Mubadalah.id – Dalam diskursus keilmuan Islam, filsafat menjadi satu bahasan yang memunculkan banyak persilangan pendapat. Baik dalam kalangan para ulama, maupun khayalak awam. Hal yang utamanya menjadi persoalan ialah perihal genealogi filsafat sendiri, sebagai suatu ilmu yang lahir di peradaban Yunani dan muncul jauh sebelum kedatangan Islam.
Thales, sosok yang digadang-gadang sebagai orang yang mengawali sejarah filsafat barat hidup pada abad ke-6 sebelum masehi. Sedangkan Nabi Muhammad SAW, muncul dan membawa risalah Islam pada abad ke-7 masehi. Periode kehidupan mereka terpisah sejauh kira-kira satu abad lamanya.
Pertanyaan dan pernyataan dari filosof-filosof Yunani begitu radikal dan menyangkut perihal mendasar dalam kehidupan manusia. Beberapa dari pemikiran mereka bahkan banyak yang agaknya beririsan dengan ajaran-ajaran pokok dalam Islam. Oleh karena itu, hingga hari ini tidak sedikit ulama yang menolak dan bahkan mengharamkan ilmu tersebut.
Di lain sisi, begitu banyak ulama, khususnya yang hidup di awal-awal berdirinya dinasti Abbasiyyah, mempelajari dan bahkan ikut mengembangkan ilmu filsafat. Proyek penerjemahan karya-karya peradaban Yunani yang secara masif dilakukan pada masa pemerintahan Harus Al-Rashid dan Al-Ma’mun. Di mana fakta ini menjadi bukti betapa ilmu ini pernah mendapati posisi eminen dalam sejarah peradaban Islam.
Mengenal Al-Kindi
Bila membahas filsafat dalam diskursus keilmuan Islam, tidak pas rasanya bila melewatkan satu tokoh penting dalam sejarah filsafat Islam sendiri, yaitu Al-Kindi. Ia lahir di sekitar tahun 801 Masehi atau 175 Hijirah pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Al-Kindi yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq Al-Kindi lahir di kota Kufah dengan keluarga yang kaya dan terpandang. Ayahnya bahkan pernah menjabat sebagai gubernur Kufah pada masa kepemimpinan Al-Mahdi (775-785 M).
Ketika beranjak besar, dari Kufah Al-Kindi melangkahkan kakinya pergi menuju kota Basrah, yang pada saat itu merupakan salah satu tempat utama untuk belajar bahasa dan teologi Islam. Keilmuan al-Kindi semakin meningkat ketika ia menetap di kota Baghdad. Kota yang mashur dengan julukan ‘kota seribu satu malam’. Di mana pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah menjadi Ibukota dan kiblat keilmuan dalam peradaban Islam.
Apa yang menarik dari Al-Kindi adalah bahwa ia mendapat julukan sebagai The Arabic/Muslim Philosopher (Filosof Arab/Muslim). Tak pelak julukan ini ia dapat karena pengaruh besarnya dalam mentranskrip karya-karya Yunani serta mengembangkannya, khususnya dalam bidang filsafat. Di samping itu, Al-Kindi merupakan ulama yang dalam karyanya berusaha untuk menyelaraskan agama dengan filsafat.
Tantangan yang Dihadapi Al-Kindi
Dalam upayanya untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu filsafat, Al-Kindi setidaknya menghadapi dua tantangan.
Pertama, begitu banyak kata-kata dalam Bahasa Yunani yang tidak memiliki padanan kata dengan Bahasa Arab. Oleh karena itu, Al-Kindi menciptakan kata-kata baru dalam Bahasa Arab. Salah satu contohnya adalah dengan menambahkan iyah di akhir kata untuk menjelaskan abstraksi istilah Yunani ke dalam Bahasa Arab. Seperti misalnya kata al-mahiyah (dari kata ma huwa) untuk menggambarkan arti dari kata esensi (to ti esti) dalam Bahasa Yunani.
Kedua, bahwa ketika itu banyak yang berpendapat bahwa ilmu filsafat adalah ilmu yang sesat dan bid’ah serta bukan berasal dari ajaran Islam sendiri. Untuk menjawab berbagai tuduhan semacam ini, Al-Kindi membuat suatu pernyataan yang agaknya menarik, yang ia tulis dalam karya magnum opus-nya, Risalah Al-Kindi Al-Falsafiyyah,
“Kita seharusnya tidak merasa malu untuk mengakui suatu kebenaran dan memungutnya dari mana pun kebenaran itu berasal, baik dari kaum-kaum terdahulu maupun dari bangsa asing. Bagi seorang yang ingin mencari kebenaran, tiada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mendapatkan kebenaran dari orang lain, tidaklah akan menurunkan derajat sang pencari kebenaran tersebut, tetapi justru membuatnya semakin terhormat dan mulia.”
Selain itu, dalam kitab yang sama, dengan terang al-Kindi menyatakan bahwa ilmu yang paling tinggi derajatnya dan paling mulia kedudukannya serta sebagai suatu pencapaian terbesar bagi umat manusia adalah ilmu filsafat. Yakni, ilmu yang membahas mengenai hakikat atau kebenaran segala sesuatu dengan kadar potensi dan kemampuan manusia.
Metafisika
Secara spesifik, Al-Kindi kemudian mengatakan bahwa dalam rumpun ilmu filsafat, ilmu metafisika adalah ilmu yang memiliki kedudukan paling tinggi. Ia menyebutnya sebagai Al-Falsafah Al-Ula atau Proto Filosofia dalam Bahasa Yunani.
Menurutnya, metafisika sebagai ilmu yang membahas hal-hal melampaui fisiknya, mencoba mengulik dan mencari illat (sebab) atas segala sesuatu untuk. Karenanya, ilmu tentang tentang illat lebih penting daripada ilmu tentang ma’lul (akibat).
Dalam hal ini, Al-Kindi akan banyak mengaitkan metafisika dengan ilmu ketuhanan sebagai entitas pertama dan utama yang menjadi sebab dari adanya berbagai entitas lain di dunia ini. Hal inilah yang barangkali membuat Al-Kindi dengan getol ingin mempertemukan filsafat dengan agama.
Menurut Geroge Atiyeh, Al-Kindi sesungguhnya ingin membuktikan bahwa filosof dan ilmu filsafatnya tidak memiliki tujuan untuk menolak dan menunjukkan kekeliruan di balik agama dan wahyu. Jauh melampaui itu, filosof dan filsafat berupaya untuk memberikan dalil atau argumen yang kokoh untuk mendukung serta menguatkan ajaran-ajaran agama.
Terakhir, kaul dari al-Kindi yang satu ini agaknya menjadi satu pernyataan yang tegas terhadap mereka yang menolak dan bahkan mengharamkan filsafat,
“Bila orang-orang yang menentang filsafat menyatakan bahwa filsafat adalah perlu, maka mereka seharusnya mempelajari hal tersebut. Sebaliknya, jika mereka mengatakan bahwa filsafat tidaklah perlu, mereka harus mengemukakan alasan untuk itu serta menjelaskannya. Padahal, pemberian alasan dan penjelasan tersebut adalah bentuk dari proses berpikir filosofis.” []