Status jomlo selalu menjadi bahan bullying yang kadang berujung pada perasaan ciut dan kerdil dalam hati si korban bully. Mengenai definisi jomlo menurut pandangan saya, istilah dalam KBBI tidak mewakili makna yang seharusnya; (yang pertama kali muncul) gadis tua, pengertian yang menurut saya hampir salah total karena jejaka yang belum menikah juga disebut jomlo. Okelah saya tidak ingin mendebat soal stigmatisasi di sini, saya hanya ingin membahas jomlo sebagai korban dan ‘pelarian’nya.
Jomlo menurut saya adalah orang yang belum menikah, maka meskipun punya teman dekat alias pacar ia tetap jomlo karena pacar bukan orang yang halal. Mereka (yang tidak jomlo) menganggap bahwa selainnya adalah tidak laku lantas layak menjadi korban bully. Hal ini berangkat dari stigma bahwa pernikahan adalah prestasi, bahkan sebagian masyarakat menentukan usia layak nikah; 20 tahun, sehingga lebih dari usia itu seseorang dianggap kalah dan harus segera mengakhiri status sendirinya.
Bahayanya, tidak semua orang bisa mengatasi perasaannya sendiri. Ada yang tambah mengkerdilkan diri dan terpuruk dalam menyalahkan diri sendiri, alih-alih move on dari pikirannya yang kalut justru ia menyakiti badannya yang semakin semrawut, ada pula yang bangkit dan mengalihkan pikiran agar tidak sampai terkena penyakit.
‘Tempat’ Pelarian Jomlo
Pertama belajar, Belajar adalah salah satu hal yang (disangka) sebagai ‘tempat pelarian’ kaum jomlo. Penulis sendiri tak jarang menerima dugaan salah itu. Padahal pilihan ini bukan tak berdasar. Banyak sekali anjuran untuk mencari ilmu, di samping juga tidak sedikit kebaikan yang diperoleh dari pernikahan.
Perbedaannya, belajar cukup dengan otak kosong tapi pernikahan harus dengan mental yang kuat. Didukung oleh banyak ulama yang memilih untuk tidak menikah sampai akhir hayat, salah satu alasannya adalah mengganggu konsentrasi dalam mencari ilmu. Mereka tercatat dalam kitab al-‘Ulama al-‘Uzzab karya Ibn Abi Ghuddah.
Keistimewaan mencari ilmu juga saya kutip dari hadis,
يَا أَبَا ذَرٍّ، لَأَنْ تَغْدُوَ فَتَعَلَّمَ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ، خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تُصَلِّيَ مِائَةَ رَكْعَةٍ، وَلَأَنْ تَغْدُوَ فَتَعَلَّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ، عُمِلَ بِهِ أَوْ لَمْ يُعْمَلْ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تُصَلِّيَ أَلْفَ رَكْعَةٍ
“Sungguh berpagi-pagi kau keluar lalu belajar satu ayat al-Quran, itu lebih baik bagimu dari pada salat 100 rakaat. Dan sungguh berpagi-pagi kau keluar lalu belajar satu bab ilmu, dikerjakan atau tidak, itu lebih baik bagimu dari pada salat 1000 rakaat”
Hadis ini sering saya jadikan bel pengingat di kala semangatku surut. Salat 4 rakaat saja masih berat apalagi 100 dan 1000, dijamin tak akan mampu, maka mending belajar saja. Hadis ini tergolong hadis yang lemah ada juga yang mengatakan masih dalam tingkatan hasan. Tapi terlepas dari itu semua hadis ini telah berkontribusi dalam menggerakkan semangat belajar saya.
Di sisi lain tak sedikit teman-teman yang berseloroh (tapi bimakna serius) “ngaji terus, kapan nikahnya?” kalimat itu memang membuat para jomlo keder dan ciut untuk melanjutkan studinya, terlebih perempuan. Sebagai kelanjutan dari patriarki maka yang berhak mengenyam pendidikan tinggi hanyalah laki-laki, perempuan yang berposisi sebagai makmum dalam keluarga tak penting berpendidikan tinggi (pemahaman ini dipastikan bersumber dari orang yang belum paham mubadalah).
Tak hanya dari teman-teman sejawat namun orang-orang terdekat seperti keluarga juga seringkali memojokkan para jomlo. Penulispun juga pernah mengalami hal serupa. Sempat gentar tapi syukur bin alhamdulillah saya dipertemukan dengan kalam hikmah imam Ibn Athoillah as-Sakandari nomor 4
أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِك
“Istirahatkan dirimu dari memikirkan (hal yang bukan urusanmu) karena apa yang sudah ditanggung pihak lain (Allah), kau tak perlu sibuk untuk mengurusnya”
Hal yang dijamin Allah pasti akan tiba, ajal, rejeki dan jodoh adalah hak prerogatif Tuhan bagaimana dan kapan. Maka yang menjadi fokus pikiran seorang manusia seharusnya adalah hal yang tidak ada jaminannya. Tapi ini kewalik malah manusia sibuk memikirkan rejeki dan mondar-mandir mencari jodoh. Sekali lagi, jangan intervensi tugasTuhan!
Kedua bekerja. Hidup sendiri tidak memerlukan kesiapan yang terlalu ribet, berbeda dengan hidup berpasangan. Oleh karenanya sebagian orang memilih hidup sendiri dari pada menghidupi orang lain. Ya, ini sudah disepakati oleh orang yang kadung menikmati kejomloannya dan atau orang yang tidak menikmati keberpasangannya.
Dua di atas sekilas terkesan amunisi atau ‘senjata’ ampuh seorang jomlo untuk menjawab bullying teman-teman, dan dari single shaming. Meski sejatinya keputusan hidup pasti sudah melalui pertimbangan matang, entah itu memilih untuk berpasangan atau menyendiri. []