Mubadalah.id – Adakah di antara kita yang tidak pernah merasakan kesedihan? Rasanya mustahil jika bilang ‘tidak’. Hal tersebut pasti menimpa siapa pun selama ia berstatus sebagai manusia dan sejak saat ia masih hidup di dunia. Bahkan Alquran juga turut menyinggung bahwa sejatinya hidup tidak akan lepas dari ujian untuk melihat siapa sih di antara kita (mahlukNya) yang lebih baik. (lihat. QS. Al-Mulk: 2 dan beberapa di ayat lain).
Mengandaikan hidup tanpa kesedihan, sama halnya mengandaikan hidup tanpa kebahagiaan.
Terkadang terdapat sebuah pandangan yang menganggap kesedihan sebagai suatu hal yang mesti dibuang jauh-jauh. Bahkan ada pernyataan yang sedikit pongah hingga menyalahkan Allah, seperti halnya begini, “Jika Allah maha baik mengapa Dia melimpahkan kesedihan dalam kehidupan? Mengapa bukan melulu kesenangan saja?”
Namun, ada sebuah kitab menarik yang ditulis oleh tokoh filsuf terkemuka yang segenerasi dengan al-Kindi dan al-Farabi, yakni Abu Bakr Muhammad Ibn Zakariyya al-Razi (Selanjutnya: al-Razi). Bukunya berjudul “al-Thibb al-Ruhani” yang memuat 20 pokok pembahasan yang berkaitan erat dengan merawat dan menjaga kesehatan mental.
Menurut para pengkajinya, seperti Majid Fakhry, Leen Evan Goodman, Sarah Stroumsa, Therese-Anne Druart, Arthur J. Arberry, Mehdi Mohaghegh, Abdurrahaman Badawi, Abd al-Latif Muhammad al-‘Abad dan banyak lagi lainnya menyebut kitab tersebut sebagai embrio dari gagasan-gagasan etikanya.
Bagaimana Kesedihan itu Muncul?
Uniknya adalah al-Razi memandang kesedihan secara positif, tidak seperti kebanyakan orang yang mengutuk bahkan enggan melihatnya. Bagi al-Razi sendiri, betapa pun kesedihan kerap menyelimuti pikiran dan akal manusia, dan mampu merusak jiwa maupun raga, hal itu harus kita cegah, paling tidak menguranginya sebanyak mungkin. Kesedihan tetap harus ada sebagai bumbu kehidupan yang tanpanya nikmat senang tidak akan terasa secara sempurna.
Paling tidak, al-Razi memberikan dua cara yang berbeda. Pertama, mewaspadai sebelum muncul ke permukaan agar kesedihan itu tidak terjadi, dan kalau pun telah terjadi, setidaknya berusaha meminimalisir sebaik mungkin. Kedua, mengusir dan membuangnya saat muncul ke permukaan, baik secara keseluruhan atau mengerahkan kemampuan yang kita bisa, agar kesedihan itu menjadi lemah dan terasa kecil (Al-Razi, 1939: 64).
Bagi al-Razi, inti dari persoalan ini adalah bahwa kesedihan itu muncul saat kehilangan orang-orang yang kita cintai. (Al-Razi, 1939: 65). Dengan kata lain, semakin banyak orang yang kita cintai, maka semakin banyak juga kesedihan yang kita rasakan, sementara orang yang mengalami sedikit penderitaan adalah mereka yang sebaliknya.
Hal ini senada sebagaimana yang pernah Jean Paul Sartre utarakan dengan diktumnya yang tersohor, “Hell is other people / Orang lain adalah neraka”. Secara tidak langsung dapat pula kita pahami bahwa semakin banyak orang yang kita kenal apalagi sampai jatuh pada level mencintai, maka semakin banyak neraka yang kita bangun.
Memang perlu kita akui bahwa memiliki orang-orang yang kita cintai itu sangatlah menyenangkan. Hal ini sesuai dengan settingan watak dasar alamiah manusia yang memang begitu, tapi tidak dengan kehilangannya, yang justru sangat bertolak belakang saat memilikinya. Sehingga konsekuensi yang terjadi, jiwa menjadi lebih sensitif atas derita saat kehilangan orang yang kita cintai daripada merasakan kesenangan saat memilikinya.
Begitu pula dengan tubuh, seseorang bisa saja merasakan sehat dalam kurun waktu yang lama. Namun ia tidak merasakan kenikmatan saat ia masih sehat kecuali jika salah satu anggota tubuhnya sakit. Maka akan segera merasakan sakitnya dan menyadari betapa mahalnya harga sebuah kesehatan. (Al-Razi, 1939: 66)
Kesehatan adalah Mahkota Tak Terlihat
Hal ini selaras dengan pernyataan pepatah Arab yang berbunyi:
“الصحة تاج على رؤوس الأصحاء لا يراه إلا المرضى”
“Kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang sehat, yang hanya bisa dilihat mereka yang sakit”.
Bahkan lebih lanjut, al-Razi menyatakan bahwa seseorang agar segera menyadari setiap kehilangan. Maka kita harus memahaminya sebagai upaya pembebasan jiwa dari kekhawatiran dan ketakutan yang terus-menerus. Maka dari itu, konsekuensinya adalah akan lahir sikap kehati-hatian dan ketabahan saat tertimpa kesedihan di kemudian hari.
Kalau mengikuti perspektif al-Razi, kehilangan orang-orang yang kita cintai sesungguhnya adalah hal yang menguntungkan, betapa pun nafsu mungkin menentangnya. Al-Razi mengumpamakannya seperti saat meminum obat. Meskipun obat penawar terasa pahit, namun menyimpan sejuta manfaat yang akan memberikan kesembuhan dan melegakan. (Al-Razi, 1939: 69)
Pernyataan-pernyataan semacam ini semakin menunjukkan bahwa al-Razi sebagai seorang dokter yang piawai. Ini tampak melalui analisis-analisis medisnya di satu sisi. Juga kental dengan wacana psikologis di sisi yang lain dengan menelaah kesehatan mental dan fisik sekaligus yang disebabkan kesedihan.
Dengan begitu, satu-satunya cara yang dapat kita lakukan saat tertimpa kesedihan bukanlah menghilangkannya seraya mengutuk Tuhan. Hingga menganggapNya telah berlaku tidak adil karena melimpahkan kesedihan, sementara saat terlanda kesenangan yang tak terperikan, tak sedikit pun kita ingat.
Menghilangkan kesedihan secara tidak langsung berarti mengurangi kekaffahan kebahagiaan itu sendiri. Kesedihan adalah rona kehidupan yang harus dan pasti ada. Bukankah kopi yang sempurna lantaran rasa pahitnya? Wallahu A’lam bi al-shawab. []