• Login
  • Register
Rabu, 22 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Gus Dur Suami Siaga; dari Kesehatan Reproduksi hingga Pengasuhan Anak

Ala'i Nadjib Ala'i Nadjib
18/12/2018
in Kolom
0
Gus Dur, Suami Siaga

Ilustrasi: adaptasi dari Sindonews[dot]com

70
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perhatian Gus Dur untuk kesehatan reproduksi secara fasih dituturkan oleh Ibu Shinta dan putri-putri beliau, sepanjang mereka mengingatnya. Sebab, mereka masih kecil ketika adik-adiknya lahir. Karenanya, mereka tak langsung mengingat bagaimana mereka dirawat ayahnya waktu bayi.

Menurut Ibu Shinta sejak kehamilannya hingga kelahirannya, tiga anak-anaknya lahir di Jombang dan yang bungsu, keempat, lahir di Jakarta. Selama itu, Gus Dur tak pernah absen dalam mendampingi dan membantu tugas-tugas reproduksinya.

Gus Dur yang kala itu sudah mengajar di pesantren selalu mengantar Ibu Shinta kalau memeriksakan kehamilannya. Pun ketika kemudian anak-anaknya lahir, beliau mendampinginya dalam mengasuh bayi. Semuanya terjadi, jauh sebelum digalakkan suami siaga, kala itu benar-benar beliau adalah suami siaga.

Kala putri pertama keduanya lahir pada 1972, Gus Dur-lah dengan segenap perhatiannya menyambut anak perempuannya itu. Beliau yang mengganti popok-popok bayinya. Kalau tengah malam bayinya pipis dan kemudian diserahkan kepada Ibu Shinta untuk disusui.

Anak pertama, Alissa Qotrunnada Munawaroh, lahir di rumah (Jombang) dengan didampingi bidan. Anak kedua beliau, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), menurut penuturan Ibu Sinta malah lahir brojoli (tiba-tiba, spontan) walau sedikit bisa dikenali tanda akan keluarnya.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • 3 Warisan Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i Menurut Prof. Musdah Mulia
  • Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini
  • Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

Baca Juga:

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

3 Warisan Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i Menurut Prof. Musdah Mulia

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

Suasana menjelang kelahiran sedikit membuat Gus Dur panik, sebab menurut Ibu Shinta, beliau, mendampingi Ibu Shinta dan meminta tolong santri untuk cepat-cepat memanggil bidan. Ketika beliau masuk rumah lagi, si jabang bayi sudah kelihatan kepalanya, padahal sang santri baru saja berangkat.

Tak sabar, Gus Dur yang menunggu lama sang santri menjemput bidan, bahkan beliau berpikir, jangan-jangan santri tidak tahu rumah bidannya. Akhirnya Gus Dur memutuskan untuk meminjam motor orang yang lewat depan rumahnya untuk menjemput bidan sendiri di tengah kekhawatiran terlambatnya bidan datang.

Melengkapi perhatian Gus kepada Ibu Shinta, beliau turun tangan juga untuk merawatnya paska melahirkan. Gus Dur-lah yang membengkungi (memakaikan bengkung, kain panjang untuk mengencangkan perut sehabis melahirkan), dan beliau yang muter-muter mengelilingi badan Ibu Shinta padahal panjang bengkung bisa mencapai 15 meter.

Meskipun konsep bagaimana merawat dan mengasuh bayi atau anak sehari-hari, menurut Ibu Shinta, Gus Dur lebih percaya pada pengalaman empirik, namun hal itu tak melepaskan perhatian beliau kepada anak-anak dan istrinya.

Beliau menyerahkan sepenuhnya, kepada Ibu Shinta yang dianggap lebih punya pengalaman. Karena mertua Gus Dur, yakni, ibunya Ibu Shinta telah membesarkan 18 anak-anaknya, mertuanya inilah yang kemudian menjadi referensi perawatan anak-anak beliau.

Meskipun tiga anaknya, lahir di Denanyar Jombang, Gus Dur dan Ibu Shinta, tidak mendelegasikan tugas-tugas pengasuhan anak ke santri, sebagaimana umumnya keluarga kiai.

Sebagai catatan keluarga yang pertama lahir di rumah ibunya Ibu Shinta, juga di Jombang, tapi tidak ada pesantrennya. Anak- anak Gus Dur walaupun tidak ingat betul, membenarkan keberpihakan Gus Dur terhadap Ibu mereka ketika melahirkan dan mengasuh anak-anak.

Alissa, misalnya, karena dia sulung, cukup banyak tahu dan mengingat masa-masa itu, mengamini dan mengagumi peran ayahnya itu. Yenny yang juga katanya masih berumur 4 tahunan, ketika adiknya lahir, lupa bagaimana sikap Gus Dur ketika Ibu Shinta melahirkan Anita, anak ke 3, juga si bungsu, Inayah Wulandari.

Namun mereka semua membenarkan bahwa Gus Dur tak membiarkan Ibu Shinta Nuriyah sendiri melahirkan dan mengasuh bayi /anak-anaknya sendiri.

Bagi Anita, Gus Dur adalah role model yang ideal bagi kehidupannya kelak. Sementara bagi Inayah atau dipanggil Inay yang merupakan anak bungsu, perhatian terlihat pada dirinya dan keponakan keponakannya yang diposisikan sebagai adik-adiknya.

Begitu pun anak ketiga, Anita, ia membenarkan; “Aku juga dengar cerita dari Mama, kalau punya bayi, benar-benar Bapak yang bantuin, malam-malam, bangun mengantikan popok anaknya yang basah, memastikan bayi dan mama dalam keadaan nyaman untuk istirahat.”

Kalau bayi pipis, diganti popoknya, baru diberikan ke Ibu Shinta. Menurut Anita lagi, semua itu dilihatnya adalah pembagian tugas semata, bukan karena gender tapi pembagian peran siapa yang bisa melakukan ya dilakukan”, kisahnya.

Bukankah Gus Dur anaknya kiai, apakah Gus Dur juga mau melakukan tugas-tugas domestik?

Anita membenarkan bahwa beliau mengerjakannya. Menurut cerita anak-anaknya, setelah pindah ke Jakarta, Gus Dur tak segan-segan mengerjakan semua itu. Misalnya kalau lebaran orang yang membantu di rumah pulang, dilihatnya beliau menyapu juga mencuci baju-baju.

Anak-anak belum begitu besar, waktu itu, Anita tiga tahunan. Soal pekerjaan domestik, dapur misalnya, bagi Yenny tidaklah mengejutkan, karena Gus Dur biasa dan bisa. Beliau lama di luar negeri, Mesir, Irak dan kalau summer di Eropa, di mana kemandirian sangat ditekankan. Menjahit kancing bajunya yang lepas juga beliau lakukan.

Perhatian akan kesehatan reproduksi Gus Dur juga berlanjut ketika anak-anaknya sudah berkeluarga. Waktu Anita hamil, misalnya, beliau memastikan dan suka menanyakan ke padanya “Kamu sudah periksa, ke dokter siapa ?, kenapa tidak ke dokter ini? Bapak menganjurkan ke dokter kandungan A” tuturnya.

Gus Dur memang menganjurkan periksa ke kenalan baiknya, seorang dokter yang dinikahkan oleh beliau, masih muda, praktik di rumah sakit. Anita memang awalnya tidak ke sana, karena dokter itu sibuk sekali. Tapi setelah Gus Dur menyarankan, Anita pindah ke dokter itu dan terbukti memang sangat ahli sehingga benar-benar membantu kehamilan Anita.

Inay yang belum berkeluarga dan bungsu mempunyai kisah dan pengalaman yang menarik tentang perhatian Gus soal kesehatan reproduksi ini. Ia punya kista, kira-kira dua tahun lalu, seisi rumah juga tahu. Namun suatu hari ada yang mengagetkan ketika tiba-tiba suatu hari ada dokter kandungan ke rumah dan minta ia diperiksa.

Inayah pun berfikir, “tahu darimana ya? Ternyata Gus Dur yang cerita ke dokter. Saya saja nggak sampai segitunya berpikir, Bapak benar-benar care” kenangnya.[]

 

*Tulisan diambil dari buku “Gus Dur di Mata Perempuan.”

Tags: bulan gus durdesember Gus Durdoktergus durhaul gus durIbu SintakeluargamenjagaPerhatianreproduksirumah tanggaSinta Nuriahsuami siaga
Ala'i Nadjib

Ala'i Nadjib

Terkait Posts

Perayaan Nyepi

Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

22 Maret 2023
Menjadi Minoritas

Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

21 Maret 2023
Marital Rape

Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?

21 Maret 2023
Dinafkahi Istri

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

20 Maret 2023
Rethink Sampah

Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

20 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Peminggiran Peran Perempuan

    Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist