Mubadalah.Id– Bagaimana cara menerapkan kesetaraan gender? Pasalnya, sajatinya penerapan kesetaraan gender tak ada kaitannya antara laki-laki dan perempuan. Semuanya harus setara. Pun semua harus dilindungi dan melindungi.
Beberapa bulan yang lalu karena sebuah pekerjaan, aku harus berangkat ke Jakarta. Berangkat menggunakan kereta Minggu malam. Sampai Jakarta Senin pagi dan langsung menuju tempat janjian bersama tim sebelum kami menuju kantor yang dimaksud.
Dengan masih menenteng-nenteng tas besar modal untuk hidup di Jakarta selama seminggu, aku bertemu dengan kawan lamaku, seorang laki-laki dan juga kawan baru, seorang perempuan, yang akan menjadi tim kerja selama di Jakarta.
Setelah ngobrol sebentar, kami bertiga berjalan kaki menuju kantor yang dimaksud dan spontan kawan laki-laki langsung membawakan tas besarku yang lumayan berat itu.
Setelah berjalan beberapa saat dan ternyata lumayan jauh, aku merasa kasihan kepada kawanku itu dan berkata, “sini tasnya biar aku bawa sendiri aja”.
Lalu dia menjawab, “tidak apa-apa”, dan aku memastikan sekali lagi, “ga apa-apa sih, gantian, kan dari tadi udah kamu yang bawa”. Menariknya, kawan laki-laki itu berkata, “kenapa, apa seorang aktivis perempuan tidak mau tasnya dibawakan laki-laki?”
Hahaha, aku langsung tertawa sambil berkata, “ini bukan soal aktivis perempuan, ini soal persahabatan”. Aku yang merasa tidak enak karena dia harus repot-repot membawakan tasku, padahal aku tahu dia juga baru sampai dari perjalanan dari Bandung sejak jam 4 dini hari tadi.
Baca juga: Persahabatan Lelaki dan Perempuan
Walaupun aku juga tahu, alasan dia membantuku membawakan tas berat itu juga karena persahabatan. Karena dia tahu aku baru saja sampai dari perjalanan semalaman dengan kereta api, belum tidur, dan barusan terjebak kemacetan panjang.
“Tidak ada yang salah dengan menjadi seorang gentleman”, sambungku.
Dia tertawa dan bercerita, “soalnya ada temanku perempuan dulu yang marah kalau dibantu seperti itu, karena dia merasa dianggap lemah”. “Ah dia aja ribet sendiri”, kataku.
“Kayak tidak ada masalah yang lebih penting dan mendesak saja dari persoalan ketidakadilan gender dibanding meributkan seorang laki-laki yang tulus menawarkan bantuan. Lagian ada orang baik kok salah, rempong deh ah”. Kami pun tertawa.
Aku rasa, keinginan untuk membantu dan melindungi orang lain ada di setiap diri manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Yang dilindungi pun juga bisa laki-laki dan perempuan. Aku selalu melindungi suamiku dari hal-hal yang akan menyakitinya dan demikian pun dia juga selalu melindungiku dari hal-hal yang akan menyakitiku.
Aku pun sering melindungi teman-temanku, perempuan dan laki-laki, dan demikian pula sebaliknya, aku juga selalu mendapat perlindungan dari mereka.
Baca juga: Menjadi Perempuan
Jadi melindungi dan dilindungi bukan soal laki-laki atau perempuan, tetapi soal siapa yang lebih punya kemampuan pada waktu dan konteks tertentu. Lebih punya kemampuan pada satu waktu bisa jadi pada waktu dan konteks yang lain kurang punya kemampuan. Lebih dewasa atau kuat pada satu peristiwa bisa jadi pada peristiwa yang lain kurang bisa kuat atau tegar. Namanya juga manusia.
Itulah kenapa perempuan dan laki-laki harus saling melindungi, bukan yang satu melindungi dan yang satu dilindungi. Selalu melindungi itu tidak enak karena pada suatu saat bisa jadi kita lemah atau tidak menguasai hal tersebut, dan itu wajar sebagai seorang manusia.
Selalu dilindungi itu juga tidak enak karena kita jadi tidak memiliki kontrol atas situasi dan tidak terlatih untuk membuat keputusan dan bertanggung jawab. Yang paling enak, pas, dan seimbang, tentunya yang saling melindungi.
Tidak seperti dongeng-dongeng populer semacam Cinderella, Putri Tidur, Putri Salju, dan hampir semua dongeng lainnya yang ceritanya selalu tentang perempuan harus selalu dilindungi, dibantu, diselamatkan, sementara laki-laki harus selalu melindungi, membantu, menyelamatkan.
Bayangkan ketika dongeng-dongeng seperti itu yang selalu diceritakan kepada anak-anak atau adik-adik kita. Anak-anak perempuan akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang lebih rendah dan merasa tidak akan bisa melakukan sesuatu sendiri tanpa dibantu oleh orang lain.
baca juga: Perempuan Pun Boleh Memulai Dulu
Sementara anak-anak laki-laki akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang terlalu tinggi yang berpotensi untuk tergelincir menjadi mengontrol atau menguasai.
Tapi aku tetap setuju dengan adanya tindakan afirmasi untuk perempuan, atau sering diistilahkan dengan “diskriminasi positif”. Karena pada kenyataannya, di dunia kita sekarang ini, perempuan mengalami situasi khusus baik karena jenis kelaminnya maupun karena konstruksi gendernya.
Karena jenis kelaminnya misalnya karena perempuan bisa berada dalam situasi khusus yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui sehingga butuh perlakuan khusus. Karena konstruksi gendernya misalnya karena adanya ketimpangan relasi kuasa yang membuat perempuan dianggap nomor dua (less human), maka ada potensi kekerasan (termasuk kekerasan seksual) dan ketidakadilan terjadi padanya yang mana potensi tersebut jauh lebih besar daripada laki-laki.
Dengan alasan itu aku setuju misalnya dengan adanya gerbong khusus perempuan di commuter line, karena hal itu bisa mewadahi situasi khusus perempuan karena dua hal itu. Itulah yang dinamakan tindakan afirmasi atau diskriminasi positif.
Tindakan afirmasi lainnya seperti kuota 30 % untuk perempuan di legislatif, adanya kementerian pemberdayaan perempuan, toilet untuk perempuan harus lebih banyak dan lebih mudah dijangkau, dan seterusnya.
Baca juga: Perempuan dan Kesadaran Kemanusiaan
Berbicara soal commuter line, beberapa hari kemudian di suatu perjalanan pulang di sore hari akhirnya aku bisa mendapatkan tempat duduk di commuter line (bukan gerbong khusus perempuan) setelah sebelumnya selalu berdiri dan tergencet. Baru sekitar 5 menit menikmati kursi, ada seorang perempuan hamil memasuki gerbong, spontan aku langsung berdiri dan memberikan tempat dudukku kepadanya.
Jadi sekali lagi, melindungi dan dilindungi itu bukan soal laki-laki atau perempuan ya, itu soal situasi khusus dan soal siapa yang lebih mampu pada waktu dan konteks tertentu. Mungkin saja kan, 5 tahun lagi, aku bertemu kembali dengan Mbak yang hamil tadi dan giliran dia yang melindungi aku karena situasi dan konteks yang berbeda pada saat itu.
Demikian bagaimana cara menerapkan kesetaraan gender? Semoga pertanyaan bagaimana cara menerapkan kesetaraan gender terjawab dalam artikel di atas. []