Mubadalah.id – Belakangan istilah “pemuda jompo” ramai di jagat Mayantara. Frasa itu merujuk pada potret kaum muda masa kini yang sering mengalami keluhan fisik seperti pegal-pegal, sakit punggung, hingga rasa letih berulang.
Persoalannya, dari mana hal itu terjadi? Benarkah itu sekadar gejala fisik biasa atau kejadian istimewa yang menjangkiti banyak generasi muda secara kolektif? Tulisan ini mencoba menelisik perkara tersebut.
Belum Ada Preseden
Menjadi generasi muda di zaman sekarang tidak gampang. Ada berkah sekaligus kutukan yang menyertai mereka. Baik generasi Milenial muda maupun Gen Z, keduanya di satu sisi diberi ekspektasi sebagai penerus bangsa. Namun di saat bersamaan, mereka juga menuai sentimen seperti belum matang, manja, serba-instan, dan kurang daya juang.
Padahal, sebagai manusia utuh, generasi muda saat ini mengenyam persoalan yang belum ada presedennya. Mereka kena “pandemi duduk”. Mata dan perhatian mereka senantiasa terhisap layar bercahaya. Ini semua merisikokan bukan hanya tubuh, tetapi juga mental psikologis.
Dari segi fisik, temuan dari Keith Diaz, Associate Professor bidang Behavioral Medicine dari Columbia University (2023), menyebutkan kalau aktivitas duduk yang terlalu lama meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, obesitas, penurunan kadar darah, hingga demensia dan beberapa jenis kanker.
Ini akan senada dengan temuan Zhao J dan tim di Jurnal BMJ Oncology (2023) yang menyingkap kejadian kanker di dunia pada kelompok usia di bawah 50 tahun yang meningkat dramatis di 204 negara.
Eco-Anxiety
Sementara dari segi mental-psikologis, generasi muda berada di posisi rentan. Tidak sedikit dari mereka yang gelisah. Cukup salah satunya saja, dalam kadar cukup kronis dan baru, yakni eco-anxiety. Istilah ini menggambarkan ketakutan kronis akan kiamat lingkungan. Dalam survei global seperti ulas Olivia Box (2022), banyak anak-anak dan kaum muda yang merasakan level khawatir cukup tinggi terkait perubahan iklim dunia.
Riset lanjutan bahkan menunjukkan kalau sebagian besar dari 10.000 responden berusia 15-24 tahun melaporkan perasaan sedih, cemas, marah, geram, tak berdaya, dan rasa tak punya kuasa sama sekali hingga perasaan bersalah (Matthew Adams, 2023). Perasaan campur aduk itu juga menjangkit banyak generasi muda di tanah air.
Jadi, jangan heran kalau banyak anak muda yang merasa putus asa dan lelah dengan banyak hal. Imbasnya bisa merembet ke kondisi letargis (lethargical), keletihan kronis. Di tengah itu semua, beberapa pihak generasi sepuh enggan menggali lebih dalam, hingga muncul stereotipe nyinyir sebagaimana telah disebutkan tadi.
Banyak dari kita yang belum cukup punya kesediaan mendengar dari hati ke hati kepada generasi muda. Padahal mereka menjadi “Generasi Lelah” (tired generation) itu dipicu beragam faktor.
Faktor Pemicu & Perlunya Solusi Struktural
Meagan Drillinger dan Deborah Weatherspoon (2018) memetakan sejumlah faktor yang memicu lahirnya “generasi lelah” ini. Bagi mereka berdua ada tiga faktor prominen:
(1) peran teknologi yang sudah mengambil alih banyak peran sampai tahap mempengaruhi otak dan tubuh;
(2) budaya kecepatan, pola pikir dan kenyataan finansial yang tak sesuai standar hidup layak;
(3) faktor pandemi Covid-19 juga berperan besar dalam peningkatan depresi.
Menyikapi ihwal tersebut, solusi individual mungkin bisa kita upayakan, seperti pola hidup sehat, perbanyak aktivitas gerak, dan tidur berkualitas. Hanya saja, persoalan ini tampak lebih struktural dan serius, alih-alih letupan kecil yang sporadis.
Dari situ, kita semakin mafhum dengan uraian Steven Threadgold dalam bukunya Youth, Class and Everyday Struggles (2019) tentang generasi muda: “…kaum muda ditarik-dorong oleh tuntutan normatif yang kita tujukan kepada mereka sejak usia dini.
Sementara mereka secara refleksif sadar bahwa imbalan yang tersedia untuk bekerja keras dan membuat keputusan tepat—yaitu keamanan finansial, keluarga, status sosial, dan kepuasan kerja—adalah justru prospek yang semakin menurun.”
Kita lihat sekarang, lapangan kerja menyempit, harga properti melangit, kebutuhan pangan melambung, dan kaum muda masih kelimpungan sambil kena olok-olok sebagai generasi manja. Betapa ironis nasib mereka, terutama ketika posisi mereka direduksi hanya menjadi “surat suara” yang ditambang pada masa Pemilu lima tahun sekali.
Di negeri yang semakin runyam ini, generasi muda menjadi kelompok yang terhimpit beban rangkap, namun sekaligus kita tumpuki ekspektasi ganda dari generasi pendahulu. Itu sebabnya mereka leltih secara jiwa dan raga.
Karenanya, penting untuk meneliti kondisi kaum muda dengan lebih empatik, cermat, serta lepas dari bias syak-wasangka yang tidak adil. Perlu juga menyiapkan pendekatan interdisipliner menuju solusi yang sifatnya struktural-sistemik agar tidak mengancam Indonesia Emas 2045 yang digaung-gaungkan itu. []