Mubadalah.id – Bismillah Insya Allah akan kubuat rangkaian catatan tentang ulama perempuan, dan gagasan-gagasan penting yang bertaburan muncul di KUPI-2. Baik saat persiapan maupun pelaksanaan, terutama yang aku terlibat langsung, yaitu:
Pertama, di Plenary Sessionnya international conference yang digawangi oleh Aman Indo aku diminta bicara tentang Movement of KUPI: Paradigm, Methodology, and Approaches. Waktu itu dipanel dengan Prof. Dr. Imam Taufik, M.Ag., Rektor UIN Walisongo Semarang dan dimoderatori oleh Samia Ktl (Samia Kotele).
Kedua, di Parallel Session, aku bicara di Book Discussion yang digawangi oleh Musawah, panel dengan Bapak Mubadalah Indonesia, siapa lagi kalau bukan Kang Faqih Abdul Kodir, Ziba Mir-Hosseini, Mulki Alsharmani dan dimoderatori oleh Nur Hamizah dari Malaysia. Dua pembicara terakhir hanya hadir secara online.
Buku yang kami bahas berjudul Beauty and Justice in Muslim Marriage Towards Egalitarian Ethics and Laws. Aku tentu diminta sharing tentang chapter yang kutulis dengan judul Understanding the Qur’an through Women’s Experiences.
Ketiga, di sesi paralel Kongres aku diminta bicara tentang Reformasi Konsep dan Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Etika Keadilan dan Kesalingan. Dipanel dengan pak Kamaruddin Amin, mbak Alissa Wahid, Kang Faqih, Neng Nur Arfiyah Febriani, dan dimoderatori oleh Iklilah MDF.
Keempat, Di forum paralel, aku masuk tim tema perlindungan perempuan dari bahaya P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan) bersama Iffah Umniati (Dosen Fiqih dan Ushul Fiqih), Umma Farida (Dosen Hadis dan Ilmu Hadis), Farida Ulvi (Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh), dan Fatmawati Hilal (Dosen Ilmu Falak).
Yuk mulai dengan catatan pertama tentang Ulama Perempuan!
Bukan Perorangan
Ada 2 istilah yang terlihat mirip namun terdefinisikan oleh KUPI secara berbeda. Pertama, Perempuan Ulama, yaitu perempuan yang punya kapasitas keulamaan. Perempuan di sini memiliki makna biologis sehingga laki-laki tidak mungkin termasuk di dalamnya.
Kedua, Ulama Perempuan, yaitu ulama, baik laki-laki maupun perempuan, yang memegang teguh perspektif perempuan. Perempuan dalam istilah kedua ini bermakna ideologis. Makna ini bersifat baru sehingga belum tentu bisa kita temukan padanan katanya di bahasa lain. KUPI adalah kongresnya Ulama Perempuan sehingga pesertanya ada laki-laki maupun perempuan.
Secara istilah, Ulama Perempuan kita maknai sebagai sekumpulan orang yang secara kolektif mempunyai kapasitas keulamaan dan sama-sama memegang teguh perspektif perempuan dalam mewujudkan peradaban yang berkeadilan. Ada dua kata kunci yang penting kita cermati dari definisi ini, yakni kata “sekumpulan” dan kata “secara kolektif”.
Kata “sekumpulan” berarti bahwa kata ulama perempuan merujuk pada orang yang berjumlah banyak, bukan perorangan. Jika perorangan, maka ia bukanlah ulama, melainkan alim atau alimah dalam bidang tertentu keilmuan. Ulama perempuan terdiri dari sekumpulan alimah atau alim dengan latar belakang kelimuan beragam namun sama-sama memegang teguh perspektif perempuan.
Kata “secara kolektif” terkait erat dengan luasnya keilmuan Islam yang penting ulama miliki. Dalam pandangan KUPI, yakni meliputi ilmu-ilmu yang bersumber dari dua jenis ayat Allah, yaitu ayat-ayat Qauliyyah (al-Qur’an), maupun ayat-ayat Kauniyyah (alam semesta raya seisinya). Penjelasan tentang hal ini insya Allah akan saya buat dalam catatan lainnya.
Kolektifitas Ulama Perempuan
Setiap permasalahan yang umat hadapi, direspon oleh ulama perempuan dengan menggunakan keragaman ilmu, baik “ilmu agama” maupun “ilmu umum” dalam perspektif perempuan. Setiap orang bisa menjadi bagian dari Ulama Perempuan sesuai dengan keahlian/ keilmuan masing-masing.
Kolektifitas dalam keulamaan perempuan adalah sebuah keniscayaan mengingat luasnya ilmu Allah yang bisa kita pelajari. Ilmu-ilmu “agama” dan “ilmu umum” sama-sama penting dalam merumuskan kemaslahatan yang menjangkau pengalaman kemanusiaan khas perempuan yang menjadi prasyarat terwujudnya peradaban yang berkeadilan.
Ulama Perempuan dapat terdiri dari mereka yang berlatar belakang keilmuan Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadis dan Ulumul Hadis, Fiqh dan Ushul Fiqih, dll. Mereka juga bisa berlatar belakang sosiologi, antropologi, psikologi, kedokteran, ilmu politik, ilmu ekonomi, sains dan teknologi, dll.
Secara kolektif mereka perlu duduk bersama menggunakan keahlian masing-masing untuk memahami permasalahan yang umat hadapi. Kemudian bersama-sama pula merumuskan kemaslahatan yang menjangkau kondisi kemanusiaan khas perempuan.
Peradaban Berkeadilan
Peradaban berkeadilan yang menjadi misi ulama perempuan adalah tugas yang mesti dilakukan semua pihak. Setiap ikhtiar, baik yang kita lakukan secara bersama maupun terpisah, sangat penting dalam proses mewujudkan sistem kehidupan berkeadilan. Baik di level individu, perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, maupun lainnya.
Islam menuntut dan menuntun setiap orang, baik laki-laki dan perempuan, untuk menjadi bagian dari anugerah Islam atas semesta, termasuk atas perempuan. Cita-cita tertinggi atas kemanusiaan keduanya ini hanya mungkin terwujud jika semua pihak terus berproses menyempurnakan akhlak mulia masing-masing. Termasuk akhlak pada perempuan.
Keulamaan perempuan Indonesia dengan demikian adalah sebuah proses terus menerus untuk mewujudkan sistem kehidupan yang mengondisikan semua pihak berakhlak mulia. Terutama pihak kuat pada pihak yang lebih lemah di setiap relasi. Sehingga demi sistem tersebut, bisa menjadi bagian dari anugerah Islam atas semesta. Termasuk atas pihak yang lemah (dluafa) dan pihak yang rentan dilemahkan (mustadl’afin).
Semoga kita semua bisa mengambil peran secara aktif dalam mewujudkan peradaban berkeadilan secara maksimal sesuai dengan kemampuan dan kewenangan masing-masing. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamien []