• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Ibu Shinta Nuriyah : Merajut Perdamaian Melalui Sahur Keliling

Meneruskan jejak suaminya, Gus Dur, dalam merangkul keberagaman dan merawat toleransi di Indonesia

Rifaatul Mahmudah Rifaatul Mahmudah
23/09/2020
in Figur, Rekomendasi, Tokoh
0
145
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Ibu Sinta Nuriyah adalah perempuan kelahiran Jombang, pada 8 Maret 1948, yang telah mengabdikan dirinya untuk meneruskan jejak suaminya, Gus Dur, dalam merangkul keberagaman dan merawat toleransi di Indonesia. Bahkan, karena kegigihan dan semangatnya memperjuangkan martabat kemanusiaan, memperjuangkan keadilan perempuan maupun rakyat yang tertindas, beliau pernah mendapat penghargaan, “100 Orang Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia Versi Majalah Time, dalam kategori tokoh pejuang perempuan dan kaum minoritas (2018)”, “11 Perempuan Paling Berpengaruh Versi Harian New York Times (2107)”, dan penghargaan internasional maupun nasional lainnya.

Atas kiprahnya dalam merawat nilai-nilai toleran serta gerakan pluralisme ini, mengantarkan beliau mendapat anugerah Gelar Doktor Honoris Causa (H.C) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 18 Desember 2019, almamater beliau menempa ilmu selama kuliah strata satu.

Pidato ilmiah yang beliau sampaikan berhubungan dengan pengalamannya sendiri dalam rangka merawat kerukunan dan keberagaman antar bangsa melalui sahur keliling. Pidato ilmiahnya berjudul “Inklusi dalam Solidaritas Kemanusiaan: Pengalaman Spiritualitas Perempuan dalam Kebhinekaan”, melalui pengenalan Sahur Keliling sebagai sarana menempa ketakwaan, sekaligus mempertajam pengertian tentang Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sahur keliling adalah sebuah pendekatan yang unik. Tidak hanya digelar di masjid-masjid, tetapi juga di halaman klenteng, halaman gereja, kolong jembatan, di tengah pasar, dan tempat-tempat lainnya. Sasaran kegiatan rutin ini adalah kaum dhuafa, kaum marjinal, tukang becak, pengamen, pemulung, dan lain sebagainya.

Ibu Sinta Nuriyah dengan sengaja memilih sahur tidak berbuka karena selain acara berbuka puasa sudah banyak dilakukan, juga untuk mengajak mereka melaksanakan perintah Allah dengan memberikan secuil kebahagiaan dan rejeki melalui sahur kepada mbok-mbok bakul yang sudah bangun dini hari, tukang becak yang tidur meringkuk di atas becaknya, maupun kuli-kuli yang tidur di bawah kolong jembatan.

Baca Juga:

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Tafsir Sakinah

Kegiatan yang sudah berlangsung selama dua dekade sejak tahun 2000 berimplikasi besar pada lestarinya kerukunan antar bangsa. Karena selama pelaksanaan sahur keliling Ibu Sinta mengundang semua kalangan tidak memandang agama, etnis, maupun golongan. Kegiatan yang bisa merangkul dari berbagai latar belakang ini menjadi signifikan, sebab nilai-nilai toleransi dan kerukunan harus terus dijaga di tengah banyaknya arus yang menggerus tradisi yang sarat dengan nilai demokrasi dan toleransi.

Ibu Sinta menyebut dalam bukunya “Perempuan dan Pluralisme”, ada dua arus yang menggerus beragam tradisi yang sarat nilai demokrasi dan toleransi; pertama, maraknya gerakan puritanisme agama yang anti tradisi. Gerakan ini tidak bisa menerima khzanah tradisi yang dianggap sebagai bid’ah. Sebagai gantinya, mereka menawarkan budaya Islam yang bias dengan tradisi Arab. Kedua, kebudayaan dan tradisi lokal dilindas oleh arus modernitas yang bias dengan tradisi dan budaya Barat.

Kedua arus tersebut sama-sama menyebabkan sikap intoleran. Arus pertama menganggap terancamnya kesucian agama dan agama lain sebagai musuh serta ancaman. Sementara arus kedua menganggap bahwa tradisi itu kolot dan konservatif, sehingga menghambat laju modernisasi. Hal ini disebutkan dalam buku yang sama dianggap akan menyebabkan bangsa Indonesia berada pada kondisi defisit kebudayaan yang bisa mengarah pada terjadinya kebangkrutan budaya.

Bagi perempuan yang pernah melakukan analisis kritis terhadap kitab Uqudullujain fi Bayani Huquq al-Zauijain karya Syekh Nawai al-Bantani ini, kesadaran untuk menerima kodrat sebagai bangsa yang beragam suku, etnik, agama, dan budaya yang merupakan sunnatullah, melahirkan berbagai norma dan etik untuk saling menghargai dan menghormati.

Perbedaan bukanlah sumber konflik dan perpecahan melainkan menjadi keindahan dan kekayaan. Karenanya, beliau tidak pernah lelah merawat tradisi sahur keliling yang telah melibatkan banyak pihak lintas iman dan budaya, seperti Yayasan Puan Amal Hayati (yayasan yang didirikan oleh beliau pada tahun 2001, yang bertujuan untuk membela hak dan membebaskan kaum perempuan dari belenggu ketertindasan dan keterbelakangan), Matakin, Keuskupan Jakarta, Bandung, dan Surabaya, Hindu (Bali), Budha, Baha’i, INTI, ANBTI, Jama’ah Ima’illah, Gusdurian, Anshor, aliran-aliran kepercayaan lain, BINUS, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Beliau juga menganggap bahwa manusia tidak memiliki hak apapun untuk menjadi hakim atas keimanan seseorang. Hal ini beliau sampaikan dalam pidato ilmiah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun kemarin, “Tuhan melarang tindakan koersif terhadap kepercayaan atau agama yang berbeda. Dan yang teramat penting lagi adalah bahwa pengadilan puncak terhadap keimanan hanya ada di tangan Tuhan, oleh karena itu kesombongan teologis yang telah menjadi salah satu penyebab pertikaian antar agama dan antar budaya, serta menyulut tindakan brutal dengan melakukan pengrusakan maupun penutupan tempat ibadah lain, tidak seharusnya terjadi.”

Melalui momentum puasa beliau mengajak untuk menumbuhkan kembali semangat dan kesadaran akan pentingnya hidup bersama secara damai, menghargai, serta menerima setiap perbedaan yang ada. Karena esensi dari puasa adalah pengendalian diri yang bermuara kepada ketakwaan dan manifestasi dari ketakwaan adalah pengendalian diri melalui perilaku yang menghargai humanisme dan akhlaqul karimah. []

 

Tags: gus durislamPerdamaianSahur KelilingShinta Nuriyahtoleransi
Rifaatul Mahmudah

Rifaatul Mahmudah

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Beda Keyakinan

    Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID