Mubadalah.id – Stoikisme, atau filsafat Stoa, belakangan ini semakin populer dalam diskusi publik. Salah satu ajaran intinya adalah dikotomi kendali: fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan menerima dengan lapang dada segala sesuatu yang berada di luar jangkauan kita.
Kita juga harus mengakui bahwa dalam hidup, tidak semua hal bisa kita kendalikan sesuai keinginan, dan Stoikisme mengajarkan bahwa ketenangan justru datang dari menerima kenyataan tersebut.
Sedikit cerita, baru-baru ini saya mengikuti Akademi Mubadalah pada Selasa s/d Kamis, 11-13 Februari 2025 di Yogyakarta. Sebuah forum diskusi yang membahas berbagai isu dengan pendekatan keadilan dan kesetaraan. Ada banyak materi yang menarik yang saya dapat. Salah satunya ketika Buya Husein Muhammad menghubungkan Stoikisme dengan konsep Islam tentang ikhtiar, yakni usaha untuk melakukan secara sadar dan terarah.
Kata beliau, Ikhtiar dalam Islam tidak sekadar bekerja keras, tetapi juga memahami batas-batas mana yang bisa kita usahakan dan mana yang tidak. Jika diulas lebih lanjut, ikhtiar memang selaras dengan stoikisme, sebab juga berfokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan.
Artinya, usaha harus selaras dengan realitas. Jadi, nggak bisa sekadar kerja, kerja, kerja saja tanpa visi yang jelas dan nggak masuk akal. Karena jika hanya bekerja tanpa arah yang jelas, ya cuma buang-buang anggaran dan menambah beban hutang negara saja, bukan? Haisssh.
Perspektif yang Utuh, Bukan Sekadar Niat Baik
Dalam salah satu materi di Akademi Mubadalah, Kang Faqih (Faqihuddin Abdul Kodir) menekankan betapa pentingnya cara pandang dalam memahami berbagai fenomena.
Kita tidak bisa cuma melihat sesuatu dari satu sisi doang, apalagi kalau sudah menyangkut isu-isu besar seperti disabilitas. Harus pakai sudut pandang yang utuh, biar nggak keliru dalam menyikapi. Kalau pakai istilah kerennya, helicopter view—melihat sesuatu dari atas, lebih luas, lebih menyeluruh.
Hal ini tentu penting. Sebab, sering kali, dalam memandang disabilitas, orang-orang hanya mengandalkan niat baik tanpa memperhatikan perspektif yang lebih luas. Seolah-olah kaum difabel selalu membutuhkan belas kasihan dan pertolongan, padahal yang mereka butuhkan adalah akses dan kesempatan yang setara.
Dalam sudut pandang Stoikisme, seseorang itu harus dilihat secara penuh dan utuh. Nggak cuma tubuhnya, tapi juga ruhnya, jiwanya, semangatnya. Ini berlaku buat siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, disabilitas maupun non-disabilitas. Kalau kita cuma fokus di satu aspek saja, maka kita akan mengalami kegagalan untuk memahami manusia secara keseluruhan. Jadi, perspektifnya harus bener dulu. Sebab, niat baik saja tidak cukup kawan.
Dikotomi kendali dalam Stoikisme mengajarkan kita untuk membedakan mana yang bisa dikendalikan dan mana yang tidak. Seorang penyandang disabilitas, misalnya, mungkin tidak bisa mengubah kondisi fisiknya begitu saja, tetapi ia tetap punya kendali atas respons dan cara menjalani hidupnya. Fokusnya bukan pada meratapi hal-hal yang di luar kuasa, melainkan pada bagaimana menghadapi hidup dengan pilihan yang tersedia.
Begitu juga dengan kita yang non-disabilitas. Cara pandang kita terhadap penyandang disabilitas juga harus mengikuti prinsip ini. Bukan dengan kasihan berlebihan atau memperlakukan mereka seolah tak berdaya, tapi dengan memberikan akses dan kesempatan yang setara.
Fisik Bukan Indikator Kualitas Seseorang
Dalam konteks ini, pendekatan Stoikisme menawarkan cara pandang yang lebih memberdayakan. Alih-alih fokus pada batasan yang ada, lebih baik mengarahkan energi untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.
Sekali lagi, menilai seseorang hanya berdasarkan fisiknya adalah bentuk pemikiran yang sempit. Sebab, kualitas seseorang tentu saja tidak ditentukan oleh kondisi tubuhnya, melainkan oleh bagaimana ia berpikir, bertindak, dan memberi manfaat bagi sekitarnya. Dalam Stoikisme, kebebasan sejati bukan terletak pada keadaan eksternal, tetapi pada cara seseorang mengelola pikirannya.
Jika kita masih merasa bahwa kaum disabilitas adalah pihak yang harus kita tolong, ketimbang memberikan mereka kesempatan yang sama, maka memang ada yang salah dari cara kita berpikir. Karena keadilan bukan soal belas kasihan, melainkan soal memastikan bahwa setiap orang memiliki ruang untuk berkembang. Iya, mari berlaku adil sejak dari pikiran. []