Mubadalah.id – Sebagai seorang fasilitator kelas pernikahan, saya sering mendapatkan pertanyaan dari calon pengantin tentang persiapan apa yang perlu kita lakukan sebelum menikah. Tak mungkin jawabannya tunggal, tapi saya sering memastikan terlebih dulu apakah di antara calon ada yang masih terikat dengan keluarga asal. Secara lebih spesifik kepada calon mempelai pria, saya sering berseloroh, ceraikan ibumu dulu.
Jika saya menjawab seperti itu, reaksi calon perempuan biasanya senyum-senyum tanda paham. Akan tetapi, saya tegaskan bahwa separasi dengan keluarga asal harus dilakukan kedua calon. Hanya saja, hubungan segitiga yang rumit lebih sering terjadi (induksi dari sejumlah kasus yang saya jumpai sendiri) antara suami, istri dan ibu mertua dari pihak suami.
Membicarakan orang tua, terutama ibu, selalu menarik dan melibatkan emosi yang dalam. Jika kita berbicara tentang keluarga asal, di sini ada banyak kenangan, baik yang manis maupun yang traumatis. Dalam bentuk yang positif, keluarga asal memberikan keamanan, perhatian, kehangatan, dukungan atau semangat, cerita, tradisi, kesempatan untuk tumbuh, previlise tertentu, kegembiraan, dan keceriaan.
Sebaliknya, keluarga asal juga dapat menyumbang sejumlah kompleksitas hubungan dan kristalisasi emosi negatif. Penghakiman dan kritik, kontrol dan manipulasi, harapan dan tekanan, jarak sosial, perfeksionisme, pencitraan, dan rasa bersalah. Sebagaimana yang baik, yang buruk pun akan berpengaruh bagi anggota.
Tipe Anak Mami
Dalam sistem keluarga yang disfungsional, anak adalah korban, yang salah satunya tipenya adalah dia dijadikan pasangan semu oleh orang tua. Dalam kasus ini, anak laki-laki menjadi suami semu sang ibu.
Anak laki-laki ini dituntut si ibu untuk memberikan perhatian, waktu, hingga nafkah finansial maupun emosional layaknya suami. Hanya minus hubungan seksual. Pada satu titik, di sisi lain, sang anak akan sampai pada tahap gagal membedakan perasaannya sendiri dan perasaan ibunya. Karena dalam kebingungan, dia tidak merasakan situasi ini sebagai sebuah kesalahan. Kita namakan pria tipe ini sebagai anak mami.
Anak mami ini pasti tak bisa membina pernikahan secara fungsional karena sistem yang baru ia bina tidak akan bisa otonom. Secara emosional, si ibu akan menjadi “istri pertama” dan istri sah akan menjadi “yang kedua”. Ibu akan berperan ganda. Sebagai ibu suri sekaligus permaisuri, sedangkan istri hanya menjadi selir.
Situasi semakin rumit karena perilaku anak mendapatkan banyak pembenaran, terutama dari dogma dan norma yang berlaku, misalnya “anak laki-laki adalah milik ibunya; istri adalah milik suaminya”.
Norma beracun tersebut menghasilkan simpulan: kalau berkonflik dengan ibu mertua, seorang istri tidak akan menemukan validasi di masyarakat kita. Pernikahan seperti ini hanya akan menghasilkan dua kondisi: masalah tanpa solusi atau cerai. Perceraian melibatkan mertua sering tidak terungkapkan di pengadilan oleh penggugat dengan alasan akan banyak mediasi yang bertele-tele.
Semua jenis hubungan yang sehat mensyaratkan kemampuan untuk bertahan dan memelihara ikatan tanpa mengorbankan identitas. Anak mami biasanya akan mengalami isolasi dan keterasingan terhadap diri sendiri. Dia dimanfaatkan, lelah secara mental, dan kehilangan jati diri. Anak mami biasanya teridentifikasi sebagai anak baik oleh masyarakat awam, tapi pahit dan beracun jika kita jadikan suami.
Menceraikan Ibu
Jangan kita bayangkan bahwa menceraikan ibu berarti benar-benar kabur tanpa hubungan seperti anak hilang. Menceraikan ibu berarti memisahkan identitas sendiri dengan identitas ibu, perasaan, imajinasi, kehendak, keyakinan, dll. Bertanggung jawab secara proporsional (hanya sebagai anak).
Ketika menikah, sistem baru telah terbentuk dan keluarga asal berubah fungsi menjadi sistem pendukung keluarga baru. Hubungan yang sehat justru terjadi ketika ada batas-batas diri yang tegas. Menceraikan ibu tidak hanya menyehatkan pernikahan yang terbina. Tetapi juga membuat hubungan dengan ibu (bagi suami) dan mertua (bagi istri) akan lebih konstruktif.
Jika sulit kita pahami, bayangkan kemerdekaan bagi sebuah negara—Aristoteles mengatakan keluarga adalah negara terkecil. Negara merdeka harus berdaulat. Jika ada negara lain yang masuk tanpa dikehendaki, namanya kolonialisasi. Anak mami yang memasukkan ibu ke dalam sistem keluarga baru (dengan membiarkan ikut campur urusan domestik, finansial, parenting, dll) mirip kepala negara yang mengundang penjajah. Ilustrasi ini tampak jahat, tapi fakta memang tak selalu menyenangkan.
Jika masih sulit karena memang harus menjadi suami semu dari ibu (dengan memberi nafkah dan sumber daya lain), sebaiknya anak mami tak menikah dulu karena hanya menjerumuskan anak orang ke kubangan konflik. Uang, pembagian kerja, komunikasi, dan kecemburuan. Kalau punya calon dengan banyak ciri-ciri sebagai anak mami, sebaiknya Anda tunda dulu pernikahan sampai dia menceraikan ibunya.
Terkadang, ada perempuan yang dengan santai bilang bahwa tidak apa-apa, ibunya sudah tua dan akan segera meninggal. Jangan berharap demikian.
Selain ibu seperti ini biasanya panjang umur, anak mami yang ditinggal wafat sang ibu akan patah hati dan siap mencari “ibu” yang lain. Ingat, anak mami juga biasanya gemar selingkuh, dan jika ketahuan pun akan dibela ibunya. Lebih baik kibarkan bendera kepada pria jenis ini sebelum ijab-kabul. []