• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Bagaimana Hukum Menindik Anggota Tubuh?

Wahbah az-Zuhaily mencontohkan bahwa menindik telinga diperbolehkan bagi perempuan yang ingin berhias. Bagaimana dengan laki-laki yang ingin berhias?

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
06/09/2021
in Hukum Syariat
0
230
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sepanjang bacaan saya terhadap literatur klasik, baik fiqh, hadits maupun tafsir ahkam, tidak ditemukan pembahasan atau pernyataan langsung dari ulama mengenai hukum menindik anggota tubuh (body prieching). Prof. DR. Wahbah az-Zuahily, seorang ulama fiqh kontemporer dari Universitas Damaskus Syria, dalam magnum opusnya al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhû juga tidak menjelaskan persoalan ini. Ketika membicarakan anjuran-anjuran bagi bayi, dia hanya menyatakan dalam satu kalimat pendek:

“Menindik telinga dimakruhkan jika dilakukan pada bayi laki-laki, tetapi jika pada bayi perempuan diperbolehkan agar bisa berhias”. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut, baik mengenai pandangan ulama, dalil dan argumentasi. (az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy, I/312).

Karena itu, saya akan membahas persoalan ini dengan menelusuri persoalan lain yang sejenis dalam fiqh. Menurut saya, persoalan ‘menindik’ dalam fiqh bisa dikategorikan sama dengan persoalan-persoalan lain seputar operasi terhadap anggota tubuh, seperti sunat (al-khitân), amputasi (al-kayy) dan aborsi (al-ijhâdh) yang sudah dibahas dalam fiqh.

Penafsiran Mengenai Meninidik Anggota Tubuh

Dalam pembahasan menindik anggota tubuh ini, ada prinsip yang selalu menjadi dasar penetapan, yaitu prinsip untuk menghormati tubuh dan tidak melakukan kerusakan terhadap apapun dari tubuh manusia. Merusak salah satu anggota tubuh, sekecil apapun bentuknya, termasuk katagori pelecehan terhadap kehormatan manusia yang diharamkan.

Prinsip ini didasarkan pada ayat al-Qur’an: “Dan sungguh Kami muliakan semua anak cucu adam, Kami ciptakan mereka untuk bisa merambah daratan dan lautan, Kami anugerahkan rizki kepada mereka dari hal-hal yang baik dan Kami unggulkan mereka di atas makhluk-makhluk yang lain dengan derajat yang lebih tinggi” (QS. Al-Isra, 17: 70).

Dan ayat lain: “Dan janganlah kamu ceburkan diri kamu ke dalam kehancuran” (QS. Al-Baqarah, 2: 195). Dan diperkuat dengan sebuah teks hadits yang sangat populer “lâ dharara wa lâ dhirâr/tidak diperkenankan melakukan kerusakan baik kepada diri maupun kepada orang lain”.

Baca Juga:

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Tafsir Sakinah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Atas dasar ini Imam asy-Syawkani (w. 1255H) misalnya, menyimpulkan pandangan mayoritas ulama fiqh mengenai hukum pengobatan terhadap tubuh manusia. Pada dasarnya pengobatan harus dihindari, jika masih bisa disembuhkan dengan makanan, maka cukup dengan makanan, jika tidak cukup baru beralih dengan menelan obat, baru kemudian dengan berbekam (al-hijâmah) dan terakhir  baru diperbolehkan amputasi, jika benar-benar menjadi pilihan yang paling akhir. (as-Syawkani, Nayl al-Awthâr, 9/95).

Syekh Muhammad Syaltût, seorang ulama al-Azhar Cairo, ketika berbicara tentang khitan perempuan, juga merujuk pada prinsip dasar di atas. Bahwa melukai anggota badan termasuk di dalamnya adalah khitan perempuan, hukum dasarnya adalah haram, kecuali jika dengan  hal itu ada maslahat yang nyata bisa diperoleh, atau menjadi jalan keluar satu-satunya dari penyakit yang diderita.

Jika tidak ada maslahat, atau tidak menjadi jalan keluar dari suatu penyakit, maka melukai anggota tubuh adalah haram. Karena itu, dia berpendapat bahwa hukum asal khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan adalah haram. Khitan laki-laki kemudian diperkenankan karena mendatangkan maslahat, sementara khitan perempuan bisa tetap diharamkan ketika nyata tidak mendatangkan kemaslahatan. Apalagi jika sebaliknya mendatangkan bahaya yang mengancam perempuan. (Syaltut, al-Fatâwâ, hal. 302-333).

Menindik Anggota Tubuh untuk Mempercantik?

Dengan menganalogikan pada persoalan di atas, menindik anggota tubuh bisa dikategorikan sebagai operasi terhadap anggota tubuh, yang akan menimbulkan rasa sakit, melukai bahkan bisa membahayakan. Dengan prinsip fiqh di atas, maka hukum menindik anggota tubuh pada dasarnya adalah haram. Menindik anggota tubuh bisa diperbolehkan ketika nyata akan mendatangkan maslahat yang diperlukan, atau menjadi jalan keluar dari penyakit yang diderita. Jika tidak, menindik kembali hukum asalnya yaitu haram.

Persoalannya, apakah maslahat yang bisa menjadi alasan kebolehan menindik anggota tubuh? Wahbah az-Zuhaily mencontohkan bahwa menindik telinga diperbolehkan bagi perempuan yang ingin berhias. Bagaimana dengan laki-laki yang ingin berhias? Apakah juga diperbolehkan untuk menindik anggota tubuh, agar laki-laki juga bisa berhias atau untuk tujuan-tujuan lain? Bagi az-Zuhaily, khusus untuk menindik telinga bagi bayi laki-laki, hukumnya makruh, setingkat di bawah haram. Menindik telinga bayi perempuan diperbolehkan, karena biasanya perempuan menghias diri, dengan meletakkan anting-anting pada daun telinga.

Memperbaiki dan mempercantik diri, pada dasarnya diperbolehkan dalam Islam, bahkan dalam beberapa kasus dianjurkan. Dalam pembahasan fiqh, perbaikan anggota tubuh disebut dengan tahsîn khalqillâh. Anjuran ini didasarkan pada beberapa konsepsi dalam Islam; bahwa Allah Swt mencintai kesempurnaan ciptaan (QS. At-Tin, 95: 4), Allah SWT mencintai keindahan (teks hadits: innallaaha jamîlun yuhibbu al-jamâl) dan memerintahkan untuk selalu indah ketika ke masjid (QS. Al-A’raf, 7: 31).

Dasar tahsîn khalqillâh ini, dijadikan alasan bagi ulama fiqh untuk memperkenankan operasi terhadap anggota tubuh bagi perbaikan fungsi tubuh, rupa tubuh atau pemulihan tubuh dari suatu penyakit. Misalnya operasi terhadap gigi yang gingsul, bibir sumbing, alat kelamin ganda, gondok, tumor dan beberapa penyakit yang lain. Dalam hal ini, operasi anggota tubuh diperkenankan karena akan mendatangkan maslahat yang nyata diperlukan, sejauh tindakan tersebut tidak mendatangkan bahaya (mafsadah) yang lebih fatal terhadap anggota tubuh.

Dengan demikian, hukum asal menindik anggota tubuh adalah haram karena menyangkut perusakan terhadap anggota tubuh. Ia hanya diperbolehkan ketika dilakukan untuk perbaikan fungsi, rupa atau pemulihan dari suatu penyakit. Jika alasan berhias dianggap maslahat untuk perbaikan diri, maka menindik bisa diperbolehkan, terutama bagi perempuan yang memang dalam adat kebiasan berbagai masyarakat dituntut untuk berhias dan mempercantik diri.

Alasan berhias atau mempercantik diri ini, tidak bersifat mutlak. Sehingga bisa memperkenankan tindakan menindik kapanpun dan dimanapun. Tetapi terikat dengan syarat sepanjang tidak mengancam bahaya lain terhadap anggota tubuh.  Sehingga jika secara medis, menindik anggota tubuh tertentu akan mendatangkan bahaya (mafsadah), atau memungkinkan seseorang terancam suatu bahaya, maka hukum menindik menjadi haram. Karena dalam fiqh, ada adagium (al-qâ’idah al-fiqhiyyah), bahwa pada dasarnya ‘menolak bahaya harus didahulukan daripada memperoleh maslahat/dar’u al-mafâsidi muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih’.

Apalagi jika dikomparasikan, bahwa maslahat yang diperoleh dari menindik tidak  sebanding dengan ancaman bahaya yang akan menimpa, maka menindik bisa dipastikan haram. Sesuai dengan ayat al-Qur’an di atas: “Dan janganlah kamu ceburkan diri kamu ke dalam kehancuran”. (QS. Al-Baqarah, 2: 195). Wallahu a’lam. []

Tags: Faqihuddin Abdul KodirHukum Menindik TubuhHukum SyariatislamIslam KontemporerKajian IslamMubadalahperspektif mubadalah
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Anak yang Lahir di Luar Nikah

Laki-laki Harus Bertanggung Jawab terhadap Anak Biologis yang Lahir di Luar Nikah: Perspektif Maqasid Syari’ah

25 Maret 2025
Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

18 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID