• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rujukan Hadits

Hadis tentang Pemukulan Anak Perspektif Maqashid Syariah

Usia anak adalah masa tumbuh kembang untuk menjadi manusia dewasa yang utuh dan bertanggung-jawab. Dalam masa ini, kemaslahatan anak menjadi prioritas, karena itu perspektif kasih sayang menjadi landasan utama dalam semua fase pendidikan anak yang tumbuh kembang menjadi dewasa

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
08/11/2022
in Hadits, Rujukan
0
Hadits tentang Pemukulan Anak

Hadits tentang pemukulan anak sebenarnya berbicara tentang cara mendidik anak untuk shalat/

449
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Salah satu hak anak yang paling dasar dan harus dipenuhi oleh orang tua atau keluarga adalah pendidikan. Karena itu, pendidikan anak menjadi tanggung-jawab kedua orang tua, keluarga, dan juga negara. Sayangnya, dalam konteks tanggung-jawab pendidikan ini, beberapa orang masih memandang pemukulan anak sebagai media yang efektif untuk mendidik anak. Bahkan ada yang menganggap pemukulan sebagai satu-satunya media efektif untuk mendisiplinkan anak. Artikel ini akan membahas hadis tentang pemukulan anak perspektif maqashid syariah.

Ada teks hadits tentang pemukulan anak yang dianggap melegitimasi hal ini. Sebenarnya, hadits tersebut berbicara tentang cara mendidik anak-anak untuk shalat. Teks ini ada dua versi mengenai substansi yang sama. Yang pertama menggunakan kata “addibu”, artinya didiklah, dan versi kedua menggunakan kata “idhribu”, artinya pukullah.

Artinya, memukul (dharb) di sini harus benar-benar dalam konteks untuk mendidik anak (ta’dib). Jika tidak, misalnya karena emosi, atau ternyata memukul itu tidak bisa mendidik, seharusnya bisa beralih pada media lain, selain memukul.

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَلِّمُوا صِبْيَانَكُمُ الصَّلَاةَ فِي سَبْعِ سِنِينَ، وَأَدِّبُوهُمْ عَلَيْهَا فِي عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (سنن البيهقي، ج2، ص324، رقم: 3236).

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Ajari anak-anak kalian tentang shalat mulai usia tujuh tahun, didiklah mereka tentangnya pada saat usia sepuluh tahun, dan pisahkan ranjang mereka (pada saat usia sepuluh tersebut)”.[1]

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ (سنن أبي داود، رقم: 495).

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka karenanya pada saat sudah berusia sepuluh tahun, juga pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tersebut)” (Sunan Abu Dawud, 495).

Interpretasi Fiqh atas Hadis Tentang Pemukulan Anak

Teks yang sementara dipahami sebagai dalil kebolehan memukul anak ini secara literal tidak menyertakan kualifikasi dan syarat-syarat yang jelas tentang memukul anak. Namun dalam fiqh, ia dijelaskan dalam syarat berjenjang, kualifikasi terukur, dan tanggung-jawab dari orang tua dan wali ketika mempraktikkan hal tersebut.

Kalangan ulama kontemporer, yang menjelaskan teks hadits ini, memberikan nuansa yang lebih ketat tentang syarat-syarat ini. Intinya, memukul memang menjadi salah satu metode mendidik harus dipraktikkan dalam konteks mendidik dan pada saat tidak ada lagi motede lain yang efektif. Selama masih ada metode lain, memukul tidak boleh dipilih orang tua maupun wali.

“Pemukulan yang dimaksud hadits adalah yang ringan, tidak menyakiti, tidak di muka, dan tidak menyebabkan luka fisik maupun psikis.” [2] Karena teks ini hadir dalam konteks mendidik dan membiasakan anak berbuat kebaikan, ia sama sekali tidak boleh digunakan untuk meligitimasi kekerasan terhadap anak. Kekerasan domestik terhadap anak, yang tidak terkait dengan konteks mendidik, apalagi semena-mena, adalah diharamkan Islam.[3]

Memahami Hadis Tentang Pemukulan Anak: Inspirasi dari Ibn Asyur 

Ketika para ulama, baik klasik maupun kontemporer, mengaitkan hal tersebut dengan isu pemukulan istri yang harus terukur dan berjenjang, maka pemukulan anak juga bisa didiskusikan ulang dengan pendekatan yang sama dalam isu pemukulan istri. Salah satu ulama kontemporer yang mengintepretasikan ulang isu pemukulan istri adalah Ibn Asyur (w. 1973), seorang ulama kharismatik dari Tunisia

Dengan menggunakan basis kerangka Maqashid Syariah, Ibn Asyur memandang pemukulan istri bisa dilarang melalui kebijakan pemerintah. Dalam logika fiqhnya, pemukulan itu metode untuk memperbaiki relasi pasutri, sementara praktiknya banyak suami melakukan itu untuk melampiaskan kemarahan, sehingga menambah konflik semakin meruncing.

Karena itu, melarang pemukulan adalah justru untuk menghindari suami melakukan kemungkaran dan untuk melindungi istri dari praktik buruk pemukulan yang tidak terkontrol.[4]

Bukankah Nabi Saw, dalam berbagai hadits sahih, disebutkan tidak pernah melakukan pemukulan sama sekali? baik pemukulan kepada perempuan, tidak juga kepada pelayan beliau (Sahih Muslim, no. 6195). Padahal pelayan Nabi Saw adalah Anas bin Malik ra. Pada saat dia diminta kedua orang tuanya untuk melayani Nabi Saw yang baru tiba di Madinah, Anas ra berusia sepuluh tahun.

Nabi Saw juga banyak sekali berinteraksi dengan anak-anak, dan tidak pernah terekam berkata kasar kepada mereka, mengancam, atau merendahkan, apalagi memukul. Tidakkah teks-teks hadits tentang interaksi Nabi Saw ini, yang jauh lebih banyak dan lebih otoritatif dibanding satu teks pemukulan di atas? Bisakah teks-teks hadits ini, bersama kerangka Maqashid Syariah meletakkan kembali teks hadits pemukulan anak untuk kemaslahatan terbaik anak?

Interpretasi Hadis tentang Pemukulan Anak berbasis Maqashid Syariah

Isu pemukulan anak, karena itu, bisa didekati dengan hal yang sama sebagaimana pemukulan istri yang ditawarkan Ibn Asyur. Baik dengan kerangka Maqashid Syariah untuk kemaslahatan terbaik anak, maupun dengan basis hadits-hadits kasih sayang, terutama tentang pentingnya kesabaran, kelembutan, dan ketenangan dalam berinteraksi dengan anak (Seperti (Sahih Bukhari, no. 6063; dan Sunan Abu Dawud, no. 4809).

Usia anak adalah masa tumbuh kembang untuk menjadi manusia dewasa yang utuh dan bertanggung-jawab. Dalam masa ini, kemaslahatan anak menjadi prioritas, karena itu perspektif kasih sayang menjadi landasan utama dalam semua fase pendidikan anak yang tumbuh kembang menjadi dewasa. Kemaslahatan anak ini bisa diwujudkan dengan kerangka Maqashid Syariah.

Yaitu, untuk melindungi nyawa dan jiwa anak (hifz an-nafs), melindungi akal dan pengetahuannya (hifz al-‘aql), melindungi harta dan sumber daya ekonominya (hifz al-mal), melindungi fungsi reproduksinya (hifz an-nasl), dan melindungi nalar spiritualnya (hifz ad-din). Teks hadits pemukulan pada Sunan Abu Dawud di atas bisa diintepretasikan ulang dengan kerangka Maqashid Syari’ah ini.

Dalam kerangka Maqashid Syariah ini, teks hadits Abu Dawud di atas bisa diinterpretasikan sebagai sanksi tegas yang mendidik atas pelanggaran yang dilakukan seorang anak. Sanksi ini harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan dan diselaraskan dengan usia tumbuh kembang anak. Misalnya, bentuk sanksinya adalah dijauhkan dari mainan, atau dikurangi jam main yang biasa dimiliki sebelumnya, atau dengan melakukan kerja-kerja sosial untuk kepentingan keluarga dan masyarakat.

Dalam kerangka Maqashid Syariah, sanksi ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran anak tentang pentingnya komitmen pada aturan main atau kesepakatan. Sanksi ini harus lebih tegas lagi, jika berhadapan dengan anak-anak pelaku kejahatan yang merusak secara sosial.

Seperti disinyalir dalam berbagai berita, semua kejahatan yang dilakukan orang dewasa, juga dilakukan anak di bawah umur. Mulai dari mencuri, berbuat cabul, melecehkan secara seksual, bahkan memperkosa dan membunuh.

Dalam konteks mendidik mereka agar tidak menjadi pelaku kejahatan, atau agar tidak mengulangi perbuatan kriminal, sanksi tegas itu diberlakukan. Islam, sebagaimana ditegaskan hadits Nabi Saw (Sahih Bukhari, no. 2484), tidak hanya menganjurkan perlindungan manusia agar tidak menjadi korban kezaliman, tetapi juga dilindungi agar tidak menjadi pelaku.

Pada konteks perlindungan seorang anak dari kemungkinan menjadi pelaku kejahatan, atau mengulangi kejahatan yang dilakukannya, teks hadits pemukulan anak itu bisa dirujuk dan dimaknai ulang yang lebih relevan dan kontekstual.

Demikian penjelasan terkait hadis tentang pemukulan anak  dalam perspektif maqashid syariah. Semoga bermanfaat. []

[1] Ahmad bin Husain al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, editor: Muhammad Abd al-Qadir ‘Atha (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), vol. 2, hal. 324, no. hadits: 3236.

[2] International Islamic Center for Population Studies and Research al-Azhar University, The Islamic Perspective on Protecting Children from Violence and Harmful Practices, (Cario: UNICEF, 2016), hal. 81.

[3] Lihat misalnya: Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyat al-Awlad, vol. 1, hal. 60-65; asy-Syantut, Tarbiyat al-Awlad, hal. 66-69; International Islamic Center for Population Studies and Research al-Azhar University, The Islamic Perspective on Protecting Children from Violence and Harmful Practices, hal. 76-81.

[4] Lihat: Muhammad ath-Thahir bin Asyur, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, (Tunis: Dar Sahnun, 1997), juz 5, hal. 44. Untuk analisis lebih lengkap dengan kerangka Maqashid Syari’ah Ibn Asyur bisa dilihat di: Ismail al-Hasani, Nazhariyat al-Maqashid ‘ind Ibn Asyur, (Virginia: IIIT, 1995), hal. 207-210.

Tags: anakHaditskeluargaorang tuaParenting IslamiPemukulan
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Idul Fitri

Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

30 Maret 2025
Idul Fitri

Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

30 Maret 2025
Membayar Zakat Fitrah

Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

26 Maret 2025
Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

18 Maret 2025
kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

15 April 2024
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version