Beberapa waktu lalu, usai membaca reportase kolaborasi wartawan yang mengangkat tema tentang kasus pelecehan seksual, saya pun jadi teringat salah satu film yang menengahkan topik sama, judulnya ‘Spotlight’, karya sutradara handal Thomas Joseph McCarthy.
Terinspirasi dari kisah nyata, film yang mengambil judul dari nama rubrik surat kabar The Boston Globe ini menguak bagaimana sekumpulan wartawan menguak skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa oknum pastor katolik. Film yang dirilis pada tahun 2015 lalu secara umum menceritakan perjalanan Michael Rezendes bersama Globe’s Spotlight Team dalam menelusuri kasus-kasus pelecehan seksual kepada anak di bawah umur yang melibatkan lebih dari 100 pastor.
Bisa disimpulkan, hal yang paling menarik dari film ini tentu adalah keberhasilan McCarthy menceritakan dengan sempurna perjalanan jurnalistik Globe’s Spotlight Team memecahkan kasus pelecehan seksual, yang mengantarkan mereka menerima Pulitzer Prize for Public Service pada tahun 2003.
Namun, di sisi lain jika kita mau menekurinya secara mendalam, isu sosial keagamaan yang coba diusung oleh para sineas Hollywood ternyata memang jauh lebih kompleks. Karena film ini diangkat dari kisah nyata, isu keagamaan yang divisualisasikan menjadi sangat menarik untuk dilihat, terutama dalam menyodorkan budaya reliji yang berkembang di masyarakat sebagai refleksi dari betapa peliknya mengurai benang kusut pelecehan seksual di lingkungan institusi agama.
Dari akting ciamik semua aktor dan aktrisnya, ada satu adegan yang menarik untuk dicermati, dan untaian perkataan tersebut jua lah yang mendorong saya menyusun tulisan ini. Yakni, ketika Globe’s Spotlight Team memawancarai Phil Saviano, salah seorang korban, yang mengalami pelecehan seksual saat ia masih berumur 11 tahun. Dalam pengakuannya, Phil menceritakan bahwa ia sangatlah polos dan tak mencurigai apapun:
“… Biar ku ceritakan kepada kalian… ketika kalian adalah seorang anak dari keluarga yang miskin, agama berarti sangat besar (karena terus memberikan harapan dalam hidup). Dan ketika seorang pastor datang untuk memberi perhatian, itu seperti karunia besar. Saat ia memintamu mengumpulkan buku kidung pujian, atau membuang sampah, (bahkan hal lainnya yang ternyata itu adalah suatu tindakan pelecehan), kau merasa istimewa. Itu seperti Tuhan sedang meminta tolong, (tapi melalui perantara makhluknya)…”
Penggalan cerita yang disampaikan Phil pada Globe’s Spotlight Team saat sesi wawancara di atas menjadi sangat menarik jika kita menelisiknya lebih jauh. Menjadi bagian kaum papa yang berasal dari keluarga miskin dan hidup ditengah-tengah kerasnya kota Boston, adalah suatu hal yang tak pernah dibayangkan oleh para korban pelecehan seksual tadi.
Di mata mereka, saat keluargamu hanya memberikan perhatian sekenanya, dan lingkungan sekitarmu sudah terlalu sibuk untuk sekadar bertanya apa kabarmu hari ini, perhatian sekecil apapun akan sangat berpengaruh pada keadaan psikis seseorang, apalagi jika perhatian itu datang dari sosok yang dianggap memiliki otoritas keagamaan tertentu, bahkan dianggap sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi.
Keadaan psikis yang dialami korban di atas juga menggambarkan dengan jelas bahwa selain karena pengaruh masif gereja secara politis di Boston, problem mendasar lain yang menjadi akar masalah adalah kemiskinan. Ini berlaku dimana saja, kebanyakan problematika sosial yang terjadi kerap kali bukan semata-mata ranah penyimpangan teologis, tetapi sering kali bersinggungan dengan permasalahan ekonomi.
Pada kasus yang berbeda, seperti kasus perkosaan anak SD di perkebunan kelapa sawit Rohil, Riau misalnya, selain memang karena kebejatan pelaku, juga merupakan fenomena ketimpangan sosial yang jarang kita sadari. Di atas kertas, kita akan mudah menyimpulkan bahwa hal itu karena tersangka tidak dapat menahan syahwatnya. Bahkan yang menyedihkan, kadang kita masih juga menemui orang yang mempertanyakan bagaimana sikap para korban, baju apakah yang mereka kenakan, apakah memancing atau menggoda pelaku terlebih dulu. Sayangnya, penjelasan itu kerap tidak dianalis lebih jauh. Karena libido pelaku tinggi. Titik.
Namun, pernahkah kita membayangkan jika korban lahir dari keluarga yang perekonomiannya lebih mapan yang setidaknya ia dapat dijemput oleh orangtuanya atau pembantunya dengan kendaraan pribadi? Yang dari segi keamanan jauh lebih baik, sehingga dia tidak perlu berjalan pulang ke rumah sendiri dan berakhir tanpa nyawa serta menjadi korban perkosaan yang awalnya diiming-imingi oleh hadiah menggiurkan bagi anak-anak?
Jika kita mampu membayangkannya, maka pertanyaan selanjutnya menjadi lebih sederhana; apakah si korban tewas karena ia penggoda, atau karena ia tidak mampu berjalan pergi dan pulang ke sekolah dengan aman serta nyaman? Sampai di sini, kasus pelecehan seksual yang digambarkan film Spotlight maupun kasus tewasnya anak korban perkosaan di Riau menggambarkan dengan jelas bagaimana akar problem pelecehan seksual juga dipengaruhi oleh ketimpangan ekonomi dan sosial.
Kabar buruknya, di masa pandemi seperti sekarang, ketika masyarakat masih susah payah berjuang untuk bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi, pemerintah justru tak mampu berbuat banyak. Makanya jangan heran, jumlah kasus KDRT hingga tindakan kekerasan seksual dan persoalan ekonomi di masa sekarang bagaikan lingkaran setan yang sulit teruraikan. Dan kondisi ini diperparah dengan penundaan RUU PKS yang semakin alot pembahasannya. Sudahlah tidak mampu memperbaiki perekonomian, didorong untuk lebih tegas dalam penegakan hukum pun pemerintah enggan. Kalau sudah begini, mau menunggu jatuh berapa banyak lagi korban?