• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Desakralisasi Rabi’ul Awwal: Melihat dan Meneladani Kemanusiaan Nabi

Kemanusiaan Nabi Muhammad adalah jembatan bagi kita untuk mempelajari empati, kesabaran, dan kesederhanaannya sebagai nilai-nilai utama

Ahmad Thohari Ahmad Thohari
24/09/2024
in Personal
0
Meneladani Kemanusiaan Nabi

Meneladani Kemanusiaan Nabi

472
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ketika Paus Fransiskus datang yang oleh orang Indonesia kita sambut cukup antusias, bahkan oleh umat Islam. Sesungguhnya adalah bentuk kerinduan jiwa kita sendiri sebagai manusia akan figur keteladanan, terkhusus dalam hal kemanusiaan.

Refleksi-refleksi pun dilakukan berkat kedatangan sosok Paus. Apalagi di tengah gonjang-ganjing figur wakil rakyat yang justru memupus harapan-harapan kita sebagai rakyat. Tentu saja, kerinduan tersebut semakin terasa.

Anehnya, kenapa hal tersebut malah kita pandang secara sinis? Kita pandang bahwa seolah kita lebih cinta kepada Paus Fransiskus ketimbang Kanjeng Nabi Muhammad. Semua awam pun pastinya mengerti bahwa tidak ada satu pun makhluk yang dapat menggantikan posisi Kanjeng Nabi sebagai uswatun khasanah.

Kenapa tidak berpikir sebaliknya? Barangkali antusiasme kita menyambut kedatangan Paus Fransiskus merupakan semacam kritik bahwa figur-figur agamawan (Islam, misalnya) sampai sekarang belum benar-benar memberikan keteladanan yang cukup berarti kepada rakyat.

Rindu Sosok Nabi

Sungguh, kita sebagai umat Islam sangat rindu akan sosok Kanjeng Nabi Muhammad itu, dalam hal apapun. Kita sangat rindu akan teladan dalam hal kedewasaan politik, kebijaksanaan budaya, lebih-lebih soal kemanusiaan.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Kanjeng Nabi adalah gambaran paling ideal untuk hal itu. Sehingga, apabila ada sosok yang memiliki energi yang selaras dengan keteladan-keteladanan semacam itu pastilah kita akan iguh. Seperti yang terjadi ketika kita mencoba mengarifi kedatangan Paus Fransiskus.

Toh, kita pun tetap tidak kehilangan akar budaya, bahwa bulan Rabi’ul Awwal yang merupakan bulan kelahiran Kanjeng Nabi akan selalu penuh dengan gegap gempita yang menunjukkan kerinduan kita kepada sosok agung tersebut. Mulai dari lantunan selawat, hingga upacara kebudayaan seperti selalu dilakukan di Jogja maupun Solo, yakni grebeg maulud.

Artinya, kita tidak perlu khawatir bahwa masyarakat kita akan tiba-tiba linglung tidak lagi memuliakan Kanjeng Nabi. Kebudayaan kita sudah cukup mengakar kuat dan selalu mengingatkan setiap tahunnya untuk menunjukkan bahwa satu-satu teladan hidup yang mesti kita muliakan adalah Kanjeng Nabi Muhammad.

Meneladani kemanusiaan Nabi. Tak ada yang lain, hidup dan mati. Sebaliknya, yang mengkhawatirkan adalah ketika budaya, sebagai cara kita memuliakan Kanjeng Nabi, dianggap bid’ah.

Perayaaan Maulid Tidak Perlu Dipandang Sinis

Berbeda dengan kelompok Islam Wahabi yang menganggap perayaan maulid Nabi adalah barang bid’ah. Akan sinis melihat kelompok Islam lain yang melakukan perayaan terhadap kelahiran Nabi. Ini persis yang Deina Abdelkader tulis, dalam artikelnya demikian, “kaum puritan Wahabi menganggap Maulid Nabi sebagai bid’ah.

Mereka kerap mengutip hadis Nabi yang mengatakan: Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan berakhir di neraka. Kata bid’ah di sini sering mereka gunakan untuk mengutuk praktik-praktik Muslim yang dianggap sebagai inovasi, seperti merayakan hari kelahiran Nabi.”

Sebaliknya, sebagai masyarakat Islam, kita adalah jenis muslim yang sangat memuliakan Rabi’ul Awwal. Hal ini sebagai bagian dari cara kita memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad. Apalagi di 12 Rabi’ul Awwal, adalah puncak klangenan kita terhadap sosok Kanjeng Nabi. Sehingga, merayakan kelahiran Kanjeng Nabi—dalam berbagai bentuk cara—adalah hal yang sangat berarti bagi kita. Karena itu pula, Rabi’ul Awwal boleh jadi akan selalu menjadi momen paling dinanti masyarakat (Islam) kita untuk menumpahkan rasa rindu yang teramat sangat itu.

Jadi, kenapa perayaan kelahiran Nabi sebagai satu dari sekian banyak cara kita memuliakan Kanjeng Nabi mesti dipandang sinis pula? Kita merupakan bangsa yang mengarifi ajaran Islam dengan penuh keindahan budaya—yang sesungguhunya juga bagian syi’ar Islam itu sendiri.

Islam adalah ajaran yang sangat sublim nilai-nilainya untuk bisa menyatu, berakulturasi dengan hidup manusia mana pun beserta kebudayaannya. Persis sebagaimana sosok Kanjeng Nabi yang juga sangat sublim nilai-nilai keteladanannya.

Melihat Muhammad sebagai Manusia Biasa

Tentu saja, dalam cara kita memuliakan Kanjeng Nabi mestinya tidak hanya berhenti sebatas pada perayaan belaka. Kita harus lebih dewasa lagi untuk juga menginstall nilai-nilai keteladanan Kanjeng Nabi Muhammad itu dalam software hidup kita masing-masing.

Dengan demikian penting kita catat, seperti diungkap Syekh Nursamad Kamba—penulis buku Sejarah Otentik Nabi Muhammad SAW—bahwa kemukjizatan terbesar Kanjeng Nabi adalah pada sisi kemanusiaannya, bukan pada aspek super-supranaturalnya.

Artinya, supaya kita berhasil menginstall keteladanan Kanjeng Nabi, kita mesti melihat dan memahami sosoknya sebagai manusia biasa terlebih dahulu. Misalnya, dengan melihat dan memahami lebih dekat kehidupan masa kecil beliau sebelum menjadi Nabi, juga kehidupan tatkala di periode Makkah dan Madinah. Tentu saja memiliki anasir nilai keteladanan yang berbeda sebagai sosok manusia biasa.

Dalam buku Muhammad: Man and Prophet karya Adil Salahi, misalnya, dapat kita baca untuk memberi pemahaman tentang kehidupan masa awal Nabi Muhammad yang lebih ditekankan pada aspek kemanusiaannya. Bukan pada glorifikasi mukjizat-mukjizat yang bersifat supernatural. Muhammad adalah gambaran manusia langit yang sangat membumi. Bahkan, melarang umatnya untuk terlalu mengkultuskan sosoknya.

Salahi, melalui bukunya itu, menyoroti bagaimana Muhammad tumbuh sebagai anak yatim piatu, kehilangan kedua orang tuanya pada usia yang sangat muda. Lalu dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib, dan pamannya Abu Thalib.

Kehidupan yang sangat sederhana, penuh perjuangan, sehingga itu membentuk karakternya. Tidak ada penekanan berlebihan pada hal-hal yang ajaib. Melainkan kisah tentang kesabaran, ketekunan, dan kejujuran dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.

Buku tersebut mencoba menunjukkan bahwa integritas, kejujuran, dan keteguhan moral Kanjeng Nabi itu berkembang dari kehidupan sehari-harinya sebagai manusia biasa yang hidup dalam masyarakat Makkah.

Melihat Nabi Muhammad Saw Lebih Dekat

Sebagai seorang anak yang tumbuh di lingkungan masyarakat yang keras, Muhammad tidaklah kita kenal karena hal-hal yang ajaib, melainkan karena akhlaknya yang luar biasa. Bahkan sebelum menerima wahyu. Julukan al-Amin yang diberikan oleh masyarakat Makkah adalah bukti nyata dari penghargaan terhadap karakter kemanusiaannya. Ini yang penting sekali kita teladani.

Buku Melihat Muhammad Lebih Dekat yang judul aslinya The First Muslim: The Story of Muhammad karya Lesley Hazleton, juga hendak memberikan penglihatan dan pemaknaan yang sama dengan Adil Salahi. Sebagai penulis yang berasal dari tradisi non-Muslim, Hazleton lebih mengambil pendekatan historis-sekuler.

Dia menulis dari sudut pandang yang lebih kritis dan fokus pada kemanusiaan Muhammad tanpa menghubungkan secara langsung kepada intervensi Tuhan. Ini juga poin yang penting sekali untuk kita pahami dari sosok Kanjeng Nabi.

Hazleton dalam bukunya tersebut, boleh dikatakan, sangat menyoroti karakter Muhammad sebagai seorang yang bijaksana, penuh kasih, dan memiliki komitmen kuat terhadap keadilan sosial. Dalam banyak bagian di buku tersebut, ia juga menggambarkan bagaimana Muhammad dikenal karena kejujuran dan integritasnya bahkan sebelum menjadi Nabi.

Meneladani Kemanusiaan Nabi

Salah satu aspek penting dari kehidupan Nabi Muhammad yang tergambarkan dalam kedua buku tersebut adalah bagaimana beliau menghormati perbedaan, baik dalam suku, status sosial, maupun agama.

Hazleton, misalnya, secara khusus menggambarkan pula bagaimana Nabi Muhammad berusaha menciptakan kedamaian di tengah masyarakat yang sangat beragam dan sering terpecah-belah oleh adanya perbedaan agama. Misal, dalam caranya membangun hubungan dengan komunitas Yahudi dan Kristen di Arab.

Kemanusiaan Kanjeng Nabi Muhammad adalah jembatan bagi kita untuk mempelajari empati, kesabaran, dan kesederhanaannya sebagai nilai-nilai utama yang mesti kita tiru dalam kehidupan sehari-hari.

Artinya, dengan melepaskan atribut kemukjizatan yang sifatnya supernatural, kita akan lebih jernih melihat Kanjeng Nabi Muhammad sebagai manusia yang bisa kita teladani secara realistis. Karena, seringkali mukjizat supernatural yang kita lekatkan pada sosok Nabi membuat keteladanan beliau terlampau jauh dari jangkauan kita sebagai manusia biasa.

Akan sangat berbeda ketika kita melihat Kanjeng Nabi sebagai seseorang yang juga pernah mengalami kesedihan, keraguan, dan kesulitan. Kita dapat lebih mudah meneladani kemanusiaan Nabi, dan mengidentifikasi diri dengan beliau. Kita belajar bagaimana menerapkan akhlak dan nilai-nilai moral yang beliau ajarkan dalam kehidupan kita sendiri.

Marilah, kita maknai momen-momen Rabi’ul Awwal dengan cara berbeda. Tanpa sakralisasi yang berlebihan, untuk kemudian kita sama-sama me-“muhammad”-an diri dalam pengertian kemanusiaannya. Wallahu a’lam  []

 

Tags: Akhlak NabiGrebeg MauludislamMaulid NabiMeneladani Kemanusiaan Nabisejarah
Ahmad Thohari

Ahmad Thohari

Ahmad Miftahudin Thohari, lulusan mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, punya minat kajian di bidang filsafat, sosial dan kebudayaan. Asal dari Ngawi, Jawa Timur.

Terkait Posts

Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Laki-laki tidak bercerita

Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas

13 Mei 2025
Tonic Immobility

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

13 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyai Ratu Junti

    Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua
  • Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu
  • Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version