Mubadalah.id – Gender dan jenis kelamin merupakan dua istilah yang berbeda yang sering kita anggap sama. Jika jenis kelamin merupakan sekumpulan ciri-ciri biologis yang dibawa oleh individu sejak lahir, maka gender adalah peran, perilaku, atribut yang kita lekatkan masyarakat kepada individu berdasarkan jenis kelamin mereka.
Florence L. Denmark menyatakan bahwa gender mulai berkembang pada diri seorang anak setelah ia lahir. Artinya ia tidak membawanya sejak lahir. Peran gender yang dijalankan seorang individu merupakan hasil interaksinya dengan lingkungannya.
Misalnya, masyarakat melekatkan perempuan dengan sifat-sifat feminin dan mendorongnya untuk bersikap lembut serta anggun. Pesan dan pengaruh masyarakat inilah yang kemudian membentuk konsep diri.
Sebagai konstruksi sosial, pada dasarnya gender bersifat fleksibel dan bisa berubah seiring waktu. Apa yang kita anggap sebagai peran laki-laki dan peran perempuan di satu masyarakat mungkin berbeda dengan masyarakat lain. Namun, bagi beberapa orang peran gender yang terkonstruksikan oleh masyarakat dianggap sebagai peran mutlak dan final bagi laki-laki dan perempuan.
Tugas Reproduktif yang Melekat pada Perempuan
Perempuan melekat dengan tugas-tugas reproduktif maka ia harus melakukan tugas pemeliharaan dan perawatan rumah dan keluarganya. Laki-laki terbebani tugas produktif sehingga harus mampu menjadi penyedia utama bagi keluarganya.
Ketika individu tidak dapat memenuhi peran-peran ini maka ia dianggap tidak sempurna dan kerap menjadi bahan perbincangan orang lain. Pandangan seperti ini bisa menimbulkan tindakan diskriminatif bagi orang-orang yang tidak sesuai dengan norma gender yang ada.
Secara umum, Islam mengakui adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Di dalam Al-Qur’an juga ditemukan ayat yang melekatkan suatu peran dengan jenis kelamin tertentu, seperti peran penyedia nafkah keluarga kepada laki-laki di QS Al-Baqarah: 233. Namun penting untuk diketahui bahwasanya dalam suatu teks keterangan hadits menjelaskan bahwa peran ini juga bisa dilakukan perempuan lakukan.
Ini menjadi bukti bahwa peran gender dalam Islam juga bersifat fleksibel dan dapat kita pertukarkan sesuai dengan kondisi yang melingkupi laki-laki maupun perempuan. Hal ini memungkinkan laki-laki dan perempuan untuk mengeksplorasi peran-peran di luar norma-norma gender tradisional. QS At-Taubah: 71, di mana menyebutkan laki-laki dan perempuan sebagai rekan setara yang bertugas untuk mendatangkan kebaikan dan mencegah hal-hal yang buruk. Tugas-tugas ini dapat laki-laki dan perempuan wujudkan melalui peran apapun yang ia kehendaki.
Perempuan sebagai Pencari Nafkah Keluarga
Selama ini peran pencari nafkah utama selalu kita bebankan kepada laki-laki. Pandangan ini mengacu pada QS Al-Baqarah ayat 233 yang menyebutkan laki-laki sebagai penyedia kebutuhan bagi istri dan anaknya karena kelebihan yang ia miliki. Laki-laki kita katakan memiliki kelebihan atas perempuan karena mendapatkan privilese atau hak istimewa secara sosial sehingga lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan.
Allah memberikan apresiasi dengan memberikan pahala atas usaha suami mencarikan sumber kehidupan bagi istri dan anaknya. Lalu bagaimana jika istri yang bertugas mencari nafkah bagi keluarganya? Apakah ia masih mendapatkan apresiasi yang sama.
Jika merujuk pada hadis Nabi, kita temukan beberapa teks yang merekam perempuan sebagai pencari nafkah bagi keluarganya. Adalah Zainab ra istri dari sahabat Abdullah bin Mas’ud ra yang berkerja dan menjadikan pendapatannya sebagai sumber kehidupan bagi suami dan anak-anaknya.
Saat itu ia meminta untuk ditanyakan kepada Rasulullah apakah bisa mendapatkan pahala atas usahanya. Rasulullah menjawab “dia mendapatkan dua pahala, pahala nafkah pada keluarga dan pahala sedekah.” Alih-alih melarang Zainab ra untuk memberi nafkah keluarganya karena menganggap sebagai hanya pekerjaan laki-laki, Rasulullah malah memberikan pengakuan atas usahanya dengan janji pahala dari Allah Swt.
Perempuan yang Melakukan Tugas Produktif
Tidak hanya Zainab ra, teks hadits lainnya juga mencatat beberapa contoh perempuan yang melakukan tugas-tugas produktif, seperti Umm Mubasyir, seorang perempuan dari keluarga Ka’ab bin Malik, dan bibi Jabir bin Abdullah ra. Contoh lain yang lebih populer adalah Sayyidah Khadijah, istri Nabi yang terkenal sebagai pengusaha perempuan sukses dan bersedia mendonasikan harta yang ia miliki untuk mendukung dakwah Nabi.
Dari sini bisa kita lihat bahwasanya peran penyedia kebutuhan bagi keluarga bersifat fleksibel. Islam tidak melarang perempuan untuk turut serta mengambil peran ini dan tetap memberikan apresiasi atas kerja-kerjanya. Kebolehan ini tidak lantas menjadikan suami lari dari tugas mencari nafkah.
Suami harus tetap mencari nafkah karena istri memiliki tugas-tugas biologis seperti hamil, melahirkan, dan menyusui yang membuatnya harus mengambil jeda dari aktivitasnya. Tugas ini merupakan tugas berat dan tidak dapat tergantikan oleh suami.
Nabi Mengerjakan Pekerjaan Domestik
Dalam konsep pernikahan yang masyarakat yakini, perempuan terbebani tugas untuk memberikan pelayanan kepada suaminya. Namun anggapan bahwa perempuan menjadi pelayan bagi suami tidak tercermin dalam kehidupan pernikahan Rasulullah.
Rasul menganggap istrinya sebagai mitra dan turut serta dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia menambal sandal, menjahit dan membersihkan baju, memeras susu dari kambing, menambal baju yang robek, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya secara mandiri.
Ini merupakan contoh luhur dari Rasulullah yang mengaskan bahwa siapa saja bisa melakukan pekerjaan domestik. Peran domestik dan reproduktif merupakan peran-peran gender yang fleksibel yang bisa siapapun mengerjakannya, baik suami maupun istri.
Dalam kehidupan rumah tangga, istri dan suami memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan keluarganya. Hal ini bisa kita lakukan dengan cara membagi tugas rumah tangga dan memberikan pelayanan satu sama lain. Terlebih lagi jika istri turut andil dalam mencari nafkah, maka pekerjaan-pekerjaan domestik ini harus terbagi secara adil dan ma’ruf. Wallahu a’lam bisshawab. []