Mubadalah.id – Sepanjang bacaan saya terhadap literatur klasik, baik fiqh, hadits maupun tafsir ahkam, tidak ditemukan pembahasan atau pernyataan langsung dari ulama mengenai hukum menindik anggota tubuh (body prieching). Prof. DR. Wahbah az-Zuahily, seorang ulama fiqh kontemporer dari Universitas Damaskus Syria, dalam magnum opusnya al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhû juga tidak menjelaskan persoalan ini. Ketika membicarakan anjuran-anjuran bagi bayi, dia hanya menyatakan dalam satu kalimat pendek:
“Menindik telinga dimakruhkan jika dilakukan pada bayi laki-laki, tetapi jika pada bayi perempuan diperbolehkan agar bisa berhias”. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut, baik mengenai pandangan ulama, dalil dan argumentasi. (az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy, I/312).
Karena itu, saya akan membahas persoalan ini dengan menelusuri persoalan lain yang sejenis dalam fiqh. Menurut saya, persoalan ‘menindik’ dalam fiqh bisa dikategorikan sama dengan persoalan-persoalan lain seputar operasi terhadap anggota tubuh, seperti sunat (al-khitân), amputasi (al-kayy) dan aborsi (al-ijhâdh) yang sudah dibahas dalam fiqh.
Penafsiran Mengenai Meninidik Anggota Tubuh
Dalam pembahasan menindik anggota tubuh ini, ada prinsip yang selalu menjadi dasar penetapan, yaitu prinsip untuk menghormati tubuh dan tidak melakukan kerusakan terhadap apapun dari tubuh manusia. Merusak salah satu anggota tubuh, sekecil apapun bentuknya, termasuk katagori pelecehan terhadap kehormatan manusia yang diharamkan.
Prinsip ini didasarkan pada ayat al-Qur’an: “Dan sungguh Kami muliakan semua anak cucu adam, Kami ciptakan mereka untuk bisa merambah daratan dan lautan, Kami anugerahkan rizki kepada mereka dari hal-hal yang baik dan Kami unggulkan mereka di atas makhluk-makhluk yang lain dengan derajat yang lebih tinggi” (QS. Al-Isra, 17: 70).
Dan ayat lain: “Dan janganlah kamu ceburkan diri kamu ke dalam kehancuran” (QS. Al-Baqarah, 2: 195). Dan diperkuat dengan sebuah teks hadits yang sangat populer “lâ dharara wa lâ dhirâr/tidak diperkenankan melakukan kerusakan baik kepada diri maupun kepada orang lain”.
Atas dasar ini Imam asy-Syawkani (w. 1255H) misalnya, menyimpulkan pandangan mayoritas ulama fiqh mengenai hukum pengobatan terhadap tubuh manusia. Pada dasarnya pengobatan harus dihindari, jika masih bisa disembuhkan dengan makanan, maka cukup dengan makanan, jika tidak cukup baru beralih dengan menelan obat, baru kemudian dengan berbekam (al-hijâmah) dan terakhir baru diperbolehkan amputasi, jika benar-benar menjadi pilihan yang paling akhir. (as-Syawkani, Nayl al-Awthâr, 9/95).
Syekh Muhammad Syaltût, seorang ulama al-Azhar Cairo, ketika berbicara tentang khitan perempuan, juga merujuk pada prinsip dasar di atas. Bahwa melukai anggota badan termasuk di dalamnya adalah khitan perempuan, hukum dasarnya adalah haram, kecuali jika dengan hal itu ada maslahat yang nyata bisa diperoleh, atau menjadi jalan keluar satu-satunya dari penyakit yang diderita.
Jika tidak ada maslahat, atau tidak menjadi jalan keluar dari suatu penyakit, maka melukai anggota tubuh adalah haram. Karena itu, dia berpendapat bahwa hukum asal khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan adalah haram. Khitan laki-laki kemudian diperkenankan karena mendatangkan maslahat, sementara khitan perempuan bisa tetap diharamkan ketika nyata tidak mendatangkan kemaslahatan. Apalagi jika sebaliknya mendatangkan bahaya yang mengancam perempuan. (Syaltut, al-Fatâwâ, hal. 302-333).
Menindik Anggota Tubuh untuk Mempercantik?
Dengan menganalogikan pada persoalan di atas, menindik anggota tubuh bisa dikategorikan sebagai operasi terhadap anggota tubuh, yang akan menimbulkan rasa sakit, melukai bahkan bisa membahayakan. Dengan prinsip fiqh di atas, maka hukum menindik anggota tubuh pada dasarnya adalah haram. Menindik anggota tubuh bisa diperbolehkan ketika nyata akan mendatangkan maslahat yang diperlukan, atau menjadi jalan keluar dari penyakit yang diderita. Jika tidak, menindik kembali hukum asalnya yaitu haram.
Persoalannya, apakah maslahat yang bisa menjadi alasan kebolehan menindik anggota tubuh? Wahbah az-Zuhaily mencontohkan bahwa menindik telinga diperbolehkan bagi perempuan yang ingin berhias. Bagaimana dengan laki-laki yang ingin berhias? Apakah juga diperbolehkan untuk menindik anggota tubuh, agar laki-laki juga bisa berhias atau untuk tujuan-tujuan lain? Bagi az-Zuhaily, khusus untuk menindik telinga bagi bayi laki-laki, hukumnya makruh, setingkat di bawah haram. Menindik telinga bayi perempuan diperbolehkan, karena biasanya perempuan menghias diri, dengan meletakkan anting-anting pada daun telinga.
Memperbaiki dan mempercantik diri, pada dasarnya diperbolehkan dalam Islam, bahkan dalam beberapa kasus dianjurkan. Dalam pembahasan fiqh, perbaikan anggota tubuh disebut dengan tahsîn khalqillâh. Anjuran ini didasarkan pada beberapa konsepsi dalam Islam; bahwa Allah Swt mencintai kesempurnaan ciptaan (QS. At-Tin, 95: 4), Allah SWT mencintai keindahan (teks hadits: innallaaha jamîlun yuhibbu al-jamâl) dan memerintahkan untuk selalu indah ketika ke masjid (QS. Al-A’raf, 7: 31).
Dasar tahsîn khalqillâh ini, dijadikan alasan bagi ulama fiqh untuk memperkenankan operasi terhadap anggota tubuh bagi perbaikan fungsi tubuh, rupa tubuh atau pemulihan tubuh dari suatu penyakit. Misalnya operasi terhadap gigi yang gingsul, bibir sumbing, alat kelamin ganda, gondok, tumor dan beberapa penyakit yang lain. Dalam hal ini, operasi anggota tubuh diperkenankan karena akan mendatangkan maslahat yang nyata diperlukan, sejauh tindakan tersebut tidak mendatangkan bahaya (mafsadah) yang lebih fatal terhadap anggota tubuh.
Dengan demikian, hukum asal menindik anggota tubuh adalah haram karena menyangkut perusakan terhadap anggota tubuh. Ia hanya diperbolehkan ketika dilakukan untuk perbaikan fungsi, rupa atau pemulihan dari suatu penyakit. Jika alasan berhias dianggap maslahat untuk perbaikan diri, maka menindik bisa diperbolehkan, terutama bagi perempuan yang memang dalam adat kebiasan berbagai masyarakat dituntut untuk berhias dan mempercantik diri.
Alasan berhias atau mempercantik diri ini, tidak bersifat mutlak. Sehingga bisa memperkenankan tindakan menindik kapanpun dan dimanapun. Tetapi terikat dengan syarat sepanjang tidak mengancam bahaya lain terhadap anggota tubuh. Sehingga jika secara medis, menindik anggota tubuh tertentu akan mendatangkan bahaya (mafsadah), atau memungkinkan seseorang terancam suatu bahaya, maka hukum menindik menjadi haram. Karena dalam fiqh, ada adagium (al-qâ’idah al-fiqhiyyah), bahwa pada dasarnya ‘menolak bahaya harus didahulukan daripada memperoleh maslahat/dar’u al-mafâsidi muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih’.
Apalagi jika dikomparasikan, bahwa maslahat yang diperoleh dari menindik tidak sebanding dengan ancaman bahaya yang akan menimpa, maka menindik bisa dipastikan haram. Sesuai dengan ayat al-Qur’an di atas: “Dan janganlah kamu ceburkan diri kamu ke dalam kehancuran”. (QS. Al-Baqarah, 2: 195). Wallahu a’lam. []