• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Cantik itu Tak Selalu Putih Merona

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
28/07/2020
in Personal
0
Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

563
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Sebagai seorang perempuan yang lahir dari keluarga Jawa dan tumbuh besar di lingkungan tropis, mewujudkan keinginan untuk kulit putih bersinar seperti para pesinetron dan bintang iklan di TV ternyata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Padahal semenjak masa puber, yakni dari SMP, saya sudah berulang kali berganti hand and body lotion, dari yang murah meriah hingga yang paling mahal selangit untuk mendapatkan kulit kinclong sempurna.

Sayangnya, hingga  menginjak bangku SMA, kulit saya tetap saja coklat-klat-klat! Selain mungkin karena sudah pigmen dan keturunan yang susah diubah, di saat yang sama saya getol sekali bermain-main di bawah sinar matahari.

Di usia SMP, saya memang sedang kelebihan energi, tiap hari kalau tidak ikut latihan pencak silat, ya nimbrung main basket dengan kawan-kawan. Belum lagi, kemana-mana saya hanya mengandalkan gowes sepeda atau jalan kaki. Itu pun saya belum mengenal yang namanya sunblock.

Jadi, bisa dibilang usaha saya rutin memakai body lotion, luntur seketika dengan banyaknya porsi kegiatan outdoor yang saya lakukan. Usaha mempercantik diri saya semakin jauh dari jangkauan ketika saya malah diterima di salah satu sekolah kedinasan yang semi-militer.

Baca Juga:

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Mau tidak mau saya harus berkata ‘good bye’ pada peralatan kosmetik masa kini karena disana pemakaian kosmetik berlebihan sangatlah tidak dianjurkan. Ya nasib… akhirnya alat dandan saya hanya sebatas bedak dan lip gloss. Pernah sih, mencoba beli yang agak mahal, eh tapi karena kami hidup di asrama yang semuanya serba berjamaah, sabun muka saya pun hilang dan dipakai entah siapa… hiks..

Semenjak itu, saya jadi agak sayang mengeluarkan banyak uang untuk membeli produk kecantikan, selain ternyata ketika menginjak usia 20-an kulit saya menjadi agak sensitif, saya juga khawatir jika berganti-ganti produk kecantikan, jerawat di muka saya akan semakin bertambah. Ditambah lagi, di akhir tahun kuliah, saya disibukkan dengan penyelesaian skripsi yang bikin mumet kepalang, yang akhirnya membuat saya semakin bodo amat terhadap perawatan diri.

Nah, setelah lulus dan akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri, keinginan saya bertransformasi menjadi lebih cantik pun muncul kembali. Tidak hanya dimotivasi oleh keinginan mendapatkan dambaan hati, tetapi juga karena saya tidak mau kalah bersinar dengan cairan pencuci piring, eh maksudnya dengan para bule yang katanya cakep-cakep.

Namun, sesampainya saya di negeri Ratu Elizabeth, saya malah dibuat terheran-heran ketika kebanyakan dari kawan saya kosmetiknya minimalis sekali. Bahkan persepsi cantik bagi orang-orang sana jauh berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh warga negara +62.

Bagi mereka, keren itu ketika mereka memiliki kulit cokelat mengkilap seperti orang-orang dari negara tropis. Malah, saya sempat dikejutkan oleh pernyataan teman saya yang baru saja pulang dari salon kecantikan usai menggelapkan kulitnya. Sembari menggulung lengan panjangnya, ia memamerkan hasilnya dengan bangga, “look, how wonderful my skin now!”

“Ha?” Saya masih tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Apanya yang bagus ya? Saya saja dari dulu mencoba sekali ingin punya kulit putih seperti dia, eh dia malah pamer karena sekarang bisa punya kulit cokelat seperti saya. Ini yang oon siapa sih?! Pikir saya yang masih terheran-heran.

“I look more beautiful, right?” Dia kembali mengagetkan saya dengan wajahnya yang cerah sumringah.

“Well, you are already beautiful! What do you mean?” Tatap saya padanya dengan penuh tanda tanya.

Sembari melumurkan body scrub ke sepanjang lengannya, ia bercerita bahwa ia lebih menyukai kulit kecoklatan seperti yang saya punya, daripada warna kulit aslinya. Semakin cokelat, itu tandanya semakin eksotis dan semakin menarik dilihat, katanya meyakinkan saya. Bagi sebagian besar wanita di Inggris, orang yang memiliki kulit cokelat bisa juga berarti bahwa mereka punya kemampuan finansial lebih untuk berlibur ke luar negeri dan berjemur sepuasnya.

Sehingga, ada prestise sendiri ketika seseorang memiliki warna kulit gelap mengkilap. Bukan hanya soal warna semata, tapi juga perihal gengsi dan harga diri. Mencoba memahami sudut pandangnya, saya hanya mengangguk perlahan sembari tersenyum kebingungan.

Usai berpisah dengan kawan saya, saya pun mampir ke Tesco, salah satu supermarket dekat akomodasi. Selain untuk berbelanja, saya juga menyempatkan diri untuk menengok jenis-jenis kosmetik yang diperjualkan. Berbeda dengan kebanyakan produk kecantikan di Indonesia yang menjual tagline memutihkan wajah dan seluruh badan, di Inggris sana, justru saya tidak menemukan produk-produk sejenis.

Paling mentok ya membersihkan noda bekas jerawat tanpa ada embel-embel mencerahkan dan membuat kita merona. Blaaass… tidak ada! Kalaupun ada, yang malah saya jumpai adalah krim yang berfungsi untuk mempertahankan kegelapan kulit setelah melakukan tanning.

Dari situ, saya menyadari bahwa standar kecantikan di negara-nya Pangeran William agak berbeda dengan negara-negara Asia pada umumnya. Wanita-wanita Barat justru lebih bangga ketika kulit mereka gosong terpapar sinar matahari karena dianggap lebih eksotis. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan standar perempuan Timur, terutama Indonesia yang kini cenderung berkiblat ke Korea Selatan.

Padahal sebagian besar wanita Korea juga tidak percaya diri terhadap kecantikan lahiriah mereka. Terlebih dengan tren bintang-bintang K-Pop, para anak muda Korea kini semakin termotivasi meniru mereka dengan jalan operasi plastik. Sedangkan di Indonesia sendiri, operasi plastik dikenal dengan biayanya yang sangat mahal serta risiko yang juga tinggi. Walaupun, saya sendiri sebenarnya tidak menentang total tindakan tersebut, karena saya pikir, tiap perempuan memiliki hak penuh terhadap diri mereka sendiri.

Melihat dinamika standar kecantikan yang tidak pernah sama di tiap belahan dunia membuat saya berpikir ulang esensi kecantikan sebenarnya: apakah cantik itu hanya sebatas penampilan luar belaka? Padahal nanti ketika usia kita bertambah, tidak bisa dipungkiri kerutan-kerutan itu nantinya akan muncul, bercak-bercak hitam nanti pun akan ada. Nah, apa yang kemudian membuat kita tampak terlihat menarik meski semakin menua?

Jawabannya tentu kita semua sepakat, yaitu inner beauty atau kepribadian diri kita. Meski terdengar klise, tapi menurut saya hal ini justru signifikan sekali. sebab, saya percaya bahwa semua perempuan dilahirkan cantik, meski kita lahir dengan warna kulit, jenis rambut, hingga bentuk tubuh yang berbeda. Yang kemudian mendorong aura kita memancar adalah bagaimana kita bersikap dan menghargai diri kita sendiri serta orang lain.

Semakin kuat kepribadian yang kita miliki, semakin cantik pula pribadi diri kita. Benar saja bahwa standar kecantikan di tiap tempat bisa saja berbeda, dan mungkin bisa saja kita terjebak dalam standar cantik yang masyarakat umum terapkan, tapi tunggu… mau sampai kapan kita terjebak stigma?

Cantik itu bukan orang lain kok yang menentukan, tapi diri kita sendiri lah yang memegang kendali. Hanya kita dan tentu kita yang paling bisa menghargai kecantikan diri kita untuk pertama kali hingga seterusnya. Jadi, kenapa perlu memaksakan diri untuk menjadi putih merona padahal menerima diri apa adanya adalah jalan terbaik yang kita bisa lakukan. []

Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID