Mubadalah.id – Perceraian dalam Islam menetapkan bagi perempuan jeda waktu yang disebut ‘iddah, yaitu masa tunggu sekitar 3 bulan sebelum ia boleh menikah lagi dengan laki-laki lain.
Jeda ini dimaksudkan untuk memastikan apakah ada benih dari suami yang menceraikannya. Jika ada, maka ia harus menunggu sampai hamil selesai dan melahirkan anak sebelum bisa menikah lagi dengan laki-laki lain.
Jika tidak ada, jeda itu sekaligus berfungsi menjadi waktu untuk rekonsiliasi, barangkali masih bisa kembali kepada suami yang menceraikan jitu.
Dalam masa jeda ini, istri tidak boleh melakukan pendekatan-pendekatan dengan laki-laki lain. Begitu pun laki-laki lain, tidak boleh melakukan kontak-kontak yang menandakan ketertarikan pada sang istri. Hal ini agar jikapun ia kembali kepada suaminya, kesiapan psikologis dan proses-prosesnya akan lebih mudah.
Jika aturan ‘iddah ini tidak memiliki makna sama sekali kecuali ibadah belaka, maka tentu tidak bisa berlaku mubadalah.
Begitu pun ketika ia hanya sekadar memastikan isi kandungan, juga tidak berlaku mubadalah. Sebab, pihak yang mengandung hanya perempuan.
Tetapi, jika ‘iddah juga kita maksudkan memberi waktu berpikir dan refleksi, sekaligus memberi kesempatan lebih utama dan lebih mudah agar pasangan bisa kembali, maka tentu saja berlaku mubadalah.
Setidaknya, jikapun tidak menggunakan hukum fiqh, maka bisa dengan etika fiqh. Artinya, laki-laki juga secara moral bisa memiliki jeda dan tidak melakukan pendekatan kepada siapa pun, perempuan yang lain.
Begitu pun perempuan lain tidak boleh melakukan pendekatan kepadanya, agar jika sang istri yang cerai ingin kembali, atau laki-laki itu sendiri yang ingin kembali, maka prosesnya akan lebih mudah.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.