Mubadalah.id – Bagaimana media memotret politisi perempuan? Pertanyaan ini seringkali muncul dalam benak ketika melihat bagaimana media bekerja dan memotret politisi yang sedang berlomba-lomba dan berkampanye untuk pemilihan umum di tahun yang akan datang, tepatnya tahun 2024.
Dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan sedikit tentang Cultivation Theory. Di mana teori ini biasa kita gunakan untuk menjelaskan media effect. Dalam teori ini, jika masyarakat dihadapkan pada cerita atau tema-tema tertentu secara terus menerus, maka seiring berjalannya waktu mereka akan mengharapkan tema dan alur cerita yang kita dengar atau kita tonton sesuai dengan kehidupan realitas.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa media memiliki kekuatan besar untuk menggiring opini masyarakat. Bahkan membentuk kepercayaan dalam diri masyarakat terhadap suatu masalah tertentu, tidak terkecuali tentang perspektif perempuan dalam ranah publik.
Media Jarang Memotret Kinerja Politisi Perempuan
Politisi perempuan memang menarik untuk kita bahas. dalam perkembangannya, pada masyarakat yang memiliki budaya patriarki cukup mengakar, ia terus menjadi momok menakutkan. Terlebih ketika hadir politisi perempuan dengan kemampuan leadership yang bagus dan kinerja yang akuntabel.
Berdasarkan data perludem, media di Indonesia, khususnya media meanstream jarang sekali memotret kinerja politisi perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak mengenali sosok politisi perempuan yang memiliki kinerja mumpuni di bidangnya. Data ini makin kuat kuat dengan klasifikasi perempuan masuk politik dalam kelompok tertentu. Antara lain:
Pertama, perempuan yang menjadi politisi karena hubungan yang sangat dekat dengan laki-laki seperti suami, ayah ataupun keluarga yang lain. Masyarakat masih melekatkan politisi perempuan dengan kehadiran backingan di belakang layar. Sehingga menutup peran politisi perempuan itu sendiri menjadi wakil rakyat.
Kedua, perempuan yang menjadi politisi karena sudah bebas tugas menjadi seorang ibu, seperti anaknya sudah besar. Sehingga ia lebih leluasa untuk berkarir dan fokus terhadap kinerja yang akan ia bangun selama berada di ranah publik.
Ketiga, perempuan yang menjadi politisi karena sudah aktif di LSM, atau organisasi kampus sehingga secara gerakan ataupun value, ia sudah belajar dan tertempa secara matang.
Identik dengan Kerja Domestik
Berdasarkan kelompok tersebut, setidaknya kita bisa memahami bahwa keberadaan perempuan tidak lepas dari peran domestik yang selalu melekat dalam diri. Hal ini juga makin parah dengan media yang memotret mereka dengan hal-hal domestik.
Dalam suatu contoh adalah kasus korupsi yang Angelina Sondakh alami di tahun 2012 silam. Media Kompas menayangkan headline berita, salah satu judulnya “Repotnya Sosialita jika Jadi Terdakwa”, “Angelina Sondakh Menyesal Masuk Politik”.
Dua headline berita ini, menjadi salah satu gambaran penting bagaimana media memotret kasus politisi perempuan. Headline berita pertama mengusut bagaimana kehidupan pribadi seorang Angelina Sondakh sebagai mantan Puteri Indonesia dengan segala aspek privasi dalam dirinya.
Apalagi dalam posisi tersebut, ia adalah seorang janda, yang hidup menjadi single parent. Di mana ia berjuang untuk survive menjadi orang tua. Kenyataan ini tidak luput dari sorot media yang terus mencecar informasi pribadi dari seorang politisi perempuan.
Ruang Politik tidak Ramah Pada Perempuan
Headline berita kedua menunjukkan bahwa, pada kenyataanya, ruang politik adalah ruang pertarungan yang sangat tidak ramah terhadap perempuan. Berita tersebut semakin memperkuat asumsi bahwa perempuan tidak layak dan tidak berhak masuk politik karena tidak memberikan ruang aman.
Di samping itu, terdapat sebuah penelitian bagaimana respon netizen di media sosial kepada para politisi perempuan. Di antara tokoh politisi perempuan yang dipotret dalam penelitian tersebut adalah Krisdayanti, Lasmi Indaryani, Nurul Arifin, Netty Prasetiyani, Rachel Maryam, Lulur Nur Hamidah, Illiza Saadudin, Ratih Megasari, dan Intan Fauzi.
Para politisi perempuan ini menggunakan media sosial sebagai salah satu ruang untuk memotret kinerjanya sebagai anggota legislatif. Setidaknya ada beberapa kategori yang terdapat dalam instagram pribadi mereka seperti: atribut perempuan, atribut legislatif, atribut partai, atribut citra orientasi keluarga, atribut keagamaan, atribut nasionalisme, atribut public figure, dll.
Berdasarkan konten yang sembilan politisi publikasi tersebut, masyarakat lebih banyak memberikan respon komentar dan like terhadap konten bertema orientasi keluarga dan atribut perempuan yang diunggah oleh politisi perempuan.
Konstruksi Sosial Identitas Perempuan
Hal ini membuktikan masyarakat juga lebih tertarik dengan foto yang berhubungan dengan perannya sebagai perempuan dibandingkan pekerjaannya sebagai politisi. Hal ini berpengaruh terhadap media yang lebih banyak meliput atribut perempuan, perkawinan, keluarga dibandingkan dengan wacana politik.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kiranya sangat sejalan dengan Ritchie, 2013 yang menyebut bahwa para pemimpin perempuan seringkali menjadi sasaran metafora stereotip dan merampok citra mereka sebagai politisi. Komentar media sosial memperkuat metafora cinta dan pernikahan untuk membenarkan konstruksi sosial identitas perempuan.
Masyarakat sering mengisolasi aspek identitas individu, dan melemahkan agensi politik para pemimpin perempuan atas dasar kehidupan pribadi mereka. Isu-isu seperti status perkawinan mereka, hubungan dengan keluarga. Di mana situasi tersebut tidak memiliki peran dalam kampanye politik mereka, hingga seringkali terisolasi dan menjadi sasaran. []