Mubadalah.id – Gosip atau pergunjingan merupakan hal yang jamak kita jumpai dalam kehidupan masyarakat. Pertukaran informasi dari mulut ke mulut secara cepat terjadi di mana pun, mulai dari tukang sayur, warung kopi, meja makan, arisan, dan berbagai bentuk kerumunan.
Di era yang makin modern, budaya gosip bahkan merebak ke platform online. Jika awalnya satu berita yang belum valid hanya menyebar di satu desa, kini gosip bisa merebak ke berbagai belahan dunia ketika berita tersebut sudah viral. Tak hanya cibiran dari orang sekitar, seseorang yang sedang dirundung gosip harus menghadapi hujatan bahkan dari orang yang tidak dikenal.
Tentang budaya gosip ini, film Cocote Tonggo besutan Bayu Skak mencoba memaparkan bagaimana gosip sering kali membawa dampak negatif terhadap kehidupan seseorang. Apalagi jika gosip tersebut sudah menyangkut hal-hal pribadi yang tidak sepatutnya dijadikan konsumsi publik.
Stigma bahwa Perempuan Lemah
Film Cocote Tonggo merupakan film drama komedi yang berkisah tentang kehidupan rumah tangga Murni dan Luki. Dalam kesehariannya, Luki bekerja sebagai sopir travel, sementara Murni bekerja di toko jamu bersama ibunya, Bu Tien.
Bu Tien merupakan generasi ketiga yang menjalankan usaha toko jamu keluarga. Toko jamu itu memiliki produk andalan jamu kesuburan. Jamu inilah yang membuat toko jamu itu terkenal dan membuat banyak orang dari berbagai wilayah datang ke Surakarta.
Selepas kepergian Bu Tien, Murni yang harus bekerja keras mempertahankan toko jamu yang selama ini menghidupi keluarga mereka. Selama ini, Bu Tien menjadi sosok yang karismatik sehingga orang-orang menaruh kepercayaan kepada toko jamu itu. Orang-orang pun meragukan kemampuan Murni untuk mempertahankan toko jamu turun-temurun itu.
Terlebih lagi, orang-orang mulai mempertanyakan khasiat jamu kesuburan karena Murni dan Luki yang merupakan anak dan menantu Bu Tien belum juga memiliki keturunan setelah bertahun-tahun menikah. Bisik-bisik tetangga bahwa Murni mandul pun meluas hingga ke media sosial dan membuat toko jamu keluarga Murni sepi.
Stigma atas Perempuan tanpa Anak
Dalam budaya gosip, sering kali yang menjadi sasaran ialah perempuan beserta segala aspek kehidupan pribadi dan keputusan-keputusannya. Tidak terkecuali tentang kepemilikan anak. Masalah menunda atau menyegerakan, jumlah anak, bahkan di titik ekstrem memilih tidak punya anak, sering kali masyarakat merasa perlu ”turun tangan”.
Tanpa tahu apa yang membuat Murni dan Luki belum punya anak, orang-orang di sekitar mereka terlalu cepat menghakimi. Padahal, keputusan perempuan untuk menunda atau tidak memiliki anak bisa terjadi karena alasan ekonomi, kesehatan, atau mungkin trauma di masa kecil. Selayaknya hal ini cukup menjadi diskusi suami istri yang nantinya akan mengurus anak tersebut.
Pendirian Murni mulai goyah ketika kehidupan ekonomi keluarganya semakin terpuruk. Sepertinya toko jamunya akan kembali ramai jika mereka berdua punya anak. Namun, usaha mereka untuk punya anak tak kunjung berhasil.
Satu hari, Luki menemukan seorang bayi yang ditaruh di teras rumahnya. Muncullah ide untuk pura-pura hamil agar mereka berdua dapat mengakui anak itu sebagai anaknya. Harapannya, kepercayaan masyarakat kepada toko jamunya akan kembali. Sementara itu, Luki sangat gembira menyambut kehadiran anak itu karena ia memang ingin punya anak.
Stigma atas Janda
Tidak hanya perkara reproduksi, masyarakat sering melekatkan stigma negatif kepada janda. Status janda sering kali diasosiasikan dengan perempuan yang perbuatannya tidak terpuji, tidak mampu mempertahankan rumah tangga, tidak dapat memberikan kepuasan kepada suami, dan tidak berharga.
Gosip dari lingkungan sekitar tidak hanya tertuju kepada Murni, tetapi juga mendiang ibunya semasa muda. Suami Bu Tien telah meninggalkan mereka berdua sejak Murni masih kecil. Hidup tanpa suami membuat Bu Tien harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Ketiadaan suami membuat Bu Tien rawan mengalami pelecehan seksual. Beberapa pelanggannya sering kali menggoda Bu Tien dan menganggapnya sebagai perempuan yang mendambakan kasih sayang. Alih-alih berempati atas hal yang menimpa Bu Tien sebagai korban, orang-orang sekitar justru menuduh Bu Tien sebagai penggoda suami orang sehingga wajar jika suaminya meninggalkannya.
Baik janda karena cerai maupun meninggal, keduanya tetap berisiko menjadi korban fitnah. Bulik Yayuk, yaitu bibi Murni yang menjadi janda karena suaminya meninggal pun turut menjadi bahan gosip. Kehadiran bayi di rumah Yayuk yang dititipkan jika Murni dan Luki bekerja membuatnya dituduh sebagai pelaku zina hingga memiliki anak di luar nikah.
Stigma Anak di luar Pernikahan
Hubungan seksual di luar pernikahan memiliki risiko yang cukup besar dari perspektif kesehatan maupun sosial. Manakala terjadi kehamilan tidak diinginkan, perempuan merupakan pihak yang mengalami kerugian terbesar. Karena tekanan sosial terhadap perempuan yang hamil di luar nikah cukup besar, sering kali perempuan melakukan aborsi yang tidak aman.
Solusi lain yang sering perempuan pilih ialah mempertahankan kehamilan itu hingga si bayi lahir. Kemudian, ibunya menitipkannya kepada keluarga, menyerahkannya kepada panti asuhan, membuangnya, atau bahkan menghilangkan nyawanya. Tanpa membenarkan perilaku orang tuanya, ketiadaan ruang aman bagi anak-anak di luar nikah membuat hak hidupnya dirampas.
Demikian pula jika si anak tumbuh besar, masyarakat sering kali melabelinya dengan sebutan anak tanpa bapak, anak haram, dsb. Anak pun tercerabut dari nasab keluarganya. Sementara itu, laki-laki bisa saja lari dari tanggung jawab tanpa harus menghadapi tekanan dari masyarakat. Laki-laki juga tidak perlu menunaikan tugas reproduksi seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan nifas.
Lain halnya dengan perempuan membutuhkan dukungan dari pasangan dan keluarga ketika harus melakukan tugas itu. Tidak jarang perempuan juga harus kehilangan akses pendidikan dan ekonomi akibat kehamilan di luar nikah. Lebih parah lagi, bisa jadi kehamilan itu terjadi karena tindakan kekerasan seksual, bukan atas consent.
Luki berusaha memberikan ruang aman bagi bayi yang ia temukan di teras rumah itu. Ia berusaha meyakinkan Murni bahwa itu adalah jawaban atas doa-doa mereka. Tanpa memedulikan latar belakang si bayi, Luki ingin merawat anak itu dan mengakuinya sebagai anak sendiri.
Menghadapi Gosip dalam Masyarakat
Sesungguhnya gosip memiliki sisi postif dalam fungsi pengendalian sosial untuk menjaga agar anggota masyarakat berperilaku sesuai nilai dan norma. Gosip juga dapat menjalankan fungsi rekreatif dan membangun keintiman dalam masyarakat. Namun demikian, gosip akan memberikan dampak destruktif manakala informasinya tidak valid, menimbulkan rasa tidak tenang pada korban, hingga memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis.
Menghadapi gosip di tengah masyarakat tidaklah mudah, terlebih lagi ketika arus informasi kian tidak terbendung. Kita haruslah bijak menyikapinya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Manakala mendapatkan informasi satu informasi, sebaiknya kita menerapkan prinsip saring sebelum sharing dan tidak gegabah untuk berkomentar, apalagi ikut menghujat.
Demikian pula ketika kita menjadi korban gosip, kita juga perlu menyikapinya dengan tenang. Tetaplah berpegang pada prinsip yang kita anggap benar, selagi itu tidak melanggar nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Terlebih lagi jika hal itu terkait dengan pilihan-pilihan hidup yang sifatnya personal.
Menggunakan 80% bahasa Jawa dialek Mataraman, film ini menghadirkan jokes yang sebenarnya cukup segar dan menghibur. Sayangnya, jokes itu mungkin tidak akan sampai dengan baik pada penonton yang bukan penutur bahasa Jawa.
Namun, film ini mengangkat masalah yang cukup relate dengan masyarakat Indonesia dengan berbagai latar belakang budaya. Seperti kata Luki, ”Hidup bukan hanya untuk menuruti cocote tonggo (omongan tetangga).” []