Mubadalah.id – Bagi kita, umat Islam, sumber awal dan utama untuk memutuskan pandangan keagamaan adalah al-Qur’an dan Hadis.
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara Hadis adalah teladan hidup dari wahyu tersebut dalam bentuk perkataan dan perbuatan Nabi SAW.
Memang al-Qur’an dan Hadis, pada praktiknya, bukanlah satu-satunya sumber, karena ulama juga merujuk kepada banyak sumber yang lain. Keduanya mensyaratkan keimanan kepada Nabi Muhammad SAW terlebih dahulu.
Al-Qur’an memang wahyu Allah SWT, tetapi ia hadir kepada kita melalui Nabi Muhammad SAW. Kita harus beriman kepada Nabi SAW sebagai orang yang jujur dan benar-benar telah menerima wahyu, baru bisa menerima al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT kepada kita umat manusia. Dengan keimanan yang sama kepada Nabi SAW, kita pun menerima Hadis atau Sunnah Rasulullah SAW.
Al-Qur’an turun secara berangsur, selama 23 tahun, dalam dua periode Makkah dan Madinah. Tidak secara langsung dalam satu kitab. Sering kali satu ayat, atau sejumlah ayat dalam al-Qur’an, turun kepada Nabi Muhammad SAW untuk merespons kasus tertentu atau menjawab pertanyaan tertentu. Namun tidak semua demikian.
Pada masa Nabi SAW, al-Qur’an sudah ditulis oleh beberapa sahabat, meski belum sistematis. Tidak juga tersusun dalam satu kitab sebagaimana kita kenal sekarang. Tulisan al-Qur’an, saat itu, tidak menjadi rujukan utama. Karena ba sisnya masih berupa hafalan Nabi SAW dan para Sahabat.
Hampir setiap tahun, yaitu di bulan Ramadan, Nab SAW mengulang hafalan di depan malaikat Jibril as, atau Jibril as di hadapan Nabi Saw atau beberapa sahabat di hadapan Nabi SAW.
Tulisan al-Qur’an yang berserakan itu, pada masa Abu Bakar ra, kemudian dikumpulkan dan disalin ke dalam lembaran berupa kulit yang telah disamak.
Mushaf Hafshah
Pengumpulan ini untuk memastikan semua ayat dan surat al-Qur’an sudah tertulis dan memiliki salinan yang utuh, tidak terpencar dan berpisah-pisah. Salinan ini disebut Mushaf Hafshah bint Umar al-Khattab ra, karena disimpan, dijaga, dan dipelihara oleh beliau.
Merujuk kepada Mushaf Hafshah ra ini, Khalifah Ketiga, Utsman bin Affan ra membuat salinan lagi sebanyak 6 naskah. Ada yang ia simpan, dan sisanya ia kirim ke Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah, dan Syam.
Salinan baru ini orang-orang menyebutnya sebagai Mushaf Utsman bin Affan ra atau Mushhaf al-Umm (Kitab Induk). Salinan inilah yang kemudian sampai kepada kita, generasi yang sudah akrab dengan percetakan.
Mushaf Utsman bin Affan ra ini tidak memiliki titik maupun tanda baca. Sehingga masih mungkin kata dan kalimat tertentu membacanya dengan dialek-dialek yang berbeda dari Suku Quraisy yang memang Nabi Saw izinkan.
Oleh Abu Aswad ad-Duali (w. 90 H/708 M), al-Qur’an diberikan titik pada huruf dan harakat atau tanda baca, agar orang-orang yang bukan Arab tidak salah dalam membaca al-Qur’an.
Saat ini, cetakan al-Qur’an sudah lengkap dengan nomor ayat dan surat, tanda berhenti. Bahkan hiasan frame setiap halaman, dan warna-warni tertentu untuk memudahkan para pembaca dan penghafalnya.
Al-Qur’an menamakan sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia (QS. al-Baqarah (2): 185: Ali Imran (3): 4). Terutama bagi mereka yang meyakininya, mau menjaga, dan melakukan kebaikan-kebaikan (QS. al-Baqarah (2): 2 dan al-A’raf (7): 52). []