagi Bisa Diabaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • #JusticeForArgo: Melawan Privilese Dalam Menegakkan Keadilan Korban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Budaya Gosip dan Stigma atas Perempuan dalam Film Cocote Tonggo (2025)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab: Apakah Perempuan Tak Boleh Keluar Malam?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kehendak Ilahi Terdengar Saat Jiwa Menjadi Hening: Merefleksikan Noble Silence dalam Perspektif Katolik
  • Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual
  • Kasus Talak di Live TikTok: Memahami Batas Sah Talak di Mata Hukum
  • Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki
  • Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID