• Login
  • Register
Minggu, 14 Agustus 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Iduladha, Bill Clinton dan Penyelamatan Bumi Ini

Mari kita ikuti para feminis Muslim untuk merebut kembali interpretasi kita tentang Iduladha, dan mengadopsi gaya hidup Muslim yang berkelanjutan yang juga berkontribusi pada penyembuhan planet ini!

Julia Suryakusuma Julia Suryakusuma
24/07/2021
in Publik
0
Iduladha

Iduladha

72
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Reza, seorang pemuda berusia tiga puluhan, sudah berulang kali mendengar kisah ketabahan Nabi Ibrahim yang imannya kepada Tuhan begitu tak tergoyahkan sehingga ketika Yang Mahakuasa memerintahkannya untuk mengorbankan putra tunggalnya, dia tidak bergeming sedetik pun. Semua Muslim – dan Kristen – tahu apa yang terjadi  akhirnya. Bahwa Tuhan sekedar menguji Nabi Ibrahim dan putranya digantikan oleh seekor domba jantan. Fiuh!

Reza memahami simbolisme cerita ini, dan memiliki pengalaman sedih sebagai seorang anak sehubungan dengan ini. Sepupunya sangat terpukul ketika seekor kambing peliharaan yang telah dia pelihara dan beri makan selama bertahun-tahun, harus disembelih pada hari raya Iduladha. Reza juga memiliki pengalaman traumatis ketika seekor kambing sedang dalam proses penyembelihan, namun berhasil melarikan diri dengan setengah lehernya terpotong, kepalanya menjuntai, dikejar-kejar oleh tukang jagalnya.

Ugh! Kedengarannya sangat mengerikan! Bayangkan jika itu adalah manusia yang berlarian dengan leher terpenggal sebagian?

Kisah ini adalah salah satu dari seratus lebih dalam antologi karya Lies Marcoes, seorang feminis Muslim terkemuka, berjudul “Merebut Tafsir”. Tafsir apa? Tafsir narasi dominan yang cenderung didikte penguasa: kaum patriarki. Sebenarnya yang ia lakukan adalah  ijtihad – kebebasan berpikir,  yang sangat dianjurkan dalam Islam khususnya dalam fiqih. Feminis Muslim dikenal karena Anda dapat membayangkan apa yang disebut “teks-teks suci” telah dirumuskan untuk kepentingan sistem kekuasaan patriarki.

Sejujurnya, Iduladha adalah hari libur Muslim yang paling tidak saya sukai. Saya sangat setuju dengan semangat pengorbanan yang diwujudkan pada hari itu terutama dalam konteks pandemi COVID-19.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ekofeminisme dan Tuhan yang Feminin
  • Santunan Anak Yatim Piatu dan Privasi yang Perlu Kita Jaga
  • Pentingkah Gagasan Feminisme Nusantara?
  • Makna Hijrah Sebagai Bentuk Pendisplinan Spiritualitas Manusia

Baca Juga:

Ekofeminisme dan Tuhan yang Feminin

Santunan Anak Yatim Piatu dan Privasi yang Perlu Kita Jaga

Pentingkah Gagasan Feminisme Nusantara?

Makna Hijrah Sebagai Bentuk Pendisplinan Spiritualitas Manusia

Tapi apa yang saya tidak suka dari Iduladha adalah penjagalan yang terjadi. Sebelum pandemi, ketika saya jalan-jalan pagi menjelang Iduladha, saya suka melihat kambing ditambatkan ke pohon atau pagar. Saya mendekati salah satu dari mereka, ia mencoba menghampiri saya juga, jelas mencari bantuan saya untuk melepaskannya.

Saya benar-benar ingin melakukannya, bukan hanya satu kambing, tapi semuanya. Saya menangis dalam hati saat saya berjalan menjauh dari binatang qurban tersebut. Beberapa hari kemudian ketika saya melewati tempat itu lagi, saya tahu bahwa kambing dengan mata menangis itu kemungkinan besar terbaring di kuburannya: perut manusia.

Untuk waktu yang lama saya sudah berpikir, mengapa pengorbanan tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang simbolis? Tuhan juga melakukan simbolisasi ketika Dia menyuruh Ibraham untuk mengorbankan putranya. Mengapa kita tidak juga melihat kambing, domba, sapi atau unta kurban secara simbolis dan menggantinya dengan uang tunai atau sembako  yang sangat dibutuhkan di masa pandemi ini?

Seorang teman saya, Yanti Nisro, melakukan hal itu. Ketika saya mengetahuinya, dengan semangat saya menyumbangkan sejumlah uang untuk membeli lebih banyak paket sembako – dan banyak temannya juga melakukannya. Ia mengaku terinspirasi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mengimbau kepada para pengikutnya yang memiliki kemampuan ekonomi, untuk menyumbangkan dana guna membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Seruan yang sama juga disampaikan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah).

NU dan Muhammadiyah masing-masing merupakan ormas Islam terbesar dan kedua terbesar di Indonesia. Pada akhirnya, seperti yang dikatakan Kyai Husein Muhammad, seorang ulama feminis dan rekan Lies Marcoes, apa pun yang dapat membantu kesejahteraan orang miskin adalah baik.

Ada yang berpendapat bahwa memberikan daging pada Iduladha kepada orang miskin membantu asupan gizi mereka. Sekali setahun? Halo! Nutrisi adalah urusan 365 hari dalam setahun! Mungkin salah satu hal baik tentang menjadi miskin adalah tidak mampu membeli daging. Tapi tentu saja, nutrisi yang baik bukan sekadar mengeliminasi daging dari menu.

Pola makan nabati sangat dianjurkan “untuk menurunkan kolesterol, mencegah dan bahkan membalikkan penyakit jantung, menurunkan risiko kanker, memperlambat perkembangan jenis kanker tertentu, menurunkan risiko diabetes, memperbaiki gejala artritis reumatoid dan memperbaiki atau menyembuhkan radang sendi, meningkatkan energi dan fungsi tubuh, dan meningkatkan kualitas tidur”. Seperti yang dikatakan Hippocrates, “Biarkan makanan menjadi obatmu dan obat menjadi makananmu”.

Hampir bersamaan dengan peluncuran buku Lies, buku lain berjudul “Generasi Terakhir” juga diluncurkan. Ditulis oleh Fachruddin M. Mangunjaya, seorang sarjana yang telah lama berkecimpung dalam urusan Islam dan lingkungan, buku ini tentang bagaimana aktivisme Muslim berusaha mencegah perubahan iklim dan perusakan lingkungan.

Buku ini cukup akademis, dengan bab satu sampai enam tentang epistemologi ilmu pengetahuan Islam dan pembangunan berkelanjutan; etika dan moral gaya hidup; ekologi dan iklim dalam perspektif ilmu keislaman; krisis iklim di dunia Muslim; tindakan untuk mengatasi perubahan iklim; moralitas, krisis iklim dan COVID-19, dan sebuah epilog: “Pilihan ada di tangan kita”. Buku ini juga memuat tiga lampiran, salah satunya adalah Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim Global.

Dua pertanyaan muncul di benak saya: pertama, apa efek trickledown (menetes ke bawah) dari buku ini, dan kedua, apa kontribusi pola makan nabati bagi kesehatan individu kita dan juga bumi menurut Islam?

Pada tahun 2018, sebuah artikel diterbitkan di harian Inggris Independen, berjudul “Veganism Is ‘Single Biggest Way’ to Reduce Our Environmental Impact, Study Finds” [Veganisme adalah ‘Satu-Satunya Cara Terbesar’ untuk Mengurangi Dampak Lingkungan Kita, Studi Menemukan”. Pak Fachruddin,  buku Anda hebat, tetapi apakah anda absen ketika kelas tersebut diajarkan hari itu?

Vegetarisme dan veganisme, yang dulunya terbatas pada kalangan hippie dan sekte-sekte spiritual, telah menjadi arus utama. Pada tahun 2010, Bill Clinton menjadi vegan karena penyakit jantungnya (dia sebenarnya menyebut dirinya cheagan” – cheating vegan,  vegan curang, bukan satu-satunya kecurangan yang pernah dia lakukan!).

Daftar selebriti yang vegan cukup panjang: Pamela Anderson, Liam dan Chris Hemsworth, Ariana Grande, Paul McCartney dan putrinya Stella, Benedict Cumberbatch, Joachim Phoenix,  Natalie Portman dan banyak lagi lainnya.

Sebelum Anda menganggapnya sebagai sekedar tren Hollywood, bagaimana dengan makanan Padang vegan. Rendang, yang sangat terkenal itu, prima donna makanan Padang, dinobatkan sebagai 50 Makanan Terbaik Dunia versi CNN pada tahun 2012. Bayangkan,  rendang vegan? Bagi saya, yang menyukai rasa rendang tapi tidak makan daging sejak 1990,  itu luar biasa menggembirakannya! Dan jika Jakarta menerbitkan panduan restoran vegan, itu berarti veganisme di Jakarta lebih dari sekadar tren yang suatu saat akan berlalu.

Iduladha ini, pemerintah melarang salat berjamaah. Pandemi menunjukkan bagaimana hal-hal yang sebelumnya dianggap tidak terpikirkan menjadi mungkin dan bagaimana hal itu bahkan dapat menjadi wajib jika itu untuk kepentingan mayoritas orang.

Saya – dan banyak lainnya – sejak awal melihat pandemi sebagai kesempatan untuk menekan tombol reset, tentunya untuk lingkungan global, yang bagaimanapun juga adalah rumah kita bersama. Jadi mari kita ikuti para feminis Muslim untuk merebut kembali interpretasi kita tentang Iduladha, dan mengadopsi gaya hidup Muslim yang berkelanjutan yang juga berkontribusi pada penyembuhan planet ini! []

*)Tulisan ini diterjemahkan dari artikel aslinya yang telah terbit pada 21 Juli 2021. “Idul Adha, Bill Clinton and Saving The Planet” 

Tags: Feminis MuslimfeminismeHari Raya Iduladha 1442 HHari Raya KurbanKisah NabiPandemi Covid-19Peradaban IslamSejarah Islam
Julia Suryakusuma

Julia Suryakusuma

Columnist/Contributor di The Jakarta Post

Terkait Posts

Ketimpangan Gender

Masalah Ketimpangan Gender dalam Dunia Pendidikan

14 Agustus 2022
Kesejahteraan Ibu

RUU KIA, Perdebatan Kesejahteraan Ibu dan Anak Negeri Ini

12 Agustus 2022
Merawat Lingkungan

Merawat Lingkungan dan Menjaga Bangsa Ini Sama Pentingnya

11 Agustus 2022
Dakwah Wali Songo

Keterlibatan Perempuan dalam Kesuksesan Dakwah Wali Songo

9 Agustus 2022
Film Horor

Logika Ekonomi Hantu Perempuan di Balik Film-film Horor Indonesia

9 Agustus 2022
Dunia Kerja

Mengenal Istilah Extend di Dunia Kerja, dan Payung Hukum yang Menaunginya

8 Agustus 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berbagi Suami

    Ini Bukan tentang Drama Berbagi Suami, Tapi Nyata Ada

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sebagai Manusia, Sudahkah Kita Beragama?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fiqh Itu Tidak Statis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masalah Ketimpangan Gender dalam Dunia Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Kemerdekaan bagi Para Penyintas Kesehatan Mental

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Kemerdekaan bagi Para Penyintas Kesehatan Mental
  • Masalah Ketimpangan Gender dalam Dunia Pendidikan
  • Keluarga Satu Visi Ala Nabi Ibrahim As (4)
  • Sebagai Manusia, Sudahkah Kita Beragama?
  • Fiqh Itu Tidak Statis

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist