• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pemikiran Isham Ahmad tentang Perempuan

Abdul Rosyidi Abdul Rosyidi
26/08/2019
in Publik
0
dunia, perempuan
25
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Butuh waktu agak lama bagi saya untuk memahami cara berpikir Isham Ahmad, siang itu. Dia berbicara dalam bahasa Melayu saat menjelaskan apa pikirannya terkait posisi perempuan di tengah masyarakat. Tapi tetap saja butuh waktu beberapa menit untuk akhirnya saya menerimanya.

Profesor di International Islamic University Malaysia (IIUM) itu menceritakan, dulu, sebuah perusahaan mobil banyak memproduksi mobil berwarna hitam. Mereka memproduksi itu agar produknya terkesan macho, jantan, dan dengan begitu akan laris dibeli para lelaki. Di mata masyarakat, khususnya para produsen, dunia hanyalah laki-laki.

Tapi tren itu kemudian berubah. Dunia ini tak hanya laki-laki, konsumen mobil pun tidak hanya lelaki. Perempuan juga banyak yang membutuhkan mobil. Tentu dengan karakter yang mereka inginkan. Perusahan sekarang membaca itu sebagai sebuah peluang untuk menciptakan mobil yang disukai perempuan. Dengan warna dan lekuk yang memikat hati perempuan.

Untuk membuat kebijakan dalam menciptakan produk yang diminati perempuan pun perusahaan tak bisa asal. Dia harus benar-benar memahami perempuan. Oleh karenanya mobil tersebut nantinya harus diciptakan dari sepenuh hati dan jiwa perempuan.

Karena yang mengerti perempuan adalah hanya perempuan, maka perusahaan mesti mengangkat perempuan menduduki posisi strategis di perusahaan, mulai dari komisaris, direktur, manager, dan sebagainya. Dari konsumen perempuan kemudian harus muncul produsen perempuan. Semakin banyak keperempuanan itu muncul dalam ruang-ruang publik, semakin dunia sadar bahwa kita membutuhkan perempuan.

Baca Juga:

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Perusahaan yang tidak memiliki kesadaran tersebut hanya akan menyia-nyiakan separuh lebih potensi pasar.

Awalnya saya menolak pemikiran Isham dan memikirkan apakah dia antek kapitalisme. Tapi selama di forum saya berusaha memahaminya dan akhirnya menyadari bahwa perkataan dosen etika bisnis dan filsafat di UIIM ini ada benarnya. Meskipun dalam beberapa hal saya berbeda pendapat.

Selama ini, saya mendapat banyak pemhaman kesetaraan gender dengan perspektif Islam, baik dari KH Husein Muhammad, KH Faqihuddin Abdul Kodir, KH Marzuki Wahid, dan dosen-dosen di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Dalam perspektif Islam, kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki merupakan manifestasi dari tauhid. Segala perjuangannya, dengan begitu, adalah cermin dari kedalaman keyakinan seorang muslim atas keadilan Allah.

Tapi kita tidak boleh lupa, di belahan bumi lain, kesadaran pentingnya peran perempuan muncul bukan dari akar keimanan melainkan karena kesadaran (consciousness) diri yang sifatnya individual. Kesadaran diri dari banyak orang akan berubah menjadi kesadaran kolektif yang perlahan menjadi norma bersama. Kesadaran seperti ini akan lebih mudah diterima masyarakat yang memiliki rasionalitas yang tinggi. Dalam masyarakat rasional-kapitalistik, peran perempuan diakui karena mereka mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomian, atau dalam bahasa lebih jujurnya “menguntungkan”.

Negara yang tidak memiliki kesadaran betapa perempuan dibutuhkan dalam pembangunan, hanya akan menyia-nyiakan lebih dari separuh potensi bangsa.

Doktrin Athena

Dalam kacamata yang lebih luas dan mendalam, hasil riset John Gerzema dan Michael D’Antonio sangat menarik untuk kita cermati. Dalam buku “The Athena Doctrine: How Women (and the Men who Think Like Them) Will Rule the Future”, mereka menawarkan gagasan bahwa perempuan dan nilai-nilai feminin sangat dibutuhkan dunia untuk menjadikannya lebih sejahtera.

Buku yang terbit tahun 2013 dan menjadi best seller dunia ini seperti mengingatkan kepada kita bahwa dunia tak cukup hanya dimaknai oleh lelaki. Tapi ia perlu dimaknai oleh semua orang, lelaki dan perempuan. Menurutnya, selama ini, dunia hanya diwarnai oleh nilai-nilai lelaki seperti menguasai, mendominasi, menghegemoni, mengontrol, memaksa, dan mendoktrin.

Sudah biasa bagi kita untuk mengatakan bahwa bangsa atau negara yang hebat dan berhasil adalah negara yang menang perang, mempunyai kontrol atas negara lain, bisa mengintimidasi dan bahkan memaksakan nilai-nilai kepada bangsa lain. Bangsa itu lantas disebut berada dalam puncak peradaban dunia, bangsa adikuasa. Diksi “adikuasa” sendiri begitu maskulin.

Sudah saatnya dunia juga dimaknai dari kacamata kehidupan perempuan. Dunia memerlukan nilai-nilai kasih sayang, berbagi, komunikatif, merawat, dan mendidik. Nilai-nilai feminin inilah, menurut Doktrin Athena akan membawa pada kedamaian dan kesejahteraan dunia.

Sebagai contoh adalah Swedia dan Islandia dari sisi pemerintahan yang tidak hanya dikuasai perempuan dari sisi gender, tetapi juga banyak mengadopsi sifat dan karakter feminin. Yang terbaru bisa kita lihat dari cara Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, menangani terorisme di negaranya (peristiwa Christchurch). Kekerasan yang begitu mengerikan dia balas dengan kasih sayang dan pengertian. Dia tidak membalas aksi teror itu dengan kecam mengecam, pemutusan hubungan diplomatik, atau bahkan yang terburuk, penyerangan fisik.

Ardern tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, teror dengan teror, melainkan menunjukkan pada dunia bahwa kekerasan hanya bisa dilawan dengan kasih sayang. Dia tidak menyalahkan korban yang berbeda etnis dengannya, seperti yang dilakukan pemimpin kulit putih lainnya. Dia memilih untuk bersimpati dan berempati kepada para korban. Bahkan menunjukkan pada dunia bahwa penderitaan korban adalah penderitaan seluruh bangsa.

Mubadalah melihat dunia ini membutuhkan dua nilai feminin dan maskulin (sekaligus) untuk kebaikan kehidupan bersama. Keduanya saling bekerjasama untuk mewarnai dunia. Masih kuatnya pengaruh maskulinitas membuat perjuangan kita saat ini adalah terus menerus meyakinkan bahwa tanpa menyertakan perempuan, dunia ini akan timpang, berlari ke arah yang tidak seimbang, tidak penuh, tidak akan pernah mencapai paripurna.[]

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi, editor. Alumni PP Miftahul Muta'alimin Babakan Ciwaringin Cirebon.

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID