Mubadalah.id – Salah satu hak anak yang paling dasar dan harus dipenuhi oleh orang tua atau keluarga adalah pendidikan. Karena itu, pendidikan anak menjadi tanggung-jawab kedua orang tua, keluarga, dan juga negara. Sayangnya, dalam konteks tanggung-jawab pendidikan ini, beberapa orang masih memandang pemukulan anak sebagai media yang efektif untuk mendidik anak. Bahkan ada yang menganggap pemukulan sebagai satu-satunya media efektif untuk mendisiplinkan anak. Artikel ini akan membahas hadis tentang pemukulan anak perspektif maqashid syariah.
Ada teks hadits tentang pemukulan anak yang dianggap melegitimasi hal ini. Sebenarnya, hadits tersebut berbicara tentang cara mendidik anak-anak untuk shalat. Teks ini ada dua versi mengenai substansi yang sama. Yang pertama menggunakan kata “addibu”, artinya didiklah, dan versi kedua menggunakan kata “idhribu”, artinya pukullah.
Artinya, memukul (dharb) di sini harus benar-benar dalam konteks untuk mendidik anak (ta’dib). Jika tidak, misalnya karena emosi, atau ternyata memukul itu tidak bisa mendidik, seharusnya bisa beralih pada media lain, selain memukul.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَلِّمُوا صِبْيَانَكُمُ الصَّلَاةَ فِي سَبْعِ سِنِينَ، وَأَدِّبُوهُمْ عَلَيْهَا فِي عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (سنن البيهقي، ج2، ص324، رقم: 3236).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Ajari anak-anak kalian tentang shalat mulai usia tujuh tahun, didiklah mereka tentangnya pada saat usia sepuluh tahun, dan pisahkan ranjang mereka (pada saat usia sepuluh tersebut)”.[1]
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ (سنن أبي داود، رقم: 495).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka karenanya pada saat sudah berusia sepuluh tahun, juga pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tersebut)” (Sunan Abu Dawud, 495).
Interpretasi Fiqh atas Hadis Tentang Pemukulan Anak
Teks yang sementara dipahami sebagai dalil kebolehan memukul anak ini secara literal tidak menyertakan kualifikasi dan syarat-syarat yang jelas tentang memukul anak. Namun dalam fiqh, ia dijelaskan dalam syarat berjenjang, kualifikasi terukur, dan tanggung-jawab dari orang tua dan wali ketika mempraktikkan hal tersebut.
Kalangan ulama kontemporer, yang menjelaskan teks hadits ini, memberikan nuansa yang lebih ketat tentang syarat-syarat ini. Intinya, memukul memang menjadi salah satu metode mendidik harus dipraktikkan dalam konteks mendidik dan pada saat tidak ada lagi motede lain yang efektif. Selama masih ada metode lain, memukul tidak boleh dipilih orang tua maupun wali.
“Pemukulan yang dimaksud hadits adalah yang ringan, tidak menyakiti, tidak di muka, dan tidak menyebabkan luka fisik maupun psikis.” [2] Karena teks ini hadir dalam konteks mendidik dan membiasakan anak berbuat kebaikan, ia sama sekali tidak boleh digunakan untuk meligitimasi kekerasan terhadap anak. Kekerasan domestik terhadap anak, yang tidak terkait dengan konteks mendidik, apalagi semena-mena, adalah diharamkan Islam.[3]
Memahami Hadis Tentang Pemukulan Anak: Inspirasi dari Ibn Asyur
Ketika para ulama, baik klasik maupun kontemporer, mengaitkan hal tersebut dengan isu pemukulan istri yang harus terukur dan berjenjang, maka pemukulan anak juga bisa didiskusikan ulang dengan pendekatan yang sama dalam isu pemukulan istri. Salah satu ulama kontemporer yang mengintepretasikan ulang isu pemukulan istri adalah Ibn Asyur (w. 1973), seorang ulama kharismatik dari Tunisia
Dengan menggunakan basis kerangka Maqashid Syariah, Ibn Asyur memandang pemukulan istri bisa dilarang melalui kebijakan pemerintah. Dalam logika fiqhnya, pemukulan itu metode untuk memperbaiki relasi pasutri, sementara praktiknya banyak suami melakukan itu untuk melampiaskan kemarahan, sehingga menambah konflik semakin meruncing.
Karena itu, melarang pemukulan adalah justru untuk menghindari suami melakukan kemungkaran dan untuk melindungi istri dari praktik buruk pemukulan yang tidak terkontrol.[4]
Bukankah Nabi Saw, dalam berbagai hadits sahih, disebutkan tidak pernah melakukan pemukulan sama sekali? baik pemukulan kepada perempuan, tidak juga kepada pelayan beliau (Sahih Muslim, no. 6195). Padahal pelayan Nabi Saw adalah Anas bin Malik ra. Pada saat dia diminta kedua orang tuanya untuk melayani Nabi Saw yang baru tiba di Madinah, Anas ra berusia sepuluh tahun.
Nabi Saw juga banyak sekali berinteraksi dengan anak-anak, dan tidak pernah terekam berkata kasar kepada mereka, mengancam, atau merendahkan, apalagi memukul. Tidakkah teks-teks hadits tentang interaksi Nabi Saw ini, yang jauh lebih banyak dan lebih otoritatif dibanding satu teks pemukulan di atas? Bisakah teks-teks hadits ini, bersama kerangka Maqashid Syariah meletakkan kembali teks hadits pemukulan anak untuk kemaslahatan terbaik anak?
Interpretasi Hadis tentang Pemukulan Anak berbasis Maqashid Syariah
Isu pemukulan anak, karena itu, bisa didekati dengan hal yang sama sebagaimana pemukulan istri yang ditawarkan Ibn Asyur. Baik dengan kerangka Maqashid Syariah untuk kemaslahatan terbaik anak, maupun dengan basis hadits-hadits kasih sayang, terutama tentang pentingnya kesabaran, kelembutan, dan ketenangan dalam berinteraksi dengan anak (Seperti (Sahih Bukhari, no. 6063; dan Sunan Abu Dawud, no. 4809).
Usia anak adalah masa tumbuh kembang untuk menjadi manusia dewasa yang utuh dan bertanggung-jawab. Dalam masa ini, kemaslahatan anak menjadi prioritas, karena itu perspektif kasih sayang menjadi landasan utama dalam semua fase pendidikan anak yang tumbuh kembang menjadi dewasa. Kemaslahatan anak ini bisa diwujudkan dengan kerangka Maqashid Syariah.
Yaitu, untuk melindungi nyawa dan jiwa anak (hifz an-nafs), melindungi akal dan pengetahuannya (hifz al-‘aql), melindungi harta dan sumber daya ekonominya (hifz al-mal), melindungi fungsi reproduksinya (hifz an-nasl), dan melindungi nalar spiritualnya (hifz ad-din). Teks hadits pemukulan pada Sunan Abu Dawud di atas bisa diintepretasikan ulang dengan kerangka Maqashid Syari’ah ini.
Dalam kerangka Maqashid Syariah ini, teks hadits Abu Dawud di atas bisa diinterpretasikan sebagai sanksi tegas yang mendidik atas pelanggaran yang dilakukan seorang anak. Sanksi ini harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan dan diselaraskan dengan usia tumbuh kembang anak. Misalnya, bentuk sanksinya adalah dijauhkan dari mainan, atau dikurangi jam main yang biasa dimiliki sebelumnya, atau dengan melakukan kerja-kerja sosial untuk kepentingan keluarga dan masyarakat.
Dalam kerangka Maqashid Syariah, sanksi ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran anak tentang pentingnya komitmen pada aturan main atau kesepakatan. Sanksi ini harus lebih tegas lagi, jika berhadapan dengan anak-anak pelaku kejahatan yang merusak secara sosial.
Seperti disinyalir dalam berbagai berita, semua kejahatan yang dilakukan orang dewasa, juga dilakukan anak di bawah umur. Mulai dari mencuri, berbuat cabul, melecehkan secara seksual, bahkan memperkosa dan membunuh.
Dalam konteks mendidik mereka agar tidak menjadi pelaku kejahatan, atau agar tidak mengulangi perbuatan kriminal, sanksi tegas itu diberlakukan. Islam, sebagaimana ditegaskan hadits Nabi Saw (Sahih Bukhari, no. 2484), tidak hanya menganjurkan perlindungan manusia agar tidak menjadi korban kezaliman, tetapi juga dilindungi agar tidak menjadi pelaku.
Pada konteks perlindungan seorang anak dari kemungkinan menjadi pelaku kejahatan, atau mengulangi kejahatan yang dilakukannya, teks hadits pemukulan anak itu bisa dirujuk dan dimaknai ulang yang lebih relevan dan kontekstual.
Demikian penjelasan terkait hadis tentang pemukulan anak dalam perspektif maqashid syariah. Semoga bermanfaat. []
[1] Ahmad bin Husain al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, editor: Muhammad Abd al-Qadir ‘Atha (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), vol. 2, hal. 324, no. hadits: 3236.
[2] International Islamic Center for Population Studies and Research al-Azhar University, The Islamic Perspective on Protecting Children from Violence and Harmful Practices, (Cario: UNICEF, 2016), hal. 81.
[3] Lihat misalnya: Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyat al-Awlad, vol. 1, hal. 60-65; asy-Syantut, Tarbiyat al-Awlad, hal. 66-69; International Islamic Center for Population Studies and Research al-Azhar University, The Islamic Perspective on Protecting Children from Violence and Harmful Practices, hal. 76-81.
[4] Lihat: Muhammad ath-Thahir bin Asyur, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, (Tunis: Dar Sahnun, 1997), juz 5, hal. 44. Untuk analisis lebih lengkap dengan kerangka Maqashid Syari’ah Ibn Asyur bisa dilihat di: Ismail al-Hasani, Nazhariyat al-Maqashid ‘ind Ibn Asyur, (Virginia: IIIT, 1995), hal. 207-210.