Mubadalah.id – Bagi para pengkaji tasawuf dan sufisme, nama Rabi’ah al-Adawiyah adalah cahaya yang tak pernah padam. Perempuan sufi asal Basrah yang wafat pada tahun 180 H/788 M ini dikenal sebagai pelopor cinta ilahi tanpa pamrih (ruwwad al-hubb al-ilahi).
Cintanya kepada Tuhan melampaui perhitungan surga dan neraka. Baginya, Tuhan tidak dicintai karena imbalan pahala atau karena takut siksa, melainkan semata karena Dia memang layak dicinta.
Sikap spiritual Rabi’ah ini tampak jelas ketika ia ditanya oleh Sufyan at-Tsauri, seorang mujtahid sekaligus sufi besar abad itu, tentang hakikat keimanannya. Jawaban Rabi’ah sangat menggugah, bahkan terasa membalik nalar keagamaan yang umum diajarkan di banyak ruang dakwah:
“Tuhan, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, maka bukalah lebar-lebar neraka-Mu. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga-Mu, maka tutuplah pintunya rapat-rapat. Aku menyembah-Mu karena aku mencintai-Mu semata dan tidak kepada yang lain. Maka, biarkan aku menatap-Mu penuh cinta.”
Dalam puisi-puisinya, Rabi’ah memformulasikan cinta ketuhanan sebagai proses penyatuan ruhani yang lembut, dalam, dan tanpa syarat. Salah satu puisinya bahkan terabadikan oleh penyanyi legendaris Mesir, Ummu Kultsum, yang menyanyikannya dengan penuh penghayatan:
Aku mencintaimu dengan dua cinta:
Cinta rindu dan cinta karena Engkaulah
Satu-satunya yang layak dicinta
Cinta rindu adalah karena aku selalu mengingat-Mu, tidak yang lain
Cinta karena Engkau patut dicinta
O, sibaklah kerudung-Mu agar aku melihat-Mu
Tiada pujian untukku dalam cinta mana pun
Segala puji hanya milik-Mu, dalam cinta yang ini atau cinta yang itu.
Pandangan Imam al-Ghazali
Bagi Rabi’ah, cinta kepada Tuhan bukan sekadar afeksi, tapi jalan spiritual tertinggi. Dalam kitab Ithaf Sadat al-Muttaqin, ulasan karya monumental Imam al-Ghazali Ihya’ ‘Ulumuddin, al-Zabidi mengutip dialog menarik tentang bagaimana Rabi’ah memosisikan kecintaannya.
Saat ditanya, “Seberapa besar engkau mengagungkan Rasulullah Muhammad Saw.?” Ia menjawab, “Sungguh begitu besar. Tetapi cinta kepada Sang Pencipta menjauhkanku dari cinta kepada makhluk-makhluk-Nya.”
Pernyataan itu bukan berarti Rabi’ah mengabaikan Nabi, melainkan menunjukkan betapa totalitas cintanya tertuju hanya kepada Tuhan. Dalam bahasa sufistik, hal ini kita sebut sebagai fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan selain Allah SWT.
Rabi’ah mengajarkan kepada kita bahwa spiritualitas sejati adalah tentang mencintai Tuhan dengan kesadaran penuh. Bukan karena imbalan, bukan karena ketakutan.
Oleh karena itu, sebagaimana pandangan KH. Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Pesantren, cinta Rabi’ah kepada Tuhan menjadi fondasi penting bagi pemikiran tasawuf dan spiritualitas Islam yang membebaskan. Ia bukan hanya guru bagi para sufi, tetapi juga simbol perempuan yang menapaki jalan ketuhanan dengan keberanian dan keutuhan jiwa. []