“Bapak, kenapa memarahi ibu? aku tidak kuat mendengarnya.”
“Kenapa ibu menangis?”
“Bapak, kenapa memukul ibu?”
Mubadalah.id – Ucapan itu terus berkecamuk dalam batin seorang anak yang menyaksikan ibunya dipukul oleh ayahnya. Rasanya seperti ingin teriak, jangan lukai ibu. Anak yang belum memahami konflik orang tua secara lebih kompleks, berusaha mencerna dengan kritis dan seksama. Namun ia, belum memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan. Ia terus menahan rasa penasaran dengan apa yang terjadi. Mau melerai bingung, tidak melerai ketakutan.
Saya termasuk anak yang tidak tahan dengan nada kasar dimanapun berada. Bahkan ketika di rumah, bapak ibu tahu jika saya memiliki karakter yang belum siap mendengar bentakan atau kalimat bernada keras, layaknya dimarahi. Saat publik tengah ramai dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), saya mencoba berefleksi bagaimana jika saya berposisi sebagai anak yang melihat secara langsung berada di tengah KDRT.
Saya pernah menangis karena tidak mampu membayangkan seorang anak menyaksikan ibunya menjadi korban KDRT, dipukul, ditampar, dan dibentak ayahnya sendiri. Belum lagi, anak-anak yang belum cukup dewasa. Mereka berada di pusaran KDRT saat membutuhkan pelukan hangat kedua orang tuanya. Ini menjadi refleksi sekaligus kesedihan saya yang mendalam.
Fungsi Keluarga
Keluarga memiliki peran fundamental dalam kehidupan anak. Penanaman nilai-nilai moral secara praktis akan berproses dan ditentukan oleh keluarga. Keluarga juga identik sebagai tempat yang dapat memberikan kasih sayang secara efektif dan maksimal.
Di tengah keluarga, seorang anak mendapat pengalaman langsung yang kelak kita gunakan sebagai bekal hidup selanjutnya. Oleh karena itu, peran dan tugas keluarga memberikan pengaruh besar dalam mendiidik anak-anaknya. Membangun budi pekerti yang luhur agar anak mampu melindungi diri dan menempatkan diri dalam lingkungan masyarakat.
Anak menjadi bagian keluarga yang turut merasakan siklus dalam rumah tangga, termasuk KDRT. Persoalan KDRT dapat terjadi kapanpun dan di mana saja. Bukan soal remeh, KDRT dapat memicu berbagai gangguan pada anak. Bayangkan, kedamaian dan ketenangan yang kita harapkan anak berubah menjadi sesuatu yang mencekam.
Bagi anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga, memori otaknya merekam trauma berupa gangguan fisik, mental dan emosional. Pengalaman melihat kekerasan dalam rumah tangga pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek seperti ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, serta munculnya berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam kasus kekerasan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya.
Dampak KDRT terhadap Anak
Pengalaman anak menyaksikan dan mengalami KDRT adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan tersebut dilakukan oleh orang-orang terdekat. Keluarga yang semestinya menjadi tempat yang aman dan nyaman, justru menampilkan dan memberikan siklus yang tidak sehat.
Saya setuju dengan pendapat Mutia Siregar dkk. dalam penelitiannya berjudul “Dampak Trauma KDRT terhadap Perkembangan Psikis Anak” tahun 2021, yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang, KDRT akan menunjukkan pengaruhnya pada masa dewasa, yaitu ketidakmampuan mengembangkan kemampuan coping yang efektif.
Kebanyakan anak-anak ini akan menjadi orang-orang dewasa yang rentan terhadap depresi dan menunjukkan gejala-gejala traumatis. KDRT yang suami lakukan pada istri juga memungkinkan anak akan menjadi salah satu manusia yang rentan mengalami kekerasan secara psikis.
Dear Ayah, Jangan Lukai Ibu
Setelah melihat beberapa kasus KDRT yang memungkinkan anak menjadi bagian terdampak paling vital, saya ingin memberikan surat untuk ayah di manapun berada.
“Dear Ayah, jangan lukai ibu. Apa yang saya lihat akan mempengaruhi perasaan dan mental saya. Ketika ayah melukai ibu, saya juga turut terluka. Saya tidak memiliki kemampuan untuk berteriak karena saya memiliki ketakutan yang ayah abaikan. Ketika ayah melakukan kekerasan, saya menjadi bagian manusia yang terdampak secara psikologis. Ketika memang tidak bisa menjaga ibu, kadang saya memilih hidup tanya ada ayah.
Sebab dalam rumah ini, saya berharap adanya ketenangan, bukan keramaian yang mengusik dan melukai kehidupan. Ibu bukan perempuan yang posisinya ada di bawah ayah. Ibu adalah orang yang melahirkan saya dan manusia yang berhak kita perlakukan secara layak. Jika ayah melakukan kekerasan fisik pada ibu, maka ayah juga melakukan kekerasan pada saya.
Ketahuilah ayah, saya tidak memiliki kekuatan untuk menjadi penengah, di sisi lain saya juga memendam rasa marah dan ketakutan. Ayah, jika boleh aku mengatakan sejujurnya, saat laki-laki belum mampu mengolah sebuah emosional cukup matang, maka jangan menikahi perempuan. Dari situ, tidak akan lahir anak seperti saya, yang terluka karena perilaku ayahnya sendiri.” []