Mubadalah.id – Kaum muslimin mengalami perbedaan-perbedaan pemahaman atas teks agama. Perbedaan pemahaman ini dipicu oleh berbagai hal misalnya kemampuan literasi agama masing-masing orang yang tentu berbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda dan juga bahkan dipicu pula oleh teks agama (Hadits) yang seolah nampak saling bertentangan. Salah satu teks hadits yang memerlukan pemahaman mendalam karena terkesan nampak bertentangan ini adalah hadits tentang hukum menggunakan pakaian atau sarung hingga di bawah mata kaki atau disebut dengan istilah isbal.
Menurut Syaikh Yusuf Qardlawi, Hadits tentang larangan menggunakan pakaian seperti sarung hingga di bawah mata kaki ini, dijadikan sandaran bagi sekelompok orang yang sangat bersemangat untuk menunjukkan kritik yang tajam terhadap orang-orang yang tidak memendekkan tsaubnya (baju gamis) hingga di atas mata kaki.
Saking semangatnya kelompok ini, sehingga hampir-hampir menjadikan masalah menggunakan pakaian dengan memendekkan tsaub ini, sebagai syiar Islam terpenting atau kewajiban yang utama. Mereka akan mencibir seorang ‘alim atau da’i muslim yang tidak memendekkan tsaub-nya dan adakalanya menuduh sebagai seorang yang kurang beragama.
Padahal jika mau mengkaji sejumlah hadits yang berkenaan dengan masalah menggunakan pakaian ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, maka akan diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadits-hadits tersebut, untuk kemudian tidak akan menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, tidak mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah untuk manusia.
Untuk memahami hadits secara benar maka harus dihimpun semua hadits shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu, kemudian mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, menafsirkan yang ‘am dengan yang khas. Maka dengan cara ini dapat dimengerti maksud hadits dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar, bahwa Nabi Saw pernah bersabda :
ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة : المنان, الذي لا يعطي شيأ الا منة, والمنفق سلعته بالحلف
الكا ذب, والمسبل ازاره
Tiga jenis manusia yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah : 1) seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit, 2) seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong dan 3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya (dalam kitab shahih muslim bab Iman)
Dalam Riwayat lainnya dari Abu Dzar :
ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر اليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب اليم، قال فقراها رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثلاث مرات، قال ابو ذر، خابوا وخسروا من هم يارسول الله؟ قال المسبل والمنان، والمنفق سلعته بالحلف الكاذب.
Tiga jenis manusia yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang oleh Nya, tidak ditazkiah oleh Nya dan bagi mereka tersedia azab yang pedih, (Rasulullah mengulangi sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata : sungguh mereka itu adalah manusia-manusia gagal dan merugi, siapa mereka itu ya Rasulullah?, maka jawab beliau) : orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai ke bawah mata kaki, orang yang memberi sesuatu kemudian diungkit-ungkit, pedagang yang melariskan barang dagangannya dengan bersumpah bohong (dalam kitab shahih muslim bab Iman).
Dalam memahami hadits ini, jika dibaca keseluruhan hadits , maka akan diketahui bahwa yang dimaksud adalah sikap sombong yang menjadi motivasi orang menjulurkan sarungnya, itulah yang diancam dengan hukuman keras. Berikut ini Hadits Shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab: ”Barang siapa menyeret sarungnya bukan karena sombong”, Sebuah Hadits Riwayat Abdullah bin Umar dari Nabi Saw berkata :
من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله اليه يوم القيامة، قال ابو بكر يا رسول الله ان احد شقي إزارى يسترخى، الا ان اتعاهد ذلك منه فقال النبي صلى الله عليه وسلم لست ممن يصنعه خيلاء
Barang siapa menyeret sarungnya (yakni menjulurkannya sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah) karena sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari kiamat. Abu Bakar berkata kepada beliau : Ya Rasulullah, salah satu sisi sarungku selalu terjulur ke bawah, kecuali aku sering-sering membetulkan letaknya. Nabi Saw berkata kepadanya : engkau tidak termasuk orang-orang yang melakukannya karena kesombongan. (Fathul Bari hadits no 5784)
Dalam hadits lain, Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam bab yang sama, dari Abu Bakrah, Abu Bakrah mengatakan : “Kami sedang bersama Rasulullah ketika terjadi gerhana matahari, beliau (Rasul) berdiri lalu berjalan menuju masjid sambal menyeret sarungnya, karena tergesa-gesa”….(Fathul Bari Hadits nomor 5785)
Dalam hadits lain lagi yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah : bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda :” Allah tidak akan memandang kepada orang yang menyeret sarungnya karena kesombongan.” (Fathul Bari Hadits no 5788)
Sebuah Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah :
من جر إزاره لا يريد بذلك الا المخيلة، فان الله لا ينضر اليه يوم القيامة
Barang siapa menyeret sarungnya, tidak ada maksudnya selain untuk membanggakan diri, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat (Shahih Muslim bi Syarah an Nawawi bab Tahrim Jar Ats -Tsaub Khuyala)
Menurut Syaikh Yusuf Qardlawi, dalam hadits ini secara jelas Nabi menekankan soal membanggakan diri sebagai satu-satunya alasan. Dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, yang disebutkan dalam menggunakan pakaian adalah izar (sarung yang digunakan sebagai bawahan), namun dalam menerangkan tentang hadits ini para ulama termasuk Syaikh Yusuf Qardlawi juga menyebutkan tsaub/gamis, karena gamis merupakan pakaian terusan yang panjangnya mencapai mata kaki.
Pendapat para ulama atas hadits menyeret sarung atau gamis :
- Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhari : Perbuatan menyeret sarung tidak haram sepanjang tidak disertai oleh sikap untuk menyombongkan diri
- Al Hafidz al Faqih ibn Abd Al Bar : apabila perbuatan menyeret itu bukan karena kesombongan, maka ancaman terhadapnya tidak berlaku. Walaupun pada dasarnya perbuatan menyeret gamis dan jenis pakaian lainnya tetap tercela dalam keadaan apapun (fathul bari juz 10/263)
Ancaman atas menggunakan pakaian dengan menjulurkan sarung karena kesombongan merupakan ancaman yang keras, bahkan dalam hadits ancaman ini masuk pada 3 jenis manusia yang dikecam, dan tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, ini menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut benar-benar dilarang. Yang paling penting dalam hal menggunakan pakaian adalah niat dan motivasinya. Yang sangat ingin ditentang dalam hal menggunakan pakaian adalah kesombongan, keangkuhan, kepongahan, kebanggaan diri yang termasuk penyakit hati.
Masalah menggunakan pakaian dalam hal potongan dan bentuknya adalah berdasarkan kebiasaan dan adat istiadat manusia, yang seringkali berlainan sesuai dengan perbedaan iklim antara panas dan dingin, juga antara yang kaya dan miskin, yang kuat dan lemah, jenis pekerjaan, tingkat kesejahteraan hidup, serta pelbagai pengaruh dan latar belakang lainnya.
Dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari : “silahkan kalian makan, minum, berpakaian dan bersedekah, tetapi jangan berlebih-lebihan dan jangan pula demi kesombongan. Ibnu Abbas berkata : makanlah makanan yang kau ingini, kenakanlah pakaian yang kau ingini, selama kau menghindari dua hal : pemborosan dan keangkuhan.
Ibnu Hajar mengutip ucapan Gurunya : Al Hafidz al-’Iraqi dalam syarah Tirmidzi : “Pakaian yang sangat panjang sehingga menyentuh tanah adalah termasuk kesombongan dan hukumnya haram. Akan tetapi manusia di zaman ini, telah menciptakan berbagai aturan dalam memanjangkannya, sehingga setiap kelompok masyarakat mempunyai tanda-tanda khusus yang menunjukkan identitas mereka.
Maka apabila menggunakan pakaian tersebut dilakukan demi kesombongan, tentu hukumnya haram. Akan tetapi jika hanya mengikuti adat kebiasaan semata-mata, maka tidak dianggap haram, kecuali yang panjangnya sedemikian rupa sehingga menyentuh tanah dan menyebabkan orang berjalan sambal menyeretnya.” Al-Qadhi ‘Iyadh mengutip pendapat sebagian ulama : “bahwa para ulama tidak menyukai pakaian yang panjangnya melebihi kebiasaan, juga kebiasaan berpakaian yang sangat panjang dan lebar.”
Dari beragam pendapat para ulama tersebut maka diperoleh kesimpulan : jika ada orang yang menggunakan pakaian dengan memendekkan tsaubnya/gamis/sarungnya demi mengikuti As sunnah, dan menjauhkan diri dari kesombongan, maka Insya Allah akan mendapatkan pahala, tetapi dengan syarat tidak memaksa orang lain melakukan seperti dirinya, juga tidak bertindak keterlaluan dalam mengkritik orang yang tidak memendekkan gamis/sarungnya.
Oleh karenanya mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah (zahir/yang terlihat saja) /tulisan suatu hadits tanpa memperhitungkan hadits-hadist lainnya, serta nash-nash lain yang berkaitan dengan topik/masalah tertentu, seringkali menjerumuskan ke dalam kesalahan dan menjauhkannya dari kebenaran serta maksud sebenarnya dari konteks hadits tersebut. []
*)Sumber : Kitab Kaifa Nata’amal ma’a Assunnah Annabawiyah Karya Syaikh Yusuf Qardlawi