Mubadalah.id – Bersyukurlah kita yang masih bisa memeriahkan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-78. Antusiasme menyambut hari Merdeka selalu kita nantikan bahkan sejak awal Bulan Agustus. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita berharap makna merdeka bukan hanya ucapan belaka. Namun kita wujudkan dengan tindakan nyata.
Salah satu doa tersebut adalah merdeka dari kekerasan dan diskriminasi, termasuk kepada penyandang disabilitas. Kita tentu mengingat salah satu cita-cita nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal ini sangat berkaitan dengan pendidikan, bukan? Nelson Mandela, seorang mantan presiden Afrika Selatan pernah berkata “Education is the best weapon to change the world.” Artinya bahwa pendidikan adalah senjata terbaik untuk mengubah dunia menjadi lebih baik.
Kita hidup di zaman yang semakin memudahkan kita untuk belajar di manapun dan kapanpun. Tetapi, pernahkah kita berpikir apakah semua kawan kita memperoleh kesempatan yang sama, termasuk teman kita penyandang disabilitas?
Disabilitas adalah kondisi fisik, mental, intelektual dan/atau sensorik yang seseorang alami dalam jangka waktu lama. Di mana kondisi itu membatasi interaksi dan aktivitas sehari-hari. Pembedaan perlakuan (diskriminasi) masih penyandang disabilitas rasakan. Seperti dianggap cacat, pelekatan mitos atau prasangka yang belum tentu kebenarannya, hingga sikap apatis.
Hal ini sangat membatasi disabilitas termasuk dalam usaha mengenyam pendidikan. Berikut tantangan yang penyandang disabilitas hadapi dalam dunia pendidikan:
Akses pendidikan
Temuan badan kesehatan dunia (WHO) bahwa masyarakat di negara berkembang di mana penduduk miskin, perempuan dan lansia mempunyai kemungkinan disabilitas lebih tinggi. Di Indonesia sendiri berdasarkan data SUSENAS 2018 bahwa 28% anak dengan disabilitas tidak pernah bersekolah.
Selain itu perbandingan angka putus sekolah pun lebih tinggi daripada non disabilitas. Motivasi bersekolah perlu kita tanamkan pada anak disabilitas. Kini orang tua tak perlu malu atau khawatir terhadap pendidikan anak disabilitas sebab lingkungan inklusi telah mulai dikenalkan.
Data dari Kementerian Pendidikan dan UNICEF bahwa 1 dari 4 Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak memiliki sarana toilet khusus untuk murid. Lalu pemisahan toilet laki-laki dan perempuan pun belum menyeluruh.
Selain itu, akses penunjang pendidikan seperti juru bahasa isyarat, guru pembimbing, teknologi speech to text, screen reader, dan perangkat lainnya perlu kita terapkan, dan kita perbanyak di institusi pendidikan sesuai kebutuhan dan jenis disabilitas.
Kualitas pendidikan
Terkadang anak penyandang disabilitas lulusan SLB masih mengalami kesulitan untuk beradaptasi atau mengejar ketertinggalan ketika melanjutkan ke sekolah umum. Meskipun misalnya pada tingkat perguruan tinggi telah menerima lulusan SLB, akan tetapi kurikulum yang diajarkan di SMA LB masih setingkat SMP umum.
Permasalahan tersebut kita perlu mempraktikkan pendidikan inklusif. Di mana konsep pendidikan yang menerima semua anak dari berbagai macam latar belakang untuk menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.
Tujuannya adalah melibatkan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama di sekolah umum, sehingga kesempatan mendapat pendidikan yang bermutu semakin besar. Pendidikan inklusif ini mengajarkan belajar sosialisasi bersama, menyatu dengan lingkungan dan menerima perbedaan.
Keuntungan dari program inklusi tersebut bukan hanya untuk anak penyandang disabilitas saja, namun juga keluarga sebagai support utama. Yaitu meningkatkan penghargaan terhadap anak, bahwa anak disabilitas juga bisa berprestasi.
Perayaan kemerdekaan tidak hanya berlaku setiap tanggal 17 Agustus, namun setiap hari sejatinya kita menginginkan kebebasan. Yaitu bebas mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik. Sebagai seorang muslim, kita tentu diajarkan untuk saling mengasihi dan menyayangi pada siapapun termasuk penyandang disabilitas.
Maka, jadikan momentum kemerdekaan untuk mulai membangun kesadaran (disability awareness) dengan menghormati hak-hak disabilitas. []