• Login
  • Register
Selasa, 21 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Gender Dalam Pembangunan: Diakui Sebagai “Perempuan” Saja Belum Cukup

Tanpa adanya wadah khusus perempuan, tidak ada jaminan gender perempuan diakomodasi. Bagi gerakan tradisional, wadah tersebut sangat perlu agar pengalaman perempuan bisa diakui serta kebutuhan praktis-strategisnya terpenuhi.

Miftahul Huda Miftahul Huda
03/09/2021
in Publik
0
Afghanistan

Gender

151
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Melihat perempuan pedesaan menggunakan sudut pandang eksistensialis itu terlalu kaku. Begitu juga menggunakan pendekatan Simone de Beauvoir: rumit, melangit, dan eksklusif teruntuk para “pemikir”. Itu yang dilakukan salah satu teman saya dalam mendiskusikan hasil penelitian di kasus Wadas (31/8).

Ia mengatakan, pengakuan terhadap pilihan perempuan—memilih untuk memasak, mencuci—adalah satu jalan menuju pemberdayaan. Dan secara tegas ia tidak setuju dengan langkah pengadaan wadah tersendiri bagi perempuan di dalam gerakan. Menurutnya, itu sama saja tidak mengakui pilihan perempuan, mengintervensi pilihan perempuan.

Sebagai sebuah pendapat, saya menerimanya. Tapi sebagai sebuah langkah strategis, saya menolaknya. Ada beberapa hal yang harus dibahas menyesuaikan kondisi sosial-masyarakat, sekaligus menjaga jarak dari permainan para pemikir yang mengabdi di menara pencakar langit.

Presentator mengatakan bahwa Wadon Wadas muncul setelah pertemuan kedelapan Gempa Dewa, dan itu sifatnya hanya informal. Tidak ada pertemuan formal dan keterlibatan perempuan secara struktural, termasuk partisipasi aktifnya. Lalu mengakui perempuan telah menentukan pilihan, itu tidak cukup. Bahkan sangat reduksionis dan abai terhadap jejaring relasi kuasa dalam pembanguan, yang sewaktu-waktu bisa menerkam perempuan, apalagi hanya perkumpulan informal.

Setelah Pengakuan, Lalu Apa?

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam
  • Poligami Banyak Merugikan Kaum Perempuan
  • Bagaimana al-Qur’an Berbicara Mengenai Gender?

Baca Juga:

Perempuan Juga Wajib Bekerja

Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

Poligami Banyak Merugikan Kaum Perempuan

Bagaimana al-Qur’an Berbicara Mengenai Gender?

Sebelumnya saya sudah menyinggung soal pengakuan ini dalam artikel Wadon Wadas Melampaui Batas Publik-Domestik. Benar, perempuan telah menjadi subjek atas pilihan sadarnya terhadap aktivitas reproduksi. Itu juga menjadi bentuk keragaman perempuan di dalam gerakan, dan usaha melepaskan diri dari pendefinisian sempit feminisme Barat.

Selanjutnya saya perlu memperlebar sudut pandang, yakni gender dalam pembangunan. Maka saya akan mengajukan pertanyaan, bagaimana “pengakuan” itu bisa menjamin kebutuhan praktis-strategis perempuan di tengah ancaman kerusakan alam terpenuhi? Tentu itu pertanyaan retoris yang jawabannya sudah saya kantongi sendiri: sulit bagi perempuan untuk berdaya hanya dengan mengakui pilihannya.

Perempuan akan diakui sebagai penerima manfaat dari pembangunan, pasif. Di dalam gerakan, mereka hanya diakui keberadaannya sebagai pemangku urusan reproduksi. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan gendernya diputuskan oleh para lelaki. Sampai di sini perempuan terlindas oleh dua persoalan, yaitu pembangunan destruktif dan gerakan yang male-oriented—jika istilah patriarki terlalu ekstrem.

Pertama, pembangunan destruktif (tambang batuan andesit) mengancam masyarakat dari berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, budaya, dan sumber daya. Bagi perempuan itu lebih kompleks, mereka kehilangan kebutuhan yang men-support gendernya—jika aktivitas reproduksi adalah pilihan sadar perempuan—seperti kehilangan mata air, ekonomi mandiri, dan kesehatan reproduksi.

Kedua, hadirnya gerakan berusaha memukul mundur pembangunan yang destruktif tersebut. Itu bagus untuk masyarakat, dan khususnya bagi pemenuhan kebutuhan praktis yang mendukung gender perempuan. Tapi tetap saja perempuan dianggap sebagai penerima manfaat pasif, seolah-olah ia mengamini semua keputusan laki-laki. Gerakan mengalami kekosongan sudut pandang, yaitu sudut pandang perempuan dengan seabrek persoalan gendernya. Perempuan-nya diakui, tapi tidak dengan gender-nya.

Kembali lagi kepada pernyataan teman saya: “Jika perempuan sudah menentukan pilihan, itu sudah cukup dan tidak perlu wadah struktural.” Dua persoalan di atas yang akan bertanya, sejauh mana gender perempuan bisa diakomodasi oleh gerakan yang hanya dihuni laki-laki? Dan, bagaimana gerakan bisa membuat keputusan adil gender dengan tanpa kehadiran perempuan?

Ciptakan Wadah Struktural Khusus Perempuan

Satu teman perempuan saya mengatakan bahwa perlu dibentuk wadah perempuan secara struktural, menjadikan Wadon Wadas sebagai organisasi struktural. Sebab, ia melihat perempuan hanya bisa berpendapat secara informal dari mulut ke mulut melalui kegiatan informal-reproduktif seperti memasak, membuat pithi, dan berjaga di pos. Adanya wadah khusus akan membuat perempuan lebih progresif. Itu adalah pernyataan yang memicu pendapat dengan perspektif Beauvoir yang telah saya sebut di atas.

Saya akan mengatakan, perlu untuk membuat wadah struktural bagi perempuan, atau konkritnya menjadikan Wadon Wadas sebagai wadah struktural perempuan Wadas—kalau saja waktu itu forum tidak terbatas oleh waktu. Maka, di sini akan saya tuangkan beberapa pendapat kenapa itu sangat perlu dan mendesak.

Pertama, perempuan memiliki ruang aman dan nyaman untuk membahas pengalaman mereka. Ruang ini memang sudah terealisasi melalui aktivitas reproduksi, tapi masalahnya ruang itu tidak bisa melegitimasi keputusan perempuan. Dengan adanya wadah struktural, pengalaman yang dibicarakan perempuan jadi legitimate. Selain itu, wadah tersebut menjadi penyeimbang dalam gerakan dan mengisi kekosongan sudut pandang. Artinya perempuan juga memiliki kontrol terhadap arah gerakan.

Kedua, perempuan bukan hanya mengawal kebutuhan praktis (tangible), tapi juga kebutuhan strategis (intangible) mereka. Karena adanya wadah konsentrasi, perempuan bisa berbicara banyak mengenai kebutuhan praktis gendernya, seperti air, pangan, dan kesehatan reproduksi, lalu mendiskusikannya bersama laki-laki di dalam gerakan.

Wadah tersebut akan menjamin kebutuhan gender perempuan tersedia karena mereka sendiri yang mengawal—terlepas dari bisa atau tidaknya gerakan mengawal isu tersebut, karena yang mereka hadapi adalah negara.

Sedangkan kebutuhan strategisnya adalah, perempuan mampu berpartisipasi aktif dan membuat keputusan di dalam gerakan. Itu akan mendorong gerakan menjauh dari keputusan yang bias gender, yang selama ini hanya diputuskan menggunakan sudut pandang laki-laki.

Wadah khusus tersebut akan menjamin partisipasi perempuan dalam jangka waktu yang lama dan legitimate. Akhirnya perempuan akan mencapai kebutuhan strategis: partisipasi, membuat keputusan, mengawal kebutuhan gendernya, dan diakomodasi gendernya.

Ketiga, perempuan bisa ikut mengontrol gerakan dengan turut serta dalam perencanaan, penilaian, dan evaluasi program/gerakan. Apa pun program yang direncanakan gerakan untuk mendesak mundur industri ekstraktif tersebut, dengan hadirnya perempuan akan meminimalisir bias gender. Perempuan juga bisa ikut menilai dan mengevaluasi program yang telah terlaksana, apakah mengakomodasi gender perempuan atau tidak. Jika pun tidak, perempuan tetap bisa mengontrol dan memperbaiki dalam perencanaan selanjutnya.

Dengan adanya wadah struktural perempuan, baru “pengakuan” itu bisa dianggap progresif karena melibatkan mereka di dalam gerakan, bukan sekadar penerima manfaat pasif. Dan yang perlu digarisbawahi, pembentukan wadah khusus itu bukan untuk membenturkan antara laki-laki dan perempuan. Melainkan untuk membuat aksi afirmatif terhadap gender perempuan di dalam pembangunan, yang selama ini selalu diabaikan dan pengalamannya tidak diperhitungkan. []

Tags: Gendergerakan perempuankeadilanKesetaraanPembangunanperempuanWadon Wadas
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Perempuan Harus Berpolitik

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

19 Maret 2023
Pembahasan Childfree

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

18 Maret 2023
Bimbingan Skripsi, Kekerasan Seksual

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

17 Maret 2023
Kekerasan Simbolik

Bibit Kekerasan Simbolik di Lembaga Pendidikan

16 Maret 2023
Berbuat Baik pada Non Muslim

Meneladani Akhlak Nabi dengan Berbuat Baik pada Non Muslim

16 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rethink Sampah

    Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Warisan Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i Menurut Prof. Musdah Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan Juga Wajib Bekerja
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri
  • Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist