• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Feminisme, Islam dan Hegemoni Keilmuan

Habibus Salam Habibus Salam
01/08/2020
in Pernak-pernik, Publik
0
281
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Konon alasan dari ketertinggalan kita sebagai umat muslim atas peradaban Barat adalah karena semangat keislaman kita yang mulai kehilangan relevansinya dengan realitas kekinian. Itu juga yang mendorong tokoh seperti Hassan Hanafi mengembangkan wacana oksidentalisme-nya sebagai arah kajian baru dalam menghadapi hegemoni keilmuan (orientalisme) dan dominasi barat (modernitas).

Kenyataan bahwa sebagian dari kita sebagai umat muslim sering terlalu larut dalam romantisme kejayaan Islam masa lalu, dan menyebutnya sebagai bentuk ideal agama sesungguhnya, adalah faktor utama kenapa wacana-wacana keislaman seakan selalu tidak mendapat tempat dimanapun jika tidak di sertai embel-embel kekinian seperti feminisme misalnya.

Mungkin memang ada benarnya juga alasan-alasan di atas, mengingat kita masih sering menemukan wacana serta narasi romantisme masa lalu itu di sekitar kita, bahkan tidak jarang wacana dan narasi itu datang dari orang-orang terdekat kita sendiri. Sehingga apa yang Hanafi pikirkan bisa jadi sangat relevan untuk diimplementasikan. Bahwa sikap kritis terhadap tradisi, modernitas (Barat), dan realitas, benar-benar kita perlukan dalam konteks romantisme .

Proyek tradisi dan pembaharuan (al-Turāth wa al-Tajdīd) seperti yang ditawarkan Hanafi, sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru, gerakan-gerakan senada sudah lebih dulu ada bahkan sejak abad pertengahan Islam, dimana pada saat itu Al-Makmun sebagai khalifah memutuskan membuka lebar-lebar pintu ilmu pengetahuan sehingga memungkinkan umat muslim berinteraksi dengan ilmu-ilmu baru selain Al-Qur’an.

Akibatnya, hari ini kita mengenal filsafat islam, ilmu kalam, tafsir, tasawuf, bahkan fiqh yang oleh sementara kalangan cenderung dipandang sebagai salah satu faktor kemandegan peradaban Islam hari ini, meski sebenarnya lahir dari semangat keterbukaan pikiran umat muslim di abad pertengahan Islam tadi.

Baca Juga:

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

Dulu ketika pertama kali mengambil mata kuliah Pengantar Filsafat Islam, Dosen saya, (alm) Bapak Haidar, membuka pengantarnya dengan satu pertanyaan yang sampai sekarang berpengaruh cukup besar terhadap cara saya memandang Islam dan keilmuan, beliau bertanya, “Apa filsafat islam itu? Apakah hanya istilah yang dipakai untuk mengidentifikasi seorang filsuf yang kebetulan beragama islam, atau memang filsafat itu sudah ada bersama dan menjadi bagian integral dari Islam?”

Sebelum melebar, saya ingin memberi tahu bahwa saya memilih ‘embel-embel feminisme’ sebagai contoh di awal tulisan ini bukan tanpa alasan. Sebenarnya tulisan ini pun juga hasil dari interaksi saya dalam beberapa bulan terakhir dengan kolega-kolega yang memiliki concern dalam isu feminisme. Banyak sekali pengalaman emosional yang saya dapat dari interaksi itu.

Yakni, memiliki kesempatan untuk mendengarkan langsung pengalaman-pengalaman keperempuanan yang tidak bisa saya rasakan langsung sebagai laki-laki adalah yang paling mengesankan sejauh ini. Tetapi saya menangkap pengalaman-pengalaman keperempuanan tadi tidak sebatas realita personal, namun juga dalam bentuk lain berupa ketidaknyamanan dalam berislam. Perasaan terpinggirkan dari lingkungan relijius tertentu karena dianggap menyimpang, dan dianggap menyalahi otentisitas agama.

Dalam kerangka inilah saya ingin mengajukan pertanyaan yang sama seperti di atas: Apa feminisme Islam? Apakah hanya istilah yang dipakai untuk mengidentifikasi seorang feminis yang kebetulan beragama Islam, atau memang Feminisme itu sudah ada bersama dan menjadi bagian integral dari Islam itu sendiri?

Sebagai sebuah ideologi, gerakan, atau aproach, Femisme tidak akan kita temukan genealoginya dalam sumber-sumber keagamaan Islam manapun. Karena feminsme sebagai tiga kategori tersebut memang pertama kali muncul di akhir abad ke-18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20. Di Eropa, feminisme muncul sebagai respon terhadap hegemoni kekuasaan gereja, di Inggris, Jerman, dan Amerika, ia lebih merupakan respon terhadap kapitalisme.

Ya, feminisme tidak akan pernah kita temukan otentisitasnya sebagai ideologi, gerakan, maupun aproach dalam agama Islam. Namun demikian, kesalahan terbesar kita sebenarnya memang ada pada wilayah ini. Melihat feminisme hanya dalam kerangka historisitasnya sebagai tiga kategori tersebut (ideologi, gerakan, dan aproach).

Di wilayah ini kita cenderung memaknai feminisme sebagai ‘ideologi’ yang ingin dicarikan justifikasi kebenarannya, sebagai ‘gerakan’ yang ingin dicarikan landasan relijiusnya, dan sebagai ‘aproach’ yang ingin diposisikan menjadi perspektif melihat kebenaran justivikatif. Kita tidak pernah memberikan kesempatan untuk melihat kemungkinan feminisme sebagai bagian integral dari agama Islam.

Hal ini akan berbeda cerita jika kita melihat feminisme sebagai sebuah ethic dan nilai universal. Nilai keadilan, persamaan, dan kesetaraan yang selama ini kita cari dari feminisme, ternyata memang secara integral merupakan bagian dari Islam. Bukankah Al-Qur’ān yang mengatakan bahwa derajat manusia, baik laki-laki maupun perempuan hanya dilihat dari kualitas ketakwaannya kepada Allah? (QS: Al-Hujurāt: 13), bahwa perempuan memiliki hak yang sama sebagaimana lelaki (QS: Al-Baqarah: 228), dan memiliki status yang sama, yaitu hanya sebagai hamba Allah (QS: Al-Ḍāriyāt: 56). Inilah yang disebut sebagai etic dan nilai universal.

Saya tidak dalam rangka menafikan peran feminisme dalam proses aktualisasi Islam. Gagasan ini justeru ingin menawarkan cara baru dalam melihat feminisme yang selama ini kita anggap ‘Barat’ dan bukan merupakan bagian dari agama ini, sehingga ada sementara kalangan yang engggan untuk bersentuhan dengan istilah ini karena dianggap ‘tidak islami’, ‘ghaḍu al-fikr’, bahkan ada pula yang sampai ‘terkafirkan’.

Tulisan ini dalam posisi mencoba memperlihatkan bahwa ‘feminisme’ sebagai ethic dan nilai universal, bukan hanya secara genealogis memilik sumber dari Islam, tetapi ia merupakan bagian integral dari sistem ajaran agama ini. Karena sebagai mana yang diyakini Imam al-Sḥāṭibī yang hidup 3 abad sebelum kita, bahwa kesempurnaan Islam tidak terletak pada keterperinciannya, melainkan pada prinsip-prinsipnya yang universal. Wallāhu a’lam. []

Habibus Salam

Habibus Salam

Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Al-Anwar dan Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang, Penulis Lepas, Pegiat Literasi dan Kajian Keislaman, Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Wilayah Jawa Tengah

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
KB

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
KB

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

20 Mei 2025
KB dalam Islam

KB dalam Pandangan Islam

20 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version