Mubadalah.id – Setelah mengenal apa itu etika sufi melalui tesmak Ibn Arabi, kali ini akan meneropong bagaimana konsepsi itu mewujud dalam wacana ekologis.
Saat ini bukan hanya arus teknologi saja yang semakin maju, banjir informasi adalah konsekuensi logis yang tidak lepas dari kemajuan yang terjadi. Pabrik-pabrik juga semakin banyak, gedung-gedung mencakar langit juga tidak kalah meramaikan, pembangunan demi pembangunan semakin gencar, hutan-hutan semakin mengalami pengurangan.
Hal ini berdasarkan laporan Badan Pusat Statisik menyatakan bahwa luas hutan selama lima tahun terakhir (2017-2021) di Kalimantan, Papua dan Sumatra berkurang seluas 1.575.442 ha, sementara penambahan luas hutan di Bali-Nusa Tenggar, Sulawesi, Jawa, dan Maluku seluas 619.185 ha. Angka tersebut sebanding dengan 0,5 % dari total luas daratan Indonesia.
Belum lagi penggusuran lahan yang juga marak terjadi. Sebagaimana dalih yang sudah-sudah adalah “demi kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat”.
Sungguh tidak berlebihan jika ada yang bilang, “tanam jagung yang tumbuh gedung, tanam padi yang tumbuh malah industri” hal demikian benar adanya.
Bukan bermaksud apapun, apalagi hendak menolak pembangunan, sungguh sama sekali tidak. Sejauh pembangunan itu membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi manusia, mengapa harus menolaknya?
Hanya saja, yang sangat saya sayangkan adalah dalih pembangunan yang mengeksploitasi alam secara berlebihan. Alih-alih untuk mensejahterakan, justru yang terjadi malah memunggungi kesejahteraan itu sendiri, yang melahirkan krisis baru berupa krisis lingkungan. Hal demikian secara terang dapat merugikan kita saat ini, dan anak cucu kita nantinya.
Gejala Paradigma Antroposentris
Salah satu sebab dari krisis lingkungan ini karena bersumber dari paradigma berpikir manusia yang bercorak antroposentris. Sebuah pemahaman di mana manusia menjadikan dirinya sebagai pusat kehidupan dari alam. Seolah-olah ia memiliki hak kuasa penuh atas alam, sehingga mampu berbuat seenaknya, menjadikan alam sebagai sarana untuk memperkaya dirinya, tanpa memikirkan dan mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul di kemudian hari.
Degradasi moral tidak terelakkan, manusia semakin kehilangan jati diri kemanusiaannya, padahal Allah menjadikan manusia sebagai pengganti-Nya (Khalifah fil ard) di bumi. Tujuannya untuk memelihara dan menjaga bumi sebaik mungkin dan sebagaimana seharusnya.
Ibn Arabi juga turut memberikan paradigma alternatif bagaimana mencitai Tuhan dengan cara merawat alam, dengan kata lain, sebuah konsep ekologis yang menitik-beratkan pada pelestariaan alam melalui pendekatan nilai-nilai agama. Setidaknya konsepsi eko-teologi Ibn Arabi dalam tesmak etika sufi ini masih berpijak pada prinsip wahdat al-wujud-nya.
Ekologi Sufi
Dari konsep wahdat al-Wujud-nya mewujud dalam bentuk etika lingkungan. Masih berpegang teguh pada prinsip kesatuan yang beragam bahwa “segala sesuatu berasal dari dan kembali kepadaNya”. Karena alam / kosmos merupakan cermin Tuhan. Pada hakikatnya wujud alam adalah wujud Tuhan, makanya alam itu indah.”
Secara ontologis alam dan seisinya adalah milik Allah secara mutlak, dan secara metaforis adalah milik manusia. Maka dari itu, manusia memiliki hak-hak yang terbatas terhadap alam. Bagi Ibn Arabi dalam karya magnum opus-nya yang berjudul al-Futuhat al-Makkiyah memaparkan bahwa hak-hak manusia atas alam tiada lain hanyalah untuk melanjutkan keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, tidak lebih.
Karena menurutnya manusia sebagai khalifah fil ard adalah untuk memelihara dan menjaga kelestarian alam. Manusia hanya sebagai pengganti Tuhan, yang hanya boleh memegang (memanfaatkan seperlunya) sesuatu itu, tapi bukan untuk memilikinya. Dengan kata lain, semua hanyalah titipan dariNya. Ibn Arabi menyebut hak ini sebagai milk amanah.
Kepemilikan secara metaforis atas bumi ini adalah bentuk ujian bagi manusia. Agar mereka berhasil dalam ujiannya, maka ia harus bisa membaca tanda-tanda atau ayat-ayat alam dari Sang Maha Pengatur alam tunjukkan. Baik melalui ayat qauliyah maupun kauniyahNya. Salah satu cara untuk bisa membacanya adalah harus memiliki ilmu. Lalu mengamalkannya dalam wujud perlakuan yang benar terhadap alam dan lingkungannya berdasarkan syara’.
Kasih Sayang pada Semua
Ibn Arabi melarang untuk melakukan perbuatan yang sia-sia (al-‘abats) terhadap seluruh yang ada, baik kepada benda-benda mati, tumbuhan, maupun binatang. Ia pernah berkata dalam karyanya yang lain sebagaimana dikutip Mukhlisin (2019: p. 237):
“Janganlah kamu mencabut tumbuhan, jangan pula merusak sistem dan aturan secara sia-sia, tanpa ada suatu kepentingan bagi binatang, berupa memberikan manfaat ataupun mencegah bahaya. Demikian pula jangan memindahkan batu dari tempatnya dengan sia-sia”. Ibn Arabi menyadari bahwa jika saja itu dilakukan maka akan merusak tatanan sistem yang berlaku.”
Dalam konteks ini, terdapat sikap lain yang harus menyertai, yakni kasih sayang. Ia mengingat akan pentingnya kasih sayang terhadap seluruh mahlukNya, semuanya memiliki manfaat atas yang lain. Untuk menyokong itu, ia berargumen dengan memberikan dua contoh tentang dua orang yang mendapat pengampunan dosa lantaran perhatian dan pertolongannya kepada binatang. Yang satu tentang seorang pelacur yang memberi minum anjing, yang satu lagi sebuah riwayat yang Ibn Arabi terima dari Al-Hasan al-Wajih.
Antara Allah, Manusia, dan Alam
Dalam konsep persahabatan Ibn Arabi bukan hanya berlangsung antara sesama manusia, atau hanya tentang antara manusia dan Tuhan, tetapi antara manusia dengan alam, seperti tumbuhan maupun hewan, baik yang berstatus miliknya atau bukan.
Jika terdapat seseorang yang berteduh di bawah pohon karena lelah atau apapun. Itu merupakan persahabatan. Sehingga jika suatu saat pohon itu layu, maka orang itu memiliki kewajiban untuk menyiramnya. Dan itu karena persahabatan yang terjalin, bukan karena pamrih dirinya.
Ketersalingan manusia, alam dan Tuhan yang erat. Melalui konsepnya yang bercorak teosentris dan teomorfis menjadikan hubungan antara alam, manusia, dan Tuhan tumbuh harmonis. Semua itu merupakan satu-kesatuan tidak terpisahkan yang mengakar pada satu wujud.
Karena itu alam dan manusia tidak tercerai-beraikan dari prinsip metafisis wujud tunggal (wahdat al-wujud) tadi. Dengan meyakini bahwa “Segala seusatu berasal dari dan akan kembali kepada Tuhan”. Maka muncullah kesadaran bahwa hanya Tuhan lah Sang pemilik segalanya.
Dari sekelumit penjelasan di atas, buah pikiran Ibn Arabi yang progresif tidak akan pernah usang dan membawa angin segar bagi kita. Gagasan semacam ini harus terus digali agar menemukan relevansi dan kontribusinya hingga mampu dikontekstualisasikan dengan problematika saat ini.
Ibn Arabi dengan gagasan wahdat wujudnya melalui kerangka etika sufi menjadi salah satu paradigma alternatif bagi manusia untuk bertindak lebih bijaksana dan arif dalam memaknai alam. Sehingga lahir benih-benih penghormatan terhadap alam dan menyadari bahwa alam merupakan tajalli Tuhan yang juga patut kita jaga lestarinya. Wallahu A’lam bi al-shawab. (Bersambung)