Dua bulan lalu seorang brand ambassador sebuah produk kecantikan menyatakan suatu hal dalam captionnya di Instagram, yang sampai sekarang meresahkan saya dan juga sebagian orang di luar sana. Dia mengatakan bahwa kodrat laki-laki itu memimpin dan mengatur sedangkan kodrat perempuan itu dipimpin dan diatur. Dia juga menambahkan, “Mana ada laki-laki yang mau diatur karena emang kodratnya mengatur. Dan perempuan itu memang senang diatur.”
Ada yang mengatakan bahwa pernyataan itu “harmless”. Ada juga perempuan lain yang merasa tidak terwakilkan dengan pernyataan itu. Ada juga yang merespon dengan “Suamiku, aku gak suka diatur. Pilihanku untuk diriku sendiri terserah aku ya. Kita harus kerjasama ya, jangan seperti bos dan bawahan dalam hubungan ini.”
Tentu komentar terakhir itu membuat saya otomatis angguk-angguk kepala. Meski sebenarnya lebih banyak respon yang setuju dengan pernyataan seorang brand ambassador tersebut.
Jadi begini, kodrat menurut KBBI adalah kekuasaan (Tuhan) yang manusia tidak akan mampu menentang; merupakan hukum (alam); sifat asli atau bawaan. Dalam terma bahasa Arab, kodrat berasal dari “qudra” yang berarti ketentuan, ukuran atau kekuasaan. Ini berarti kodrat adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT kepada manusia dan alam semesta (Q.S. Al Muddatstsir 74: 18).
Ketika perempuan hanya bisa diatur, berarti perempuan tidak memiliki kemandirian dan bergantung pada pihak lain yaitu laki-laki. Dalam teori Women’s Way of Knowing, perempuan yang hanya bisa diatur berarti masih berada pada tahap silent yaitu perempuan memiliki ketergantungan total kepada orang lain dalam memperoleh pengetahuan.
Pada tahap ini perempuan hanya bisa diam dan mengerjakan perintah orang lain. Perempuan dalam posisi ini tidak hanya menjadi silent knower tapi juga silenced knower, orang yang dibungkam. Ini adalah tahap paling dasar untuk berada pada tahap kelima yaitu constructed knowledge sebagai subyek penuh pengetahuan.
Mengatur dan diatur bukanlah suatu bentuk kerjasama yang baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jika hanya ada satu pihak yang selalu mengatur dan pihak lainnya yang diatur, itu berarti ada ketimpangan dalam hubungan karena yang maslahat untuk laki-laki belum tentu maslahat untuk perempuan.
Secara biologis, kodrat perempuan berbeda dengan laki-laki. Perempuan mengalami mensturasi, hamil, nifas, melahirkan dan menyusui, yang tidak dapat dipertukarkan dengan laki-laki. Karena sistem patriarki yang mengakar kuat, perempuan dapat mengalami ketidakadilan hanya karena menjadi perempuan. Ketidakadilan tersebut mengakibatkan pengalaman sosial yaitu stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda.
Ketika kodrat perempuan hanya diatur dan dipimpin, berarti melanggar ajaran tauhid yaitu untuk tunduk hanya kepada Allah SWT karena perempuan dan laki-laki sama-sama hamba Allah SWT. Perempuan tidak boleh tunduk mutlak pada laki-laki, dan laki-laki tidak boleh tunduk mutlak kepada perempuan.
Dipimpin dan diatur adalah peran yang pasif dan terbatas, statusnya bisa hanya menjadi obyek, bukan subyek. Dalam kesadaran kemanusiaan perempuan yang telah dijelaskan Ibu Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., perempuan yang hanya berperan sebagai pihak yang dipimpin dan diatur berarti masih berada pada level terendah atau menengah. Karena standar kemanusiaannya adalah laki-laki.
Jika kepemimpinan dan kemandirian hanya dilekatkan kepada laki-laki, lalu bagaimana dengan nasib perempuan kepala keluarga yang jumlahnya jutaan di Indonesia? Mereka akan mengalami pengalaman sosial yang tidak adil karena dianggap menyalahi kodrat dan bahkan tidak dianggap ada. Mereka kesusahan mengakses layanan publik dan bantuan dana dari pemerintah karena tidak terdata sebagai perempuan kepala keluarga (PEKKA).
Dalam tulisan Kyai Faqihuddin Abdul Kodir, “Mengapa Kepala Rumah Tangga itu Kodrat Laki-Laki?”, ada pengalaman beliau yang menarik tentang percakapan dengan seorang perempuan yang mengatakan bahwa kepala rumah tangga adalah kodrat laki-laki. Dia melekatkan laki-laki dengan sifat kuat dan tangguh sehingga berperan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah yang melindungi keluarga.
Karena pengalaman biologis perempuan maka penyedia nafkah pertama dalam keluarga adalah peran suami yang kemudian menjadikannya sebagai kepala rumah tangga. Tapi hal ini tidak pas jika disebut dengan kodrat karena perempuan juga dapat berperan sebagai pencari nafkah utama bahkan satu-satunya dalam keluarga.
Dalam satu keluarga, sangat mungkin perempuan berperan sebagai kepala keluarga yang memimpin, mengatur dan mencari nafkah untuk seluruh anggota keluarga. Ada yang dalam keluarganya tidak memiliki laki-laki yang berperan sebagai kepala keluarga karena perceraian, kematian dan ketidakmampuan secara fisik dan psikis. Jadi peran ini diambil alih oleh perempuan.
Dalam kata pengantar buku Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M. A., Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M. A. menuliskan citra perempuan ideal dalam al-Qur’an. Pertama, mempunyai kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasah, Q. S. al Mumtahanah 60: 12. Kedua, memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadi, Q. S. al-Nahl 16: 97). Ketiga, kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshiy, Q. S. al-Tahrim 66: 11-12),
Ketiga citra perempuan di atas justru menekankan pada kemandirian dan kearifan perempuan baik dalam peran domestik maupun peran publik yang luas. Konsep tauhid justru menyerukan manusia, laki-laki dan perempuan untuk menghamba hanya kepada Allah SWT dan mengemban amanah kekhalifahan untuk mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di bumi. Ini berarti kedudukan laki-laki dan perempuan setara, tidak memiliki kelas karena yang diukur adalah ketakwaannya bukan jenis kelaminnya.
Menyatakan bahwa kodrat laki-laki mengatur dan memimpin, sedangkan wanita kodratnya diatur dan dipimpin berarti menciptakan kelas yang timpang dalam relasi interpersonal maupun secara sosial. Berarti tidak mengakui bahwa perempuan dapat mencari nafkah dan menempati posisi kepemimpinan dalam area domestik dan publik. Itu berarti membatasi peran perempuan dalam mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya.
Juga berarti tidak memberikan perempuan kesempatan untuk mengekspresikan diri dan hanya bisa menghamba dan tunduk pada pihak lain. Menjadikan perempuan sebagai pihak yang hanya bisa bergantung pada orang lain berarti melumpuhkan potensi perempuan. Padahal setidaknya perempuan harus bisa memimpin dan mengatur dirinya sendiri sebagai subyek penuh kehidupan. []