Mubadalah.id – Sebebelum menuliskan tentang bagaimana dunia ini terbentuk melalui standar laki-laki, saya akan bercerita satu hal tentang momentum yang masih membekas dalam ingatan. Yakni pada acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II beberapa waktu lalu. Tepatnya pada pelaksanaan International Conference yang dilaksanakan oleh Panitia KUPI II bersama UIN Walisongo Semarang pada 23 November 2022 kemarin.
Pada pelaksanaan kongres, salah satu hal yang menjadi perbincangan adalah kehadiran baliho yang berisi ucapan selamat datang untuk peserta internasional konferensi, yang tersebar sepanjang jalan menuju kampus UIN. Bagi sebagian orang, tidak ada yang salah dari baliho ini. Justru kehadiran baliho adalah sebuah euforia yang sangat patut kita syukuri tentang eksistensi ulama perempuan di Indonesia.
International conference yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan KUPI II, adalah sebuah gerakan global para ulama perempuan untuk menguatkan eksistensi keilmuan, kebermanfaatan para perempuan dalam ranah global. Akan tetapi, baliho ini banyak mendapat kritik karena, wajah yang tampil pada baliho justru tokoh laki-laki. Mulai dari rektor, wakil presiden, hingga menteri agama.
Dominasi Laki-laki atas Pengetahuan
Apa yang salah? Saya justru berpikir bahwa kejadian itu bukan sebuah masalah. Kalau kita kritik, justru akan muncul sebuah pertanyaan. KUPI adalah acara para perempuan, mengapa yang eksis dalam baliho adalah tokoh laki-laki? bahkan dalam acara perempuan saja, laki-laki yang justru eksis, bagaimana dengan masa depan perempuan?
Pertanyaan di atas akan menciptakan banyak sekali tafsiran. Setidaknya ada tiga anggapan. Pertama, kelompok orang yang menganggap bahwa baliho dengan gambar laki-laki adalah hal biasa. Sehingga bersikap bodo amat. Kedua, kelompok yang mengkritik baliho karena tidak ada gambar perempuan. Ketiga, kelompok yang menganggap baliho tersebut tidak bermasalah, akan tetapi cukup reaktif ketika ada sebagian yang mengkritik baliho karena tidak ada gambar perempuan.
Saya mencoba memahami lebih jauh dari orang-orang yang mengkritik baliho dengan alasan tidak ada gambar perempuan. Mengapa perlu ada sosok perempuan tampil publik?
Dalam ilmu semiotika, yang kita pahami sebagai disiplin keilmuan untuk mengetahui tanda untuk menjelaskan suatu objek. Kehadiran tokoh laki-laki yang tampil secara serentak di sebuah kegiatan international conference, menunjukkan bahwa, tidak ada tokoh perempuan yang ikut andil dalam kegiatan ini. Hal ini juga menunjukkan sebuah dominasi laki-laki atas ilmu pengetahuan, kekuasaan, bahkan secara ketenaran dalam berbagai bidang, termasuk kemampuan untuk membicarakan masalah perempuan.
Berdasarkan pandangan tersebut, bukankah kita memahami bahwa dunia ini diciptakan atas standar laki-laki? bahkan untuk acara yang perempuan selenggarakan, semesta tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk tampil di depan publik. Untuk memberikan kesadaran ini, kita perlu mendobrak!
Kebutuhan Biologis Laki-laki dan Perempuan Berbeda!
Dunia yang dibentuk dengan standar laki-laki ini, membuat perempuan memperoleh sedikit ruang untuk berkarya dan melakukan banyak hal. Sampai hari ini, berapa banyak toilet yang menyediakan toilet perempuan dan laki-laki. Mengapa ini penting? Karena fisik laki-laki dan perempuan berbeda.
Sampai detik ini, berapa banyak perusahaan ataupun tempat kerja yang memberikan kebebasan perempuan untuk cuti haid ataupun melahirkan? Padahal secara biologis, perempuan dalam setiap bulan harus merasakan sakit karena haid. Sakitpun pada setiap perempuan berbeda karena tergantung kondisi fisik yang ia miliki.
Bahkan ketika perempuan menyuarakan haknya untuk mendapatkan cuti haid dan melahirkan, justru dianggap untuk diistimewakan, bukankah itu adalah bagian dari hak hidup yang harus dipenuhi sebagai manusia? Tidak hanya itu, berapa banyak perusahaan yang sudah menyediakan ruang laktasi, ruang yang ramah terhadap anak kecil.
Dari faktor biologis inilah, perempuan seringkali tidak mendapatkan ruang untuk bekerja. Karena dianggap tidak produktif akibat sakit pasca melahirkan, kerepotan untuk mengurus anak. Sehingga anggapan mereka tidak akan bertanggung jawab terhadap pekerjaan.
Dunia yang sangat luas ini, masih belum memberikan ruang yang nyaman bagi perempuan. Mempermasalahkan faktor ketubuhan perempuan yang berakibat pada kebutuhan berbeda antara laki-laki perempuan, sama seperti menentang Tuhan dan menggugat kehendak Tuhan yang menciptakan perempuan begitu berbeda dengan laki-laki.
Dengan demikian, perspektif gender sangat penting untuk dimiliki oleh setiap individu agar mampu mendorong keadilan dengan menjunjung setiap hak yang masing-masing miliki. []