Mubadalah.id – Banyak orang mengenal Imam Syafi’i, tetapi amat sedikit sekali yang mengenal pertemanannya dengan sang guru perempuan Sayyidah Nafisah. Ada cerita menarik yang mungkin luput bagi kebanyakan orang mengenai pertemuan dan pertemanan mereka berdua. Guru perempuan Imam Syafi’i ini sangat terkenal.
Imam Syafi’i adalah ulama amat popular di dunia Islam sebagai salah satu pendiri mazhab fiqh besar yang disebut dengan namanya. Mayoritas besar masyarakat muslim Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam adalah para pengikutnya. Dunia muslim Sunni sepakat mengukuhkan al-Syafi’i sebagai orang pertama yang menyusun teori hukum Islam (Ushul al-Fiqh), bagai Aristoteles dalam logika.
Sementara Sayyidah Nafisah adalah putri al-Hasan al-Anwar bin Zaid al-Ablaj bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Maka ia cicit Nabi. Ia seorang perempuan ulama (atau ulama perempuan, terserah anda menyebutnya) terkemuka pada masanya. Namanya dikenal sebagai perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman yang berharga (Nafisah al-‘Ilm), pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian bahkan mengkatagorikannya sebagai perempuan wali dengan sejumlah keramat. Ia Wafat pada tahun 208 H.
Sebelum tiba di Kairo, Mesir, Imam al-Syafi’i sudah lama mendengar ketokohan perempuan ulama ini dan mendengar pula bahwa banyak ulama yang datang ke rumahnya untuk mendengarkan pengajian dan ceramah yang diselenggarakannya setiap hari. Al-Syafi’i datang ke kota ini lima tahun sesudah Sayidah Nafisah. Beberapa waktu kemudian al-Syafi’i meminta bertemu dengannya di rumahnya. Sayidah Nafisah menyambutnya dengan seluruh kehangatan dan kegembiraan. Perjumpaan itu dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang sering. Masing-masing saling mengagumi tingkat kesarjanaan dan intelektualitasnya. Bila al-Syafi’i berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, ia mampir ke rumahnya, begitu juga ketika pulang kembali ke rumahnya.
Imam al-Syafi’i dianggap sebagai ulama yang paling sering bersama Sayyidah Nafisah dan mengaji kepadanya, justeru dalam statusnya sebagai tokoh besar dalam fiqh. Pada bulan Ramadan al-Syafi’i juga acap salat Tarawih bersama Nafisah di masjid perempuan ulama ini. Kalimat ini diperdebatkan maknanya: apakah ia berarti bahwa al-Syafi’i menjadi makmum dari Sayidah Nafisah, meski dalam ruang yang terpisah?. Kali ini tak penting diurai.
Manakala Imam al-Syafi’i sakit, ia mengutus sahabatnya untuk meminta Sayidah Nafisah mendoakan bagi kesembuhannya. Begitu ia kembali, sang Imam tampak sudah sembuh. Dan ketika dalam beberapa waktu kemudian al-Imam sakit parah, sahabat tersebut dimintanya kembali menemui Sayyidah Nafisah untuk keperluan yang sama. Mohon didoakan. Kali ini, Sayidah Nafisah hanya mengatakan: “Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa dengan-Nya”.
Mendengar ucapan sahabat sekaligus gurunya itu, al-Syafi’i segera paham bahwa waktunya sudah akan tiba. Al-Imam kemudian berwasiat kepada murid utamanya Al-Buwaithi, meminta agar Sayyidah Nafisah mensalati di atas jenazahnya, jika kelak dirinya wafat. Ketika al-Syafi’i kemudian wafat, jenazahnya dibawa ke rumah perempuan ulama tersebut untuk disalatkannya. (FQH).