• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Benarkah Islam Patriarkis?

Dyah Palupi Ayu Ningtyas Dyah Palupi Ayu Ningtyas
10/03/2020
in Personal
0
125
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Tidak akan memuliakan perempuan, kecuali lelaki mulia,

dan tidak akan menistakan perempuan, kecuali lelaki nista.”

-Ali Bin Abi Thalib-

Apa yang dinyatakan Ali tergantung bagaimana cara laki-laki memandang perempuan atau perempuan memandang laki-laki. Nyatanya, perempuan dipandang sebagai kelas menengah ke bawah. Bukan hanya itu, banyak yang memandang potret perempuan Islam adalah taat, tunduk, dan sepenuhnya patuh pada suami. Pertanyaannya apakah benar Islam memandang perempuan seperti itu?

Asghar Ali Engineer mengungkapkan bahwa marginalisasi perempuan mendapatkan legitimasi dari doktrin Islam. Bisa jadi legitimasi tersebut berasal dari tafsir-tafsir Al-Qur’an dan Hadits, bukan Islam. Secara metodologis, doktrin marginalisasi perempuan berasal dari interpretasi ataupun ijtihad. Sehingga pertanyaan apakah Islam bersifat patriarkis atau tidak itu masih sering terjadi hingga hari ini.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Syariah yang disusun oleh ahli hukum dan sangat diagung-agungkan tidak seluruhnya ilahiyah, tetapi dari ra’yi (sisi manusiawi para ahli), ijtihad, maupun qiyas. Dengan kata lain, meskipun Al-Quran bersumber dari Allah namun tafsir Al-Quran adalah daya cipta manusia.

Hal tersebut salah satu alasan mengapa banyak mazhab hukum. Untuk memahami isi buku atau literatur Islam bukan hanya berdasarkan kemahiran berbahasa, tetapi bersandar pada kemampuan pengetahuan seseorang.

Konstruksi hukum yang terbangun sekarang adalah hasil dari produk laki-laki. Bagaimana tidak, paradigma androsentrisme mengakar pada waktu itu. Androsentrisme tersebut adalah tradisi agama atau teks-tesk agama dibuat, dikembangkan, bahkan dikonstruksikan oleh laki-laki dari sudut pandang laki-laki.

Pengalaman maupun pemikiran perempuan tidak mendapatkan ruang dalam wacana maupun sejarah agama. Kehidupan patriarkal ini merupakan kendala dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Perbedaan dalam menerapkan hukum mengenai perempuan di suatu negara dengan negara lainnya menandakan bahwa perbedaan tersebut dipengaruhi oleh keadaan sosial, politik, maupun budaya.

Hal tersebut mengindikasikan Al-Quran dapat diinterpretasikan atau ditafsirkan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, kitab suci Al-Quran seharusnya ditafsirkan ulang sesuai dengan kondisi maupun situasi sekarang, bukan lagi memandang masa klasik.

Engineer menyatakan, ketika masa revolusi Islam kesempatan perempuan sama dan bahkan sejajar dengan kaum laki-laki. Tetapi ketika beberapa negara seperti Persia, Asia Tengah, Syiria, dan lainnya datang memasuki wilayah Islam dan membawa perubahan atas kedudukan maupun status perempuan. Nilai feodalistik mengenyampingkan nilai-nilai Islam yang asli, serta hanya cara pandang kaum laki-laki yang digunakan untuk memahami Al-Qur’an.

Pada masa awal Islam, perempuan sudah biasa memberikan bantuan membuat teks keagamaan. Bahkan istri dari sahabat-sahabat nabi merupakan perawi hadits yang dinyatakan sangat otentik. Aisyah pun menyandarkan hampir dua per tiga haditsnya kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks sekarang, pengekangan terhadap perempuan dalam masyarakat muslim banyak dilakukan oleh para agamawan Islam Ortodoks. Padahal pada waktu Rasulullah SAW tidak ada pengisolasian perempuan.

Ketika masa awal Dinasti Abbasiyah perempuan memiliki kebebasan yang sama seperti pada masa Dinasti Umayyah. Lain halnya pada masa Dinasti Buwahid, ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa setiap kondisi maupun fase, kedudukan dan status perempuan berbeda di Masyarakat Muslim.

Menurut Engineer, nilai Islam yang paling mendasar adalah keadilan dan kesetaraan, baik keadilan kepada semua orang maupun kesetaraan gender. Apabila perumusan hukum syariah pada waktu itu dibuat dengan latar belakang, sosial, politik, maupun kultur pada masa itu juga maka seharusnya ayat-ayat Al-Quran ataupun perintah Allah dipahami pada masa-masa tertentu pula. Apabila tidak, hukum yang ada tidak akan sesuai konteks dan terkesan kaku.

Oleh karena itu, Al-Qur’an lebih dari sekedar adil terhadap perempuan. Karena dalam sejarah pertama umat manusia, Al-Qu’ran lah yang mengakui kedudukan perempuan, memiliki hak untuk menikah, waris, maupun yang lainnya. Sehingga kita harus menarik hukum Islam yang berada di dalam abad pertengahan dan mengembalikan ke dalam masa kejayaan Islam. []

Dyah Palupi Ayu Ningtyas

Dyah Palupi Ayu Ningtyas

Bergerak di isu HAM dan gender, menuangkannya lewat tulisan dan ruang-ruang belajar bersama.

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version