Mubadalah.id – Komunitas jaringan Wadon Dermayu Ora Meneng merupakan respon atas banyaknya persoalan perempuan di Indramayu. Seperti tingginya angka perkawinan anak, trafficking atau tindak pidana perdagangan orang, angka kematian ibu dan bayi yang baru dilahirkan (AKI/AKB), stunting, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual dan lain sebagainya.
Sementara, setiap komunitas perempuan dan organisasi yang peduli dengan isu perempuan hanya fokus pada isu yang sesuai dengan programnya masing-masing, sehingga cenderung cuek dan tidak peduli dengan persoalan perempuan lainnya.
Kita tak memungkiri, Indramayu pernah dipimpin oleh Bupati perempuan Hj. Anna Sophanah, dan banyak tokoh perempuan yang tidak diragukan lagi kiprahnya bahkan hingga dikenal ke level nasional. Sebut saja, Hj. Maria Ulfah Anshor yang pernah menjadi Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Mantan Ketua PP. Fatayat NU.
Belum ditambah dengan sejumlah aktivis perempuan, pegiat dan penggerak isu-isu perempuan yang bertebaran dan masih asyik dengan programnya masing-masing. Semua itu merupakan potensi besar yang sayang jika tidak diberdayakan secara maksimal. Dan bagaimana potensi yang ada mampu dijadikan sebagai bagian dari solusi atas sekian masalah perempuan.
Masih hangat dalam ingatan saya ketika kecil dulu, stigma tentang perempuan Indramayu terdengar negatif. Mulai dari prostitusi illegal yang tersebar di sepanjang jalan pantura, sebutan RCTI (Rangda Cilik Turunan Indramayu), yang artinya banyak perempuan yang dikawinkan saat masih usia anak dan menjadi janda dalam rentang waktu yang singkat. Lalu tingkat pendidikan rendah bagi anak perempuan, sehingga akses terhadap peluang pekerjaan pun minim serta terbatas.
Streotype yang terlanjur melekat selama bertahun-tahun terhadap perempuan Indramayu menjadi tantangan tersendiri bagaimana melakukan perubahan, dari hal negatif menjadi positif. Meski menyadari tak semudah membalikkan telapak tangan, namun komunitas “Wadon Dermayu Ora Meneng” optimis jalan panjang kesetaraan akan semakin terang.
Selain membangun kesadaran dan komitmen bersama dengan menggunakan strategi keadilan gender dalam Islam, juga bagaimana menguatkan kapasitas para pegiat dan penggerak agar mampu melakukan pengorganisiran persoalan yang dihadapi perempuan.
Karena mayoritas masyarakat Indramayu adalah pemeluk agama Islam, yang selama ini tafsir terhadap teks agama masih bias dan misoginis. Dan hal itu juga tidak bisa dilakukan secara sepihak, maka komunitas harus menggandeng sebanyak mungkin jaringan yang akan terlibat nanti.
Atas dasar itu, saya berikhtiar memulainya dengan penguatan kapasitas agar tak lagi gamang saat melangkah ke depan. Karena menyadari bahwa perempuan sangat rentan dijadikan sebagai objek seksual dan domestikasi peran yang selalu dikaitkan dengan tubuh serta kesehatan reproduksinya. Sehingga dengan demikian, peran perempuan lantas dibatasi. Tak bisa apa-apa. Dan tak boleh ke mana-mana. Ruangnya hanya berada di sekitar rumah saja.
Perspektif mubadalah menjawab semua ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini menghinggapi pikiran banyak perempuan. Karena mubadalah mengajak pada nilai kebaikan, bukan melakukan upaya perlawanan, sehingga persoalan tentang perempuan bukan hanya domain perempuan semata, tetapi menjadi masalah yang harus diselesaikan bersama, ditarik menjadi problem kemanusiaan.
Sejalan dengan gagasan dan strategi membentuk komunitas ini, saya menyimak buku “Menolak Tumbang Narasi Perempuan Melawan Kemiskinan”, yang ditulis oleh Ibu Lies Marcoes, bahwa ada empat isu perjuangan Kartini yang harus menjadi perhatian kita bersama. Pertama pendidikan perempuan, kedua tekanan untuk menikah, ketiga kesehatan reproduksi, dan keempat kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Ibu Lies dalam buku tersebut, daur (siklus) hidup perempuan miskin sepertinya begitu pendek. Dalam waktu singkat, mereka melewati kanak-kanak, bergegas masuk ke dunia kerja sambil berrumah tangga. Periode ini sering disebut usia produktif. Bagi perempuan, itu bermakna ganda yang membutuhkan tenaga : produktif beranak pinak dan produktif secara ekonomi.
Selama periode itu, perempuan miskin berhadapan dengan sejumlah tantangan, pendidikan rendah, pernikahan di bawah umur, beban kerja berlipat ganda, serta hambatan menjalani kesehatan reproduktifnya dengan aman. Namun, kekerasan fisik dan non fisik merupakan gudang soal yang tak berkesudahan.
Pekerjaan rumah bagi pegiat dan penggerak perempuan, terutama di Indramayu memang sangat banyak sekali. Selain penguatan kapasitas perempuan itu sendiri, juga dibutuhkan kerjasama jaringan untuk melakukan pendampingan kasus, mendorong kebijakan publik serta pengolahan data yang berdasarkan hasil penelitian. Yang semua itu dilakukan secara bertahap dan simultan.
Saya percaya, perempuan yang berjuluk “matahari yang tak pernah tenggelam”, akan benar-benar hadir dan berdiri tegak sebagai makhluk yang merdeka dan berdaya. Tanpa diskriminasi, domestikasi dan stigmatisasi yang memasung harap serta cita-cita Kartini bagi perempuan di negeri ini.[]