Belakangan ini, banyak sekali kampanye untuk menyuruh perempuan menutup aurat dengan hijab khusunya dengan hijab panjang/syari’i. seperti Gerakan Menutup Aurat (GEMAR) dengan membagikan hijab secara gratis pada perempuan muslim.
Hijab seolah menjadi identitas tunggal seorang perempuan muslim dan mengesampingkan identitas yang lain. Hijab di kalangan masyarakat sudah menjadi hal yang lumrah, dianggap tuntutan agama, hingga menjadi gaya busana tersendiri.
Sehingga, ada dikotomi bagi perempuan muslimah. Jika kalangan perempuan muslim yang tidak berhijab, dilabelkan menjadi perempuan muslim yang kurang sempurna. Dan sebalikanya, jika perempuan muslimah berhijab dianggap sebagai kesempurnaan perempuan.
Fenomena berhijab makin pesat tatkala publik figur Indonesia berbondong-bondong untuk “berhijrah” dengan menggunakan hijab. Seketika, pujian dan sanjungan ditujukan pada publik figur tersebut. Begitu sebaliknya, perempuan muslim yang sudah memutuskan berhijab lalu melepaskannya kembali, menuai hujatan, cemooh dan perundungan dari warganet yang berlagak sebagai penjaga moral. Misalnya, pada kasus Rina Nose dan Nikita Mirzanai, salah satu publik figure Indonesia, yang memutuskan untuk melepas kembali hijab dengan alasan ingin mencari jati diri yang sebenarnya.
Seorang yang menyatakan dirinya “berhijrah”, lantas dianggap sebagai seorang yang paham agama. Sehingga, tidak jarang, muncul pemuka-pemuka agama “dadakan” di layar kaca (yang kita tidak tahu seberapa banyak pemahamannya tentang agama); yang hanya bermodal retorika moralis belaka. Dalam tulisan ini akan dibahas ihwal fenomena hijrah masyarakat yang hanya berkutat pada perubahan penampilan semata misal dengan pemakaian hijab.
Hijrah: Cukupkah dengan Hijab?
Fenomena hijrah di kalangan masyarkat seolah menjadi trend. Trend adalah suatu kecenderungan naik turun dalam jangka panjang, berdasarkan rata-rata perubahan waktu ke waktu. Jika rata-rata perubahan bertambah disebut sebagai trend positif dan sebaliknya (Maryati, 2010:129).
Hijrah menjadi semakin pesat tatkala publik figur perempuan menyatakan dirinya berhijrah; walau secara fisik hanya bisa dilihat dari penggunaan pakaiannya. Secara leksikal, hijrah, berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti pindahnya sebagian sahabat Rasullah dari Makkah ke Habasyah atau dari Makkah ke Madinah. Sedangkan, secara terminologi, hijrah dibagi menjadi tiga macam yaitu hijrah makaniyah, hijrah nafasiyah dan hijrah amaliyah.
Pertama, hijrah makaniyah, yang mana hijrahnya Rasullah dan sahabat dari Makkah ke Madinah akibat tekanan fisik dari kaum kafir Quraisy. Kedua, Hijrah Nafsiyah, yang mana perpindahan dari kekafiran ke keimanan, dimana dalam hidup adalah semata gerak, amal dan perjuangan.
Ketiga, hijrah amaliyah, perpindahan perilaku dari perilaku yang buruk pada perililaku yang jauh lebih baik. Sebagaimana, yang dipertegas dengan sabda Rasullah SAW bahwa “orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa” (HR. Imam Ahmad).
Makna yang terkandung dalam hijrah Rasulullah dapat dikatakan mencakup semua dari spiritual moral, sosial-kultural dan struktural. Namun kompleksnya makna hijrah lantas disempitkan oleh kelompok-kelompok islamisme.
Kelompok Islamisme di sini diartikan kelompok yang memiliki tafsiran agama dengan bereaksi berlebihan, dan tak jarang melakukan peminggiran terhadap mereka yang dianggap berbeda, namun perhatian mereka bukan pada kondisi manusia tertindas itu sendiri, akan tetapi mengubah masalah hancurnya martabat manusia dengan kembali pada “kebenaran” epistomologi atas pemaknaan teks Al-Quran dan Hadis sebagaimana yang terjadi pada masa khilafah (Ruth, 2016:2).
Kampanye yang dilancarkan kelompok Islamisme dalam berbagai platform media dan secara langusng meyakinkan para perempuan muslimah yang mengalami krisis dan kurang pahamnya beragama melakukan hijrah dengan merubah penampilannya.
Semisal, dengan pemakaian hijab/jilbab, memakai gamis atau bahkan langsung memakai cadar. Ditambah dengan narasi-narasi yang dibangun media atas artis yang baru berhijab dengan mengatakannya sebagai hijrah. Padahal hijrah tidak sesempit makna pakaian, penutup kepala atau entitas yang tersemat dalam tubuh.
Lebih dari itu, hijrah adalah menjadi seorang muslimah menjadi manusia yang lebih baik. Hijrah tidak hanya dimaknai apakah kita memakai hijab atau bukan. Pun tak hanya dimaknai dengan syari’i atau tidaknya hijab yang kita pakai. Pun hijrah bukan berarti sekedar tampilan fisik belaka.
Menjadi manusia bagi perempuan muslimah tidak menunggu untuk “ditutup kepalanya” berdasar tuntutan moralitas atau standar “kemuslimahan” perempuan di masyarakat. Tidak lantas egoisme makin menjalar dalam laku dan pikiran perempuan yang mengusung istilah hijrah. Yang mensabdakan egoisme dengan bentuk hanya sekedar ketaatannya pada ritus keagamaan: sholat, mengaji dan berpuasa.
Atau lebih piciknya hanya bermakna perubahan fisik belaka. Berhijrah untuk menjadi muslimah perempuan adalah dengan cara memperhatikan hubungannya dengan Tuhan, Alam dan Manusia. Yang artinya, penindasan pada alam dan manusia oleh manusia harus dilawan.
Sehingga, hijrah yang terdiri dari makaniyah, nafsiyah dan amaliyah bisa diimplementasikan secara menyeluruh oleh perempuan muslim pada khusunya. Tidak sekedar perubahan cara berpakaian semata, yang hanya dalam bentuk fisik belaka. []