• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Film “Tilik” dan Kritik Postfeminisme

Habibus Salam Habibus Salam
23/08/2020
in Film, Publik, Rekomendasi
0
643
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Beberapa hari terakhir grup Whatsapp saya sedang dipenuhi dengan sticker meme Bu Tejo, tokoh sentral dalam sebuah film pendek berjudul ‘Tilik’. Film pendek hasil kerjasama Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Ravacana Film, yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo ini, tiba-tiba viral di media sosial.

Film yang berdurasi 32 menit ini menceritakan rombongan ibu-ibu yang tengah melakukan perjalanan dari Bantul menuju Yogyakarta untuk menjenguk Bu Lurah. Adalah Bu Tejo, tokoh sentral film ini, yang di sepanjang perjalanan tak henti-hentinya mengumbar gosip tentang Dian, seorang perempuan muda yang dikenal sebagai kembang desa.

Berbagai hal tentang Dian dibeberkan Bu Tejo kepada Ibu-ibu lainnya, mulai dari gosip Dian adalah perempuan penggoda, dan segala hal negatif yang mengerucut kepada stereotipe ‘perempuan tidak beres’. Di sisi lain, ada Yu Ning yang selalu merasa bahwa Bu Tejo terlalu berlebihan mengomentari hidup Dian yang hanya berdasarkan dari info internet dan media sosial dan belum tentu benar.

Meskipun Bu Tejo, dan kebanyakan Ibu-ibu rombongan selalu berkilah bahwa informasi dari internet itu “wes ceto benere” (sudah jelas kebenarannya), “sing gawe internet kuwi wong pinter, mesti benere” (yang menciptakan internet adalah orang pintar, ya tentu sudah pasti informasi dari sana juga benar), tetap saja Yu Ning merasa bahwa Bu Tejo atau siapapun tidak punya hak untuk menghakimi hidup Dian hanya dengan informasi yang belum tentu benar.

Bagi saya, yang menarik adalah bagaimana film Tilik ini menempatkan Bu Tejo sebagai tokoh antagonis-demagogis, menjadi tokoh sentral ketimbang Yu Ning yang lebih protagonis-pedagogis dan mewakili idealisme normatif. Saya juga sempat bertanya-tanya, kenapa pula tokoh Bu Tejo yang arogan ini sebegitu viralnya sampai hampir di semua sosial media saya, selalu ada meme Bu Tejo dengan quote nyentriknya, yang kemudian menuntun saya untuk menyusun tulisan ini.

Baca Juga:

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

Secara normatif, tentu banyak orang akan sepakat dengan cara berpikir dan perasaan Yu Ning sebagai tokoh yang punya kelembutan hati dan kental dengan nilai sosial, dibanding dengan Bu Tejo yang berperangai negatif dan memiliki arogansi berlebihan karena merasa lebih tahu segalanya berkat internet. Tetapi idealisme normatif yang termanifestasi dalam tokoh Yu Ning ini tidak menemukan relevansinya, baik dalam film maupun di luar film ketika dikonsumsi oleh masyarakat.

Kenapa? Karena Bu Tejo adalah ‘kita’. Bu Tejo adalah segerombolan ibu rumah tangga yang setiap pagi kita temui di depan komplek tengah menawar sawi dan ikan asin untuk sarapan keluarganya, Bu Tejo juga adalah Ibuk, Mbak Yu, atau Istri kita sendiri, yang setiap pagi merogoh lipatan baju di lemari untuk menghitung sisa uang belanja kemarin apakah masih cukup untuk uang saku anak dan arisan hari ini.

Bu Tejo adalah manifestasi terbaik untuk menggambarkan kondisi mayoritas perempuan, terutama yang ada di pedesaan, yang tidak sempat bertanya apakah postingan facebook tetangganya merupakan berita yang benar, lantaran sibuk menjalankan fungsinya sebagai ‘makhluk domestik’.

Sikap saklek Bu Tejo terhadap berita yang ia terima dari internet, juga arogansinya untuk tidak dipersalahkan, bukan sesuatu yang harus kita adili dan kita letakkan sebagai ‘yang benar’ dan ‘yang salah’. Hal itu tidak lebih hanya sebuah gambaran realitas kultural kita yang perlu di kaji kembali.

Bu Tejo adalah manifestasi kegagalan pengarus-utamaan gender dalam kultur dan tatanan sosial kita. Bahwa seberapapun public policy kita telah diupayakan untuk semaksimal mungkin menghasilkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan untuk sama-sama mendapat informasi dan kesempatan yang memadai (meskipun pada kenyataannya masih jauh panggang dari apinya), hal itu tidak akan memberikan impact yang besar selama social policy kita masih menempatkan perempuan sebagai ‘makhluk domestik’ yang harus merelakan kesempatannya untuk mempertanyakan sesuatu, demi agar anak-anaknya bisa berangkat sekolah tepat waktu.

Kritik pos-feminisme semacam ini-lah yang mungkin bisa kita baca dari Sosok Bu Tejo. Bahwa arogansinya adalah cara lain perempuan desa untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri yang ‘panggungnya’ sangat terbatas di pedesaan. Dengan kata lain perilaku Bu Tejo adalah hasil dari social policy kita yang masih menempatkan beban ganda kepada perempuan. Sehingga idealisme normatif yang termanifestasi dalam sosok Yu Ning merupakan hal yang kurang relevan bagi perempuan, khususnya yang berada di pedesaan. []

Habibus Salam

Habibus Salam

Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Al-Anwar dan Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang, Penulis Lepas, Pegiat Literasi dan Kajian Keislaman, Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Wilayah Jawa Tengah

Terkait Posts

Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kehamilan Tak Diinginkan

    Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version