• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Harapan pada Politik Domestik dan Iklim Indonesia di Tengah Hasil COP29

Faktanya kita tidak memiliki kekuatan apa-apa selain sistem politik internal itu sendiri dalam melindungi bumi

Alfiatul Khairiyah Alfiatul Khairiyah
02/12/2024
in Publik
0
COP 29

COP 29

994
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id– Negara-negara berkembang kini memiliki tantangan baru dalam memperbaiki dampak krisis iklim di tengah minimnya pendanaan berdasarkan kesepakatan COP29, termasuk Indonesia. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai perubahan iklim telah usai. Konferensi telah menghasilkan kesepakatan meski mengecewakan banyak negara berkembang.

Pasalnya, penyaluran pendanaan untuk kerugian oleh negara maju tidak mencapai target dan tidak mencukupi. Target dana baru iklim yang diajukan forum senilai 1,3 triliun dolar AS dan yang  negara-negara maju hanya menyepakati jumlah sebesar 300 miliar dolar AS  per tahun hingga 2035. Padahal, tujuan penggunaan dana tersebut untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang juga disebabkan oleh negara-negara maju.

Transformasi penggunaan energi menuju energi terbarukan memerlukan dana yang tidak sedikit. Jika tidak dengan dana hibah, kemana larinya negara berkembang kecuali pada bank internasional dengan skema utang. COP29 merupakan konferensi yang dinanti khususnya oleh negara-negara berkembang dengan misi prihal pendanaan baru iklim.

Namun, konferensi dinilai tidak inklusif oleh negara-negara kecil yang terkena dampak signifikan dari perubahan iklim, seperti potensi tenggelamnya negara mereka, karena suara mereka tidak didengar. Terlebih lagi, para pemimimpin G20 dalam konferensi tidak membahas dana aksi iklim dan peralihan energi. Mereka hanya membahas pengurangan subsidi pada energi fosil alih-alih mengurangi penggunaannya.

Komitmen negara maju yang minim dan negara berkembang yang tengah menanggung beban iklim yang tinggi, tentu akan semakin melebarkan jarak antara negara maju dan berkembang. Meski ada tuntutan kepada China dan Arab Saudi sebagai negara yang juga memproduksi emisi terbesar untuk membayar utang iklim. Nyatanya, hal tersebut menunjukkan bahwa antar negara saling lempar tanggung jawab terhadap isu iklim.

Baca Juga:

Peran Negara Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

Jangan Rusak Lingkungan!

Pesan Al-Qur’an: Jangan Merusak Lingkungan

Perempuan dan Anak, Paling terdampak Krisis Air Bersih

Kelindan ekonomi dan politk global menghambat negara-negara dunia dalam menyelesaikan permasalahan iklim secara serius. Hal ini, tentu akan berpengaruh terhadap Indonesia sebagai salah satu negara berkembang penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Secara wilayah, Indonesia juga berpotensi terkena dampak signifikan dari perubahan iklim yang akan mengalami kesulitan.

Iklim, Kerentanan, dan Perjalanan Indonesia

Bersamaan dengan itu, perubahan suhu hari ini tengah mencapai kondisi paling tinggi selama satu dekade terakhir. Emisi karbon dari bahan bakar fosil juga diperkirakan akan meningkat pada tahun ini. Hal ini disebabkan oleh fenomena kekeringan dan kebakaran hutan yang masif terjadi pada akhir tahun 2023 hingga 2024. Kondisi ini tentu terjadi karena berkembangnya bahan bakar fosil, industri ekstraktif, dan perbuatan manusia lainnya.

Padahal, permasalahan iklim yang semakin buruk ini berkaitan erat dengan risiko, seperti kerentanan manusia, baik ekonomi, psikis, kesehatan, dan lainnya hingga bencana alam. Pada dasarnya, terdapat interseksi antara kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Karenanya, isu iklim adalah isu keadilan sosial yang menyorot kebijakan, baik politik dan ekonomi, yang tak boleh kita tinggalkan.

Sedangkan, berdasarkan track record pembangunan Indonesia, kebijakan-kebijakan yang ada masih bersifat eksploitatif. Mulai dari rezim Soeharto dengan kebijakan kehutanannya yang membuka terjadinya penambangan hutan secara tidak berkelanjutan. Tercantum dalam UU tahun 1967 mengenai penanaman modal asing, ketentuan pokok pertambangan, dan pemanfaatan hutan. Hal ini meningkatkan ekspor kayu yang cukup tinggi pada masa itu.

Hari ini, pengesahan UU Minerba pada tahun 2020 yang sarat akan kepentingan ekonomi. Kebijakan yang memberikan jalan bagi pengusaha-pengusaha untuk melakukan penambangan secara eksploitatif dengan meringankan sanksi, memudahkan perizinan, dan terbatasnya keterlibatan masyarakat.

Sebagai negara agraris yang bertumpu pada hasil alam baik pertanian dan kelautan, masyarakat Indonesia telah terhimpit oleh praktik-praktik ekspoitatif yang merusak lingkungan. Terkhusus mereka yang bertumpu pada bidang pertanian telah kehilangan mata pencahariannya, pendapatannya menurun, dan rentan dalam kepastian ekonomi.

Akibatnya, terjadi kemiskinan sebab terbatasnya akses, kontrol, dan manfaat yang mereka peroleh dari sumber daya alam. Kemiskinan juga menyebabkan terbatasnya akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan. Belum lagi isu polusi yang juga secara langsung menyebabkan risiko menurunnya kesehatan masyarakat.

Politik di Indonesia setelah COP 29

Dalam COP 29, Indonesia menawarkan investasi hijau yang akan membangun pembangkit listrik terbarukan berskala besar dengan membawa undangan kepada investor asing untuk membiayai proyek raksasa tersebut. Menurut perwakilan Indonesia, Hasim, Indonesia berkomitmen untuk memangkas emisi karbon dengan mengganti pembangkit energi listrik batu bara ke energi terbarukan. Langkah awal yang perlu pembuktian.

Setelah hasil Konferensi Para Pihak tentang Lingkungan di Azerbaijan tidak dapat kita harapkan, yang perlu kita ingat adalah strategi politik Indonesia itu sendiri. Bahwa kondisi iklim juga merupakan hasil dari interseksi antara kondisi politik domestik dan sistem internal negara Indonesia itu sendiri.

Di mana, hal ini bisa kita mulai dari sistem politik antar wilayah yang saling mendukung untuk menyelamatkan lingkungan. Kepentingan oligarki sebelumnya harus kita tekan sedemikian rupa untuk membangun sistem politik internal yang ramah lingkungan.

Setelah momen pilkada ini selesai, dan faktanya kita tidak memiliki kekuatan apa-apa selain sistem politik internal itu sendiri dalam melindungi bumi, maka ini menjadi tugas pemimpin terpilih. Jika selama ini isu lingkungan sering luput dari pembahasan politik bahkan nyaris tidak muncul, belum lah terlambat.

Masa jabatan pemimpin daerah masih akan dimulai. Dan pimpinan tertinggi, presiden, perlu memulainya. Memaksimalkan pendanaan COP 29 untuk mengurangi emisi. Negosiasi politik domestik merupakan kekuatan dalam membangun komitmen terhadap lingkungan dan menjadi langkah awal menyelamatkan masyarakat Indonesia. []

Tags: cop 29LingkunganPilkadaPilkada 2024politik domestik
Alfiatul Khairiyah

Alfiatul Khairiyah

Founder Pesantren Perempuan dan Mahasiswa Sosiologi Universitas Gadjah Mada

Terkait Posts

Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB dalam Pandangan Islam
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version