• Login
  • Register
Jumat, 11 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bergantung pada Status, Nilai Perempuan Lebih dari Itu Part I

Bagi saya, perempuan sebagai anak tak boleh kita perlakukan sebagai awam. Sebab ia adalah ahlinya dalam berbahasa dan berlaku jujur

Ainun Jamilah Ainun Jamilah
27/05/2023
in Personal, Rekomendasi
0
Nilai Perempuan

Nilai Perempuan

772
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Acapkali nilai perempuan berdasarkan hal-hal yang tak cukup substansial. Dibanding-bandingkan, kita preteli sedemikian rupa, berdasarkan pada apa yang kadung dianggap sebagai sesuatu yang wajar bagi perempuan. Perempuan tertata melalui cara berpakaiannya, cara berpikir. Bahkan sampai pada cara ia menjalankan kehidupannya semisal, menikah atau men-jomlo.

Sampai, sekali waktu saya duduk bersama tiga perempuan yang membikin saya tenggelam jauh di dalam pikiran sendiri. Dan itu terkait nilai perempuan yang sampai hari ini masih tak bosan-bosannya disempitkan, hanya kepada rupa, tampilan, maupun statusnya di masyarakat.

Siang itu, saya berkumpul bersama empat perempuan dengan status kami yang saling terpaut. Lalu, coba kurinci satu persatu. Ada sesosok manusia mungil sebagai perempuan Anak. Kemudian tepat di samping kanan si kecil adalah kawanku sebagai perempuan Ibu.

Lalu, tak jauh dariku, ada kawan perempuanku lagi yang kini mantap menjadi perempuan Istri. Sementara, saya sendiri sebagai perempuan Inong (lajang). Nah, ini sudah satu paket komplit tanpa embel-embel hemat bukan?

Perempuan Anak dan Tingkahnya yang dianggap ‘Lucu’

Bagi saya, perempuan sebagai anak tak boleh kita perlakukan sebagai awam. Sebab ia adalah ahlinya dalam berbahasa dan berlaku jujur. Kepolosannya sebagai manusia yang masih ‘murni’, tentu menjadi nilai yang tak terukur. Meski kerapkali kepolosannya itu malah menjadi bahan tertawaan manusia-manusia yang sok dewasa ini.

Siang itu, si kecil banyak bercerita. Dengan bahasa buminya yang tak mudah saya mengerti yang sudah sok melangit ini. Dan di antara kami yang mendengar celotehan manis anak ini, hampir-hampir tidak menyela ceritanya hanya karena menganggap bahasanya lucu.

Baca Juga:

Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah

Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

Sesekali Ibunya mencoba membenarkan bahasanya, pun saya dan kawan perempuan saya juga tidak buru-buru menirukan bahasanya sebagai sebuah lelucon (menertawakan ketidakfasihannya). Karena, saya sendiri merasa, jika bahasa ataupun beberapa tips tingkah laku anak yang kita anggap lucu, sebenarnya tidak tepat kita jadikan sebagai bahan tertawaan.

Selain membuat si anak kecil terkesan sebagai ‘mainan’ (objek) si dewasa. Nyatanya ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa kita sebagai orang dewasa perlu berpikir ulang sebelum menertawakan tingkah laku anak yang kita anggap ‘lucu’.

Respon terhadap Tingkah yang Dianggap Lucu

Melansir dari artikel yang saya temukan di situs rabbit hole (2021). Di sana, ada pemaparan secara gamblang bagaimana orang dewasa perlu berpikir terlebih dulu sebelum menertawakan tingkah ‘lucu’ si kecil. Artikel itu kemudian diawali dengan kalimat tanya yang cukup menohok. “apakah jika itu dilakukan oleh orang dewasa, kita tetap akan menganggapnya lucu atau tidak?.

Pertanyaan ini, tentu tak datang begitu saja. Itu karena banyak perilaku buruk terjadi. Sesederhana karena ketika melakukan itu semasa kecil, orang di sekelilingnya kemudian memberi reaksi dengan menertawakan, karena menganggap hal itu lucu. Dan ini menginformasikan kepada anak tersebut, jika perilaku itu memang orangtuanya harapkan, sehingga ia akan terus mempertahankannya hingga dewasa.

Lebih lanjut, artikel itu memberi tiga bentuk permisalan yaitu, yang pertama, di saat anak berkata “no no no” dengan gaya bahasa yang ‘lucu’ ketika orang tuanya meminta ia membereskan mainan. Kemudian bersambut gelagak tawa oleh orang tua. Maka lama-kelamaan anak belajar bahwa ia dapat ‘bebas tugas’ dan tak perlu melakukan kewajiban jika ia melakukan tingkah laku ‘lucu’.

Yang kedua, semisal anak terus-menerus melakukan tarian, gerakan, atau celoteh ‘lucu’ saat orang tuanya sedang berbicara dengan orang lain. Lalu, orang tua merespon dengan selalu tertawa, sembari memperhatikan anak saat anak menginterupsi dengan cara itu.

Mentertawakan, dan Perilaku Negatif Anak

Dari sini, anak akan belajar bahwa tidak mengapa untuk menyela pembicaraan orang lain. Bahwa kepentingannya adalah yang paling penting, dan tidak perlu mementingkan kepentingan orang lain.

Dan yang ketiga, semisal anak memanggil orang yang jauh lebih tua. Sebut saja kakek ataupun neneknya, dengan nama saja. Lalu orang di sekitar menertawakannya. Maka jangan salahkan jika anak itu ‘tidak tahu sopan santun’ nantinya.

Saya sendiri merasa cukup relate di contoh yang ketiga ini. Itu karena, sering kali saya melihat kejadian yang persis sama ketika ponakan saya yang masih berusia balita, atau anak dari kawan saya misalnya. Ketika ia memanggil nama Ibu ataupun Ayahnya dengan langsung menyebut nama.

Lalu, hal itu sontak membikin seisi ruangan gemuruh penuh tawa dibuatnya. Tak terkecuali saya sendiri, yang beberapa kali menganggap hal itu lucu, sampai akhirnya saya bertaubat dari anggapan itu.

Menariknya, artikel ini kemudian penulis tutup dengan kalimat yang cukup tajam menghujam pada pola pikir keliru yang kadung kita normalisasi ini. Bunyinya adalah “sesederhana menertawakan tingkah laku anak yang sepatutnya tidak kita tertawakan, kita tanpa sadar dapat meningkatkan perilaku negatif anak.” (bersambung)

 

Tags: keluargaNilai Perempuanparentingpola asuhstigma
Ainun Jamilah

Ainun Jamilah

Co Founder Cadar Garis Lucu Makassar

Terkait Posts

Berhaji

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Life After Graduated

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

10 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kopi yang Terlambat

    Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hingga Saat Ini Perempuan Masih Dipandang sebagai Fitnah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji
  • Islam: Membebaskan Manusia dari Gelapnya Jahiliyah
  • Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan
  • Berkeluarga adalah Sarana Menjaga Martabat dan Kehormatan Manusia
  • Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID