Mubadalah.id – Islam terlihat berwajah laki-laki. Nama-nama malaikat terdengar maskulin dari Jibril hingga Ridwan. Nama-nama nabi yang wajib kita ketahui juga laki-laki, meski tersebutkan dalam salah satu hadis jumlah nabi mencapai 124.000. Ulama mazhab dan ulama tafsir pun didominasi oleh laki-laki.
Terlepas dari semua itu, sejarah mengenal nama-nama perempuan yang turut memberikan sumbangsih pada kemajuan Islam. Hanya saja, kalah famous dibanding dengan nama laki-laki sebab sejarah selalu subjektif ditulis oleh pemenang. Dua di antara banyak tokoh perempuan itu adalah Kartini (1789-1904) dan Nawal El Saadawi (1931-2021).
Kartini merupakan tokoh Indonesia yang berjuang di jalan pendidikan, emansipasi perempuan, ekonomi masyarakat dan keagamaan. Ia merupakan perempuan ningrat yang menolak budaya patriarki, feodalisme dan kolonialisme.
Sementara Nawal El Saadawi, merupakan tokoh feminis dunia Arab yang terkenal sebagai pembela hak perempuan dan pekerja miskin. Ia seorang penulis sekaligus dokter. Kedua perempuan tersebut berjuang dalam budaya yang menempatkan laki-laki dalam posisi superior.
Kartini dan Nawal memberikan kontribusi dalam dunia Islam tidak melalui pedang dan dakwah mimbar tetapi lewat tulisan dalam bentuk kritik. Kartini menulis melalui surat-suratnya sementara Nawal melalui karya sastra berupa novel. Mereka mempertanyakan kembali dan menentang keyakinan yang berlaku untuk memastikan pengambilan keputusan lebih peduli kepada yang lemah atau terkenal dengan devil’s advocate.
Kartini Berani Menentang Aturan Agama
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899, Kartini menuliskan gagasannya: “…hukum islam mengizinkan laki-laki menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya mengatakan itu dosa. Segala perbuatan yang menyakiti sesamanya, dosalah pada mataku.”
Lalu lanjut kritiknya terhadap pengajaran Al-Qur’an di zamannya: “..Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana juapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Qur’an, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti”.
Pada zamannya, Kartini berani untuk menentang aturan agama yang diamini masyarakat sebagai kebenaran meski menyengsarakan perempuan. Ia meyakini agama seharusnya memberikan rahmat kepada manusia bukan mendukung tindakan diskriminasi. Terutama dalam relasi pernikahan yang menempatkan perempuan tak lebih dari objek.
Kritik Kartini terhadap pengajaran Al-Qur’an menjadi cikal bakal hadirnya tafsir Al-Quran pertama berupa kitab Faidhur Rohman yang tulis oleh Kyai Sholeh Darat. Tafsir itu membawa Kartini pada perjalanan transformasi spiritual.
Suratnya kepada Ny. Van Kol tanggal 21 Juli 1902 mengisahkan keinginannya untuk berkhidmat pada Islam : “… yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan Nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai.”
Sisi Gelap Perempuan dalam Novel Nawal
Nawal, dalam novelnya Perempuan di Titik Nol (1977) menampilkan sisi gelap yang perempuan-perempuan Mesir hadapi di tengah kebudayaan Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki. Kutipan-kutipan dalam novel tersebut membuka tabir gelap di dunia timur, di antaranya:
“Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti itu ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.”
“Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak.”
“Ia menjawab bahwa justru laki-laki yang sangat paham agama yang memukul istri mereka. Aturan agama mengizinkan hukuman semacam itu. Seorang perempuan yang berbudi luhur tidak seharusnya mengeluh tentang suaminya. Tugasnya adalah ketaatan yang sempurna.”
Nawal mengkritik posisi perempuan dalam keluarga, relasi pernikahan dan penafsiran agama yang bias. Dalam banyak karyanya, ia menguliti kebobrokan para penguasa dan pemeluk agama di negerinya yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis untuk menindas.
Pengalaman Perempuan Memaknai Kembali Ajaran Agama
Kedua tokoh tersebut menyuarakan kritik dengan membawa pengalaman perempuan dalam memaknai kembali ajaran agama. Meski dalam perjalanannya tidak mudah, karena proses kritik tidak selalu masyarakat terima dengan tangan terbuka. Mereka rela menjadi martir untuk menghadirkan ruang inklusif terjadinya dialog dan pengujian argumen.
Masih banyak anggapan yang menyakini bahwa ajaran agama sudah sempurna sehingga tidak boleh tersentuh oleh kritik. Padahal, agama dapat tumbuh dan berkembang jika kita iringi dengan kritik. Agama membutuhkan kritik sebagai pengasuh yang memastikannya berada di jalur yang benar. Kritik pada agama tidak menyasar pada nilai kesejatiannya. Tetapi menyasar pada praktik atau penghayatan yang tak jelas bagi akal sehat dan nilai kemanusiaan.
Di ruang kehidupan, peran devils advocate sangat penting untuk mempertanyakan dan menentang keyakinan, kebijakan atau keputusan yang berlaku. Tujuannya untuk merangsang pemikiran kritis dan memastikan analisis mendalam dari perspektif yang berbeda. Dalam dunia Islam, devils advocate itu adalah Kartini dan Nawal.
Kehadiran Kartini, Nawal dan sederet nama lainnya membuka peluang terbukanya penafsiran yang lebih ramah gender. Pada akhirnya, wajah Islam tidak lagi dominan laki-laki, tetapi terbuka sebagai ajaran agama yang rahmatan lil alamin. []