Mubadalah.id – Apakah perempuan bisa menikah tanpa harus terikat dengan izin dari walinya? Apakah perempuan memiliki hak untuk menikah? Apakah perempuan bisa menikahkan dirinya dengan seorang pria, atau dia harus dinikahkan orang lain?
Beberapa ayat al-Qur’an bisa dijadikan dasar pembicaraan ini. Pertama adalah ayat-ayat yang mengisyaratkan hak perempuan untuk menikah sendiri:
فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يَّتَرَاجَعَآ
“Kemudian jika si suami menceraikannya (sesudah cerai yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”. (QS. al-Baqarah (2): 230).
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ اِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ
“Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu habis ‘iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf”. (QS. al-Baqarah (2): 232)
فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْٓ اَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
“Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut”. (QS. al-Baqarah (2): 234).
Kedua, ayat-ayat yang mengisyaratkan bahwa perempuan itu dinikahkan wali, bukan menikahi atau menikahkan.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin), sebelum mereka beriman”. (QS. al-Baqarah (2): 221).
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (lajang) di antara kamu dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan yang perempuan. (QS. an-Nur (24): 32).
Dalil Hadis
Ada banyak teks hadis yang juga bisa dijadikan dasar pembicaraan mengenai hal ini, di antaranya adalah yang menyebutkan: ‘Aisyah r.a pernah menceritakan mengenai kedatangan seorang perempuan muda bernama Khansa binti Khadim al-Anshariyah. Ia mengatakan:
“Ayahku telah mengawinkan aku dengan anak saudaranya. Ia berharap dengan menikahi aku kelakuan buruknya bisa hilang. Aku sendiri sebenarnya tidak menyukainya”
Aisyah mengatakan: “Kamu tetap duduk di sini sambil menunggu Rasulullah SAW”. Begitu beliau datang dia menyampaikan persoalannya tadi. Nabi kemudian memanggil ayahnya, lalu memintanya agar menyerahkan persoalan perjodohan itu kepadanya (anak perempuannya itu).
Si perempuan kemudian mengatakan kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, aku sebenarnya menuruti apa yang telah diperbuat ayahku. Akan tetapi aku hanya ingin memberitahukan kepada kaum perempuan bahwa sebenarnya para bapak/ ayah tidak mempunyai hak atas persoalan ini”. (Riwayat an-Nasai, lihat: Ibn al-Atsir, Jamii al-Ushul, juz XII, hlm. 140, no. hadits 8974). []