• Login
  • Register
Senin, 14 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

Di tengah kerusakan ekologis yang makin meluas, kita tidak membutuhkan hanya lebih banyak teknologi, melainkan lebih banyak keberanian moral.

Hijroatul Maghfiroh Hijroatul Maghfiroh
14/07/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Krisis Ekologi

Krisis Ekologi

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Apa yang membuat organisasi besar tetap bermartabat dalam jangka panjang? Jawabannya bukan sekadar kekuatan politik atau jumlah pengikut—tetapi prinsip. Prinsip adalah kompas moral yang menjaga arah ketika angin zaman berembus dari segala penjuru. Tanpa prinsip, organisasi bisa menjadi kapal besar yang kehilangan arah.

Nahdlatul Ulama (NU) terkenal memiliki empat prinsip dasar dalam menjalani kehidupan berbangsa dan beragama: Tasamuh (toleransi), Tawassuth (moderat), Tawazun (seimbang), dan I’tidal (adil).

Prinsip-prinsip tersebut bukan sekadar jargon, tetapi hasil ijtihad ulama dalam menerjemahkan nilai Islam ke dalam konteks sosial dan historis. Lebih dari itu, prinsip-prinsip ini telah menjadi landasan NU dalam membela kaum mustadafin—mereka yang terlemahkan secara struktural, termasuk oleh krisis ekologi.

Namun kini, prinsip-prinsip tersebut teruji kembali. Keputusan PBNU untuk menerima izin pengelolaan tambang dari negara menimbulkan pertanyaan etis. Masihkah NU berdiri di sisi alam dan kaum rentan seperti selama ini? Bagaimana prinsip tawazun dan i’tidal kita tempatkan dalam situasi krisis ekologi hari ini yang semakin nyata?

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi, melainkan untuk mengingatkan bahwa NU memiliki sejarah panjang dalam membela lingkungan hidup. Sejak Muktamar Cipasung 1994, NU menetapkan bahwa pencemaran lingkungan adalah perbuatan haram yang masuk kategori jinayat (tindak kriminal).

Baca Juga:

Tamasya “Wisata” Kota Sampah dan Pandangan Kritis Seyyed Hossein Nasr

Menanamkan Sikap Tawassuth dan I’tidal dalam Keluarga Mashlahah

Prinsip Relasi Sosial dalam Islam: Upaya Mengatasi Relasi Paling di Lingkungan Pendidikan

Nyala Api di Bromo dan Relevansi Surat Ar-Rum Ayat 41

Dalam Munas 2012 dan 2015, NU mengkritik eksploitasi sumber daya alam yang merusak dan mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar terhadap ketidakadilan ekologis. Pada 2017, NU bahkan menerbitkan Fiqih Energi Terbarukan, yang menolak eksploitasi energi fosil dan mendorong transisi ke energi bersih. Semua itu mencerminkan satu hal: komitmen etis dan spiritual NU terhadap bumi sebagai amanah.

Untuk merespons krisis ekologi hari ini secara lebih utuh, keempat prinsip NU dapat terbaca ulang sebagai fondasi etika ekologis yang Islami dan progresif.

Tasamuh: Menghormati Keberagaman Makhluk Ciptaan

Tasamuh biasanya kita maknai sebagai toleransi terhadap perbedaan manusia. Namun dalam ekologi, tasamuh bisa terbaca lebih dalam sebagai penghormatan terhadap keberagaman seluruh makhluk dan ekosistem. Dalam QS Al-Isra: 44 disebutkan bahwa segala sesuatu bertasbih kepada Allah meski manusia tidak memahaminya. Artinya, semua makhluk memiliki kedudukan spiritual yang melekat karena diciptakan oleh Tuhan.

Jika manusia kita sebut sebagai khalifah, maka keistimewaan itu bukan lisensi untuk menguasai bumi, melainkan tanggung jawab untuk merawatnya. Dalam perspektif ekoteologi Islam, akal manusia adalah instrumen pengelolaan (governance), bukan dominasi. Ini selaras dengan pendekatan deep ecology, yang menolak pandangan bahwa manusia adalah pusat semesta, dan menegaskan bahwa semua makhluk memiliki nilai intrinsik.

Pandangan ini bukan hanya normatif. Di berbagai belahan dunia, prinsip ini telah diterjemahkan ke dalam hukum. Ekuador, Bolivia, Selandia Baru, dan Kolombia telah mengakui Rights of Nature, yaitu hak hukum bagi sungai, hutan, dan ekosistem sebagai entitas hidup yang bisa “menggugat” jika kita rusak. Langkah ini sering terdorong oleh masyarakat adat yang memahami bahwa hidup berdampingan dengan alam adalah bentuk tasamuh spiritual.

Tawassuth: Jalan Tengah dalam Krisis Ekologi

Adapun tawassuth atau moderasi menjadi penting saat dunia terjebak antara dua ekstrem. Teknosentrisme yang menuhankan pertumbuhan ekonomi tanpa batas, dan ekosentrisme pasif yang menolak semua intervensi manusia. Tawassuth dalam ekologi berarti mengambil jalan tengah yang kritis, yang mendorong pembangunan berkelanjutan tanpa mengorbankan daya dukung bumi.

Dalam Islam, konsep maslahah mursalah (kemaslahatan umum) hanya sah jika tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan). Maka pembangunan yang menggusur hutan adat atau meracuni sungai tidak bisa kita benarkan, sekalipun diklaim sebagai “proyek strategis nasional”. Tawassuth mendorong pengambilan keputusan yang melibatkan ilmu, nilai, dan akuntabilitas sosial.

Moderasi di sini bukan netralitas kosong, tetapi keberpihakan aktif terhadap keadilan sosial dan ekologis. Kita bisa melihat ini dalam pendekatan green zoning di kota-kota seperti Barcelona dan Toronto, yang memastikan semua warga—termasuk kelompok miskin—mendapat akses adil ke ruang hijau, udara bersih, dan air yang sehat.

Tawazun: Menjaga Keseimbangan dalam Batas Bumi

Tawazun, atau keseimbangan, adalah fondasi penting dalam Islam. QS Ar-Rahman: 7–9 mengingatkan agar manusia menjaga timbangan (mīzān) dan tidak merusaknya. Dalam ilmu lingkungan, ini selaras dengan konsep planetary boundaries—sembilan batas ekosistem bumi yang tidak boleh terlampaui, seperti iklim, keanekaragaman hayati, dan siklus air.

Dalam konteks keilmuan, pendekatan sustaincentrism yang dikemukakan oleh Gladwin, Kennelly, dan Krause (1995) menjadi penguat. Ia menawarkan jalan tengah antara teknosentrisme dan ekosentrisme, dengan mengakui bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa pembangunan hanya sah jika memperhatikan daya dukung ekologis dan keadilan sosial.

Contoh negara yang menerapkan prinsip ini dapat terlihat pada Kosta Rika, yang berhasil menghentikan deforestasi dan menggunakan hampir 100% energi terbarukan, sambil tetap meningkatkan kesejahteraan sosial. Bhutan juga terkenal dengan pendekatan Gross National Happiness yang menjadikan keseimbangan ekologis sebagai indikator kebahagiaan nasional. Ini semua adalah contoh bagaimana tawazun bisa kita terjemahkan ke dalam kebijakan.

I’tidal: Menegakkan Keadilan Ekologis

I’tidal berarti adil dan proporsional—menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam konteks ekologi, i’tidal berarti membangun sistem sosial dan kebijakan publik yang tidak hanya adil bagi manusia, tetapi juga bagi makhluk lain dan generasi mendatang.

Teori environmental justice dan ecological justice menyoroti bagaimana kelompok rentan, seperti masyarakat adat dan komunitas miskin, sering menjadi korban utama dari kerusakan lingkungan. Mereka tinggal di wilayah yang paling dekat dengan tambang, industri, dan risiko bencana, namun paling sedikit menikmati manfaat pembangunan. Prinsip i’tidal dalam Islam menuntut agar keadilan berlaku lintas generasi dan lintas spesies.

Afrika Selatan, misalnya, telah mengintegrasikan hak atas lingkungan hidup yang layak ke dalam konstitusinya. Di tingkat kota, Barcelona (Spanyol) dan beberapa kota di Kanada telah menerapkan green justice zoning, yaitu peta kebijakan kota yang menjamin akses adil terhadap ruang hijau, udara bersih, dan air bersih bagi seluruh warga—terutama kelompok rentan.

Di Indonesia sendiri, gerakan warga seperti WALHI, AMAN, dan koalisi masyarakat adat menjadi contoh aktor-aktor i’tidal ekologis yang memperjuangkan keadilan dalam distribusi risiko dan manfaat pembangunan.

Menanam Nilai, Menumbuhkan Masa Depan

Kita hidup di tengah krisis ekologi yang tidak hanya merusak bumi secara fisik, tetapi juga mengguncang fondasi nilai dan spiritualitas manusia. Di saat dunia terjebak antara euforia teknologi dan keputusasaan iklim, prinsip-prinsip dasar Nahdlatul Ulama—tasamuh, tawassuth, tawazun, dan i’tidal—menawarkan arah etik dan moral yang membumi sekaligus transenden.

Tasamuh mengajarkan kita untuk hidup berdampingan, tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan seluruh ciptaan Tuhan. Tawassuth menghindarkan kita dari jebakan ekstremisme pembangunan yang rakus maupun ekosentrisme pasif yang menafikan peran manusia.

Tawazun menjadi pengingat bahwa segala hal harus kita tempatkan dalam ukuran yang tepat, selaras dengan daya dukung bumi dan keadilan antargenerasi. Sementara i’tidal adalah panggilan untuk bertindak adil, membela yang tertindas, dan mencegah eksploitasi yang merusak keberlangsungan hidup.

Keempat prinsip ini bukanlah milik eksklusif pesantren atau forum keagamaan, melainkan warisan moral umat yang bisa menjadi kompas dalam menyusun kebijakan, mengelola sumber daya, hingga mendidik generasi.

Dalam konteks keputusan PBNU untuk menerima konsesi tambang, tulisan ini tidak bermaksud menghakimi, tetapi mengajak kembali pada akar nilai—bahwa NU, sejak awal, berdiri di sisi yang membela mustadafin dan menjaga alam sebagai amanah, bukan komoditas.

Di tengah kerusakan ekologis yang makin meluas, kita tidak membutuhkan hanya lebih banyak teknologi, melainkan lebih banyak keberanian moral. Dan keberanian itu tumbuh dari nilai yang tertanam dan kita hidupi secara konsisten.

Karena itu, menanam kembali nilai-nilai NU dalam kehidupan ekologis bukan sekadar nostalgia, melainkan tindakan revolusioner—untuk menumbuhkan peradaban yang adil bagi bumi, dan semua penghuninya. []

Tags: I'tidalKrisis EkologiPrinsip NUtasamuhTawassuthTawazun
Hijroatul Maghfiroh

Hijroatul Maghfiroh

Saat ini sedang menempuh studi di bidang Sustainability and Environmental Studies di Macquarie University, Australia. Ia adalah pendiri Eco-Peace Indonesia, sebuah inisiatif lintas iman untuk pendidikan lingkungan bagi generasi muda. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Program Manager Lingkungan dan Perubahan Iklim di LPBI-PBNU (2010–2022). Selain itu, ia juga penulis buku Dakwah Ekologi: Panduan Penceramah Agama tentang Akhlak pada Lingkungan

Terkait Posts

Merawat Bumi

Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman

14 Juli 2025
Disabilitas Mental

Titik Temu Antara Fikih dan Disabilitas Mental

14 Juli 2025
Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Krisis Ekologi

    Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Asma’ binti Yazid: Perempuan yang Mempertanyakan Hak-Haknya di Hadapan Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ukhuwah Nisaiyah: Solidaritas Perempuan dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ronggeng Dukuh Paruk dan Potret Politik Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Asma’ binti Yazid: Perempuan yang Mempertanyakan Hak-Haknya di Hadapan Nabi
  • Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi
  • Ukhuwah Nisaiyah: Solidaritas Perempuan dalam Islam
  • Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman
  • Jihad Perempuan Melawan Diskriminasi

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID