Mubadalah.id – Valuing water (menghargai air) adalah tema Hari Air Internasional tahun 2021. Dari sisi pemilihan tema, mengisyaratkan manusia telah banyak memberi pengaruh terhadap kualitas air di bumi. Pembangunan, pariwisata, perkebunan sawit, pertanian komersil, tata ruang kota, merupakan aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap kualitas dan kedaulatan air.
Jika menilik jauh ke dalam, masyarakat adat memiliki cara tradisional untuk menjaga kualitas air sebagaimana dilakukan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Atau malah masyarakat adat yang dirugikan dengan aktivitas ekonomi destruktif tambang batubara yang mencemari air, seperti yang terjadi di sungai Santan, Kutai Kartanegara. Jika air bersih sulit ditemui, tidak menutup kemungkinan melumpuhkan urat nadi perekonomian dan mengancam hak kesehatan masyarakat adat.
Dengan dideklarasikannya hak masyarakat adat pada 2007 oleh PBB (UNDRIP, United Nations Declaration on the Right of Ideginous Peoples), budaya, identitas, bahasa, dan tanah adat diharapkan tetap lestari. Berkaitan dengan air, adalah elemen yang menghubungkan masyarakat adat dengan seluk-beluk kebudyaan mereka. Dengan demikian, jika kedaulatan atas air dirampas, maka dapat dipastikan masyarakat adat akan kehilangaan tradisinya. Dan bagi masyarakat yang terkapitalisasi, memori kualitas air semakin hilang dan mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan itu bisa kita saksikan dan rasakan di daerah yang menjorok ke perkotaan serta pengaruhnya ke pedalaman. Maka, siapa yang menguasai air akan mampu mengarahkan pola ekonomi dan konsumsi masyarakat.
Pengalaman dengan Air
Persoalan air di Hari Air Intrenasional ini menjadi serius, sebab modernisasi membuang jauh-jauh perspektif nenek moyang kita dalam melihat air. Seperti masifnya pembangunan hotel di Yogyakarta; meski budaya Jawa dipegang erat bahkan di-Undang-kan, tapi cepat-cepat dilepas ketika pemerintah hendak menata bisnis perhotelan.
Tahun pertama di Yogyakarta, pasokan air saya harus bersaing dengan hotel di belakang kontrakan. Secepat apapun tangan saya membuka kran air, tidak pernah bisa menandingi kecepatan tangan pemilik hotel. Meski air sempat mengalir, tapi lumpur tak pernah rela cerai dengan air. Alhasil, saya masih bisa mandi walaupun dengan air bercampur lumpur dan sumpah serapah.
Saya rasa, persoalan air berawal dari cara pandang kita terhadapnya. Menganggap air adalah sumber daya yang tak terbatas, bisa diperbarui, dan dapat digunakan sepuas-puasnya. Ini merupakan negasi dari tema kali ini: valuing water, yaitu sikap menghambur-hamburkan dan berpotensi merusak. Akibatnya, kita tidak memberi ruang untuk menumbuhkan rasa terhadap air bahwa ia perlu dihargai, dijaga, dan dirawat. Dengan kata lain, air adalah subjek dalam ekosistem kita yang menjadi korban objektifikasi.
Ketika ia adalah subjek, selemah apapun pasti memiliki kemampuan untuk membalas atas perlakuan buruk terhadapnya. Fenomena kekeringan dan kelangkaan air bersih adalah beberapa bentuk respon air. Ia ingin mengganjar sifat-sifat angkuh manusia. Tapi, apakah air kotor yang mengguyur tubuh saya selama satu tahun di Yogyakarta menandakan saya memiliki sifat destruktif terhadap air?
Pola Konsumsi
Rasanya tidak adil jika men-generalisir semua manusia berlaku rusak terhadap air. Lebih tepatnya ada sebuah sistem yang memang berusaha mewacanakan secara masif bahwa air tidak bisa habis dan bisa memperbarui diri. Sedangkan di saat yang bersamaan, ada yang gencar memprivatisasi dan mengkomersilkan air. Hal ini yang memungkinkan segelintir orang terselamatkan dan banyak orang lain terdampak oleh kelangkaan air bersih.
Ketika merasa terancam, masyarakat akan menyelamatkan diri dari krisis air meski tawaran keselamatan itu datang dari perusahaan air yang sifatnya komersil. Hal itu tidak bisa dihindarkan karena air adalah kebutuhan vital manusia. Masyarakat dipaksa mengeluarkan biaya untuk air bersih yang semestinya adalah haknya.
Nasib air semakin kontras dengan tema Hari Air Internasional yakni valuing water, sebab pasar melihatnya sebagai komoditas. Dan itu yang dilakukan oleh Nestle di Amerika: melihat krisis sebagai peluang bisnis. Sedangkan di Indonesia, produksi air minum dalam kemasan (AMDK) mencapai 9,47 miliar liter, pada 2009 10,9 miliar liter, dan hingga 2014 mencapai 14,90 miliar liter dengan rata-rata peningkaran produksi 7,9% pertahun. Pasar minuman kemasan itu didominasi oleh Danone-Aqua Groub dengan menyumbang 58,1% dari total produk AMDK (tirto.id).
Kita perlu melihat DKI Jakarta, yang sejak 1998 pengelolaan air dipegang oleh dua perusahaan swasta: PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra. Sedangkan Pemerintah Daerah mengalami kerugian Rp. 1,4 Triliun hingga tahun 2015 (kontrak diteken sampai 2023) karena harus membayar kewajiban (shortfall) kepada kedua perusahaan swasta tersebut. Sementara masyarakat Jakarta harus menanggung kerugian dengan mengeluarkan biaya air minum setiap bulannya yang mencapai Rp. 400.000 akibat privatisasi (bbc.com).
Di saat banyak daerah dan kelompok masyarakat terdampak kesulitan air bersih, perusahaan air swasta datang bak pahlawan. Mereka menawarkan air bersih yang praktis yang bisa didapat hanya dengan “sedikit” biaya, seperti produk terbaru Le Minerale yang menawarkan kepraktisan. Padahal air sudah seharusnya dikelola untuk kemakmuran rakyat, dan negara tidak melimpahkannya kepada swasta jika benar-benar mempedulikan hak atas air rakyatnya.
Sekarang semakin menjamur masyarakat yang mengkonsumsi air galon demi kepraktisan. Tapi itu tidak menghilangkan fakta bahwa privatisasi air berusaha mengalihkan pola konsumsi air masyarakat. Saat ini dua tetangga saya saling bersaing dengan produk yang berbeda: air galon dan air jerigen. Entah siapa yang sukses, yang pasti tidak ada yang menjamin tidak ada konflik horizontal akibat pola konsumsi. Sedangkan air kemasan terus dipromosikan sebagai jamuan saat lebaran nanti, dan tidak ada yang menjamin limbah AMDK dapat teratasi. []