Mubadalah.id – Dua hari kemarin saya berkesempatan untuk belajar di sebuah tempat rehabilitasi bagi orang dengan gangguan mental, nun jauh di daerah Jawa bagian Tengah. Pembelajaran ini difasilitasi oleh Koalisi Perempuan Indonesia dan Perhimpunan Jiwa Sehat Jakarta. Banyak hal tentu yang saya dapatkan, dan sebuah kesadaran tentang betapa pentingnya kita menjaga kesehatan mental, betapa berartinya hidup kita hari ini, dan betapa berharganya setiap detik yang kita lewati bersama keluarga.
Dalam proses belajar mendengarkan ragam pengalaman itu, keluarga menjadi pijakan penting bagaimana orang-orang dengan gangguan mental tersebut menjadi seakan “the others” sosok liyan yang dianggap tidak ada. Jika mengumpamakan dalam struktur kehidupan, teman-teman inilah yang menempati posisi paling bawah. Sangat rentan dan resisten. Hidup mereka sunyi, terpenjara di balik pintu besi, dan dinding bangunan panti yang tinggi.
Anggapan yang salah, atau diagnosa yang salah sejak awal menjadi penyebab mengapa orang-orang dengan kondisi gangguan mental tidak bisa disembuhkan, atau sulit diterima kembali di masyarakat. Sebelum terlibat dalam proses belajar ini, saya sama seperti yang lain, bahkan untuk memulai komunikasi pun masih ada perasaan takut atau cemas andai lawan bicara sedang tak baik-baik saja sehingga berpotensi menyerang orang lain.
Kekhawatiran saya tidak terbukti, selain karena ada pendampingan dari petugas saat proses komunikasi, juga memang lama-lama antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung. Alih-alih merasa takut, saya jadi merasa geli sendiri, dan menyadari satu hal. Mereka adalah sama-sama manusia yang punya sisi manusiawi, ingin dihargai, ingin didengarkan, dan sesekali ingin diajak bicara.
Pengucilan atau pengasingan bagi orang-orang dengan gangguan mental bukan solusi yang tepat. Dukungan dari keluarga justru menjadi sesuatu yang penting. Penerimaan dan pengakuan dari orang tua atau saudara atas kondisi yang mereka alami. Meski lagi-lagi kerap dihadapkan pada persoalan ekonomi. Karena memang tak mudah, dan tak murah untuk memberikan perawatan yang memadai bagi orang-orang dengan gangguan mental ini.
Orang dengan gangguan mental kategori berat biasanya menderita gejala psikosis, seperti delusi, halusinasi, dan paranoid. Gejala psikosis yang tampak pada penderita gangguan mental membuat penderita kadang melakukan hal-hal di luar kewajaran, seperti bicara sendiri, berteriak ketakutan, menangis, atau bahkan mengamuk yang sifatnya destruktif.
Sepanjang proses itu, saya berupaya menebalkan rasa simpati dan empati. Apapun yang terjadi dengan kondisi mereka, itu sudah menjadi bagian dari masa lalu. Masih hangat dalam ingatan kita, terkait kasus Novi Amelia yang bunuh diri pada Rabu 16 Februari 2022. Diduga korban mengalami depresi, ia loncat dari lantai 8 tower Raflesia Apartemen Kalibata City Jakarta.
Penyakit gangguan mental banyak mengambil korban jiwa, salah satunya lewat jalan bunuh diri. Yang menyedihkan, banyak juga mereka yang bunuh diri mencari “pertolongan” di tempat yang salah, seperti di ruang publik yang disediakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan TikTok. Sayangnya, tetap berakhir tragis dengan bunuh diri.
Apa yang bisa kita lakukan bila memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental? Dilansir dari kanal media dw.com, pertama berkonsultasi dengan dokter ahli jiwa. Terapi dan obat-obatan bisa membantu kualitas hidup orang dengan gangguan mental agar gejala psikosis bisa ditekan atau dihilangkan sama sekali.
Bahkan sudah banyak konsultasi online tanpa berbayar yang bisa diakses di internet. Selain itu tentunya dengan menerima dan menghargai orang dengan gangguan mental sebagai manusia yang memiliki kondisi tertentu sehingga kadang sulit dalam berinteraksi, terutama saat gejala psikosis menyerang.
Kedua, jangan langsung mengasingkan orang dengan gangguan kesehatan mental, dan menganggap mereka sebagai sebuah kutukan yang harus dihindari. Cobalah memahami keadaan mereka, karena sama seperti manusia lainnya, orang dengan gangguan mental juga membutuhkan interaksi dengan sekelilingnya. Malah, mungkin lebih membutuhkan dari mereka yang tidak mengalami kondisi tersebut.
Ketiga, dukungan merupakan hal yang sangat krusial bagi orang dengan gangguan mental. Bila ia anggota keluarga, pelajari lebih jauh tentang jenis gangguan mental yang ia miliki. Luangkan waktu untuk mengenali gejala psikosis dan bagaimana cara menghadapinya saat episode psikosis berlangsung. Kasih sayang dan dukungan akan membuat orang dengan gangguan mental merasa nyaman dan membantu dalam proses pemulihan dari gejala psikosis.
Hal itu juga berlaku dengan sikap kita di ruang publik. Janganlah menjadikan orang dengan gangguan mental sebagai olok-olok di media sosial. Contohnya, dengan membuat meme-meme yang menjadikan orang dengan gangguan mental sebagai obyek. Atau langsung nyinyir ketika kebetulan membaca di media sosial ada yang mengaku depresi dan punya keinginan bunuh diri.
Meski kedengarannya seperti dramatisasi dan bernuansa cari perhatian, bisa jadi mereka memang punya penyakit gangguan mental. Sikap kita yang memojokkan berpotensi membuat mereka melakukan tindakan yang fatal, hingga sampai titik terendah akhirnya mengambil jalan bunuh diri. Dan ini bukannya tak pernah terjadi. Kasus Novi Amelia di atas menjadi bukti. Jadi cintai jiwamu dengan lebih dan lebih, sayangi keluarga dan orang-orang terdekatmu tanpa tapi, dan nanti. []