Mubadalah.id – Dzulhijjah menjadi bulan besar bagi umat Islam. Sebab di bulan inilah dilaksanakannya ibadah haji dan ibadah qurban di Hari Raya Idul Adha. Begitu banyak kemulian Dzulhijjah hingga umat islam berlomba-lomba untuk mencari sebanyak-banyaknya pahala.
Di bulan ini pula, kita akan sering mendengar kata “Arafah”, karena berbagai ibadah terkait dengan kata tersebut, misalnya: wukuf di Arafah, atau puasa Arafah. Lalu, apa sebenarnya Hari Arafah itu?
Berdasarkan Tarikh al-Hajj, Arafat merupakan sebuah daerah padang sahara (Shara’) yang terletak di timur Mekkah. Kira-kira berjarak 21 kilometer dari Mekkah dengan luas 8 kilometer persegi, terdapat di antara jalan Thaif dan Mekkah.
Sejarah penamaan “Arafah” ini berdasarkan pada beberapa pendapat, di antaranya dalam Tafsir Ibnu Katsir. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib ceritakan, bahwasanya Allah mengutus Malaikat Jibril kepada Nabi Ibrahim.
Kemudian Malaikat Jibril melakukan haji bersama Nabi Ibrahim, setelah sampai ke tempat tersebut (Arafah), Nabi Ibrahim berkata “Araftu” (Aku Tahu), karena sebelumnya Nabi Ibrahim sudah pernah mendatangi tempat tersebut. Di balik penamaan tersebut, nyatanya ada berbagi peristiwa lintas zaman yang terjadi di padang Arafah.
Pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa di bumi
Setelah peristiwa memakan buah Khuldi, Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke bumi dan terpisah jarak yang membutuhhkan waktu bertahun-tahun untuk akhirnya bertemu kembali. Menurut sejarah, Nabi Adam turun di India. Sedangkan Hawa diturunkan di Irak hingga keduanya bertemu lagi di Jabal Rahmah yang terletak di Arafah setelah melakukan pertaubatan.
Doa taubat Nabi Adam dan Siti Hawa ini diabadikan di dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 23, yang artinya: “Keduanya berkata, Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi” (QS Al A’raf : 23).
Petunjuk dari Mimpi Nabi Ibrahim
Seperti yang kita tahu bahwa Nabi Ibrahim begitu menyayangi putranya, yakni Nabi Ismail. Di mana ia telah menantikan kelahirannya selama bertahun-tahun. Allah ingin menguji keimanan Nabi Ibrahim dengan sesuatu yang begitu ia sayangi, semata-mata agar Nabi Ibrahim tidak lupa bahwa segala yang ada di dunia ini hanyalah titipanNya. Termasuk putranya, Ismail.
Dalam kitab ‘Umdah al-Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari’, setelah peristiwa mimpi yang Nabi Ibrahim alami untuk menyembelih Ismail, beliau tetap masih ragu (tarwiyah) kemudian yakin setelah adanya wahyu pada malam arafah.
Tempat Wukuf Sebagai Inti dari Ibadah Haji
Wukuf berasal dari kata Waqafa-Yaqifu-wuqufan yang bermakna berhenti, diam tanpa bergerak. Wukuf saat haji dilaksanakan pada waktu di antara setelah matahari tergelincir ke barat pada 9 Dzulhijah sampai pada terbit fajar di malam 10 Dzulhijah. Berdiam diri saat wukuf tersebut menjadi momentum untuk muhasabah diri, merenung, berintrospeksi dan bertaubat kepada-Nya.
Wukuf mengisyaratkan pentingnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan duniawi. Berhenti dari kerutinan dan aktivitas, berhenti sejenak agar dapat berpikir, menimbang, dan merencanakan agenda kehidupan jangka panjang. Padang Arafah juga menggambarkan bagaimana umat manusia nanti di padang Mahsyar berkumpul dalam status yang sama sebagai hamba Allah.
Tak ada lagi kesombongan, tak ada lagi status sosial. Di Padang ‘Arafah itu, manusia insaf dan menyadari dengan sesungguhnya akan betapa kecilnya dia dan betapa agungnya Allah. “Haji itu adalah Wukuf di ‘Arafah, maka barangsiapa yang mengetahui (wukuf di ‘Arafah) pada malam ‘Arafah, hingga menjelang terbitnya Fajar dari malam berkumpulnya para jama’ah, maka sungguh hajinya telah sempurna” (HR. Abu Daud).
Khutbah terakhir Rasulullah saat haji Wada
Rasulullah menyampaikan khutbahnya saat haji wada’ pada tanggal 9 Dzulhijjah Tahun ke-10 Hijrah. Khutbah tersebut kita kenal sebagai “deklarasi Arafah” menjadi khutbah perpisahan sebelum beliau meninggal dunia.
Dalam khutbah tersebut, Rasulullah sangat menekankan nilai-nilai kemanusiaan yang selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) masa kini. Jadi jauh sebelum deklarasi HAM manapun ada, Islam sudah mengenal HAM sebagaimana tersurat dalam QS.Al-Maidah ayat 32.
Keistimewaan Hari Arafah
Hari Arafah yang jatuh tiap tanggal 9 Dzulhijjah memiliki begitu banyak keistimewaan sebagaimana penjelasan dalam banyak hadist. Aisyah RA berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tiada hari yang lebih banyak Allah membebaskan seorang hamba dari neraka selain dari hari Arafah…. (HR Muslim dari ‘Aisyah RA).
Begitu pula dalam hadist lain, “Tidak ada hari di mana Allâh azza wajalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348).
Pada hari Arafah kita disunnahkan untuk memperbanyak doa, dan juga menjalankan puasa arafah bagi yang tidak sedang menjalankan ibadah haji, sebagaimana hadis Rasulullah, “puasa di hari ‘arafah menghapuskan (dosa kecil) yang dilakukan tahun yang lalu dan tahun yang berjalan”. (HR.Muslim).
Imam Malik menganjurkan bagi yang melaksanakan ibadah haji untuk tidak berpuasa. Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa beliau lebih senang bagi yang melaksanakan ibadah haji untuk tidak berpuasa. Anjuran ini agar yang menjalani ibadah haji dapat berkonsentrasi dalam berdoa. Karena wukuf di Arafah tentunya membutuhkan energi, kekuatan, dan ketekunan yang luar biasa. []