• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Imam As-Syafi’i dan Teladan Relasi Sosial Lintas Akidah

Para ulama adalah pewaris para nabi. Imam as-Syafi’i termasuk seorang ulama besar yang mewarisi sifat, keilmuan, hikmah serta prinsip hidup mereka, baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
10/01/2023
in Hikmah, Rekomendasi
0
Relasi Sosial

Relasi Sosial

474
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Memiliki relasi sosial lintas akidah, berarti menjadi manusia universal dan pluralis. Manusia tipe ini adalah orang yang tanpa lelah menjunjung tinggi kemanusiaan, walau ia kerap mendapat hardikan, bentakan, caci maki dan sikap-sikap yang tak manusiawi. Mereka adalah golongan yang tidak pernah menganggap lawan seperti musuh, kendati diri dia selalu dimusuhi.

Gus Dur misalnya, ia merupakan manusia universal yang relasi sosialnya tak terhalang oleh sekat-sekat “agama”, ras, suku, warna kulit, gender dan sekian pembatas lainnya. Dan hal ini, tentu pernah diteladankan oleh para pendahulu kita. Dari kalangan para ulama, imam as-Syafi’i adalah salah satunya.

Suami dari seorang perempuan mulia bernama Hamdah binti Nafi’, keturunan Sayyidina Utsman bin ‘Affan ini, adalah sosok ulama dengan relasi sosial lintas akidah. Siapa sangka, ternyata orang sekaliber as-Syafi’i lahir dari salah seorang gurunya yang menganut paham Mu’tazilah.

Rupanya as-Syafi’i pernah duduk mengaji di hadapan syekh Ibrahim bin Abi Yahya, seorang mu’tazili 24 karat. Tidak hanya itu, di antara pengikut Syafi’i sentris juga ada dari kalangan Mu’tazilah, yaitu al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamdani (w. 415 H).

Catatan sejarah ini tentu menjadi pelajaran toleransi yang tidak boleh terpendam. Harus muncul di permukaan tanah dan menjadi pemandu jalan sikap toleransi di tengah masyarakat.

Baca Juga:

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

Menakar Ekoteologi Kemenag Sebagai Kritik Antroposentrisme

Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina

Prinsip Penghormatan dan Kasih Sayang Jadi Fondasi untuk Berelasi Antar Manusia

Baginda Nabi sebagai Insan Universal

Tak pelak lagi, baginda Nabi Muhammad sang manusia paripurna adalah insan universal. Utusan Tuhan sang Maha Universal, pemilik jagat semesta. Baginda Nabi diutus sebagai rahmatan lil’alamin, penyempurna moralitas terpuji untuk seluruh umat manusia. Suami kinasih Khadijah tersebut selalu berdakwah dengan kasih sayang kepada siapa saja tanpa pandang agama, ras, budaya, gender, dan sekat-sekat lainnya.

Terbentang kisah-kisah menarik terkait relasi sosial baginda Nabi dengan sekalian umat yang berbeda agama. Kawan-kawan bisa dengan mudah menemukannya dalam buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama karya kiai Faqihuddin Abdul Kodir, bapak Mubadalah.id. Namun, dalam tulisan singkat ini, penulis akan menyajikan satu kisah inspiratif antara baginda Nabi dengan seorang anak beragama Yahudi.

Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut an-Nafis (hal. 248) menulis bagaimana bentuk kasih sayang baginda Nabi kepada seorang anak beragama Yahudi yang bertatus sebagai pengabdi yang membantu kebutuhan-kebutuhan Rasulullah. Dan, jangan kira baginda Nabi mengasihsayanginya lantaran status sebagai pengabdi tersebut.

Bukan. Melainkan karena baginda Nabi adalah insan dengan prinsip universal yang tidak dapat terhalangi oleh sekat apapun. Jangankan kepada pengabdinya, seorang tunanetra non muslim yang tiada bosan mencaci maki pun tetap beliau suapi makan dan minumnya.

Anak Beragama Yahudi Masuk Islam di Akhir Hayat

Tepatnya, saat itu, abdi baginda Nabi yang beragama Yahudi ini jatuh sakit yang cukup parah. Si anak tersebut hanya bisa berbaring tak berdaya di ranjang bilik rumahnya. Mendengar kabar itu, baginda Nabi lekas pergi membesuk anak tersebut. Sampai di sana, anak yang belum mencapai usia balig itu tengah ditemani sang ayah. Baginda Nabi tetap masuk seraya memberi salam hormat dan lalu menghampiri sang anak.

Melihat kondisi yang tak kunjung membaik, bahkan semakin parah, baginda Nabi bersabda, Qul asyhadu anla ilaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah, “Katakanlah aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah,” ucapnya dengan raut muka penuh perhatian. Rupanya baginda Nabi sangat berharap si pengabdi setianya ini tidak hanya mengikutinya selama di dunia saja. Melainkan sampai di surga nanti.

Karena ayah dari anak tersebut masih memeluk agama Yahudi, bahkan sangat setia pada agama nenek moyangnya, si anak pengabdi tersebut tentu merasa sangat tidak enak hati akan mengucapkan syahadat di hadapan ayahnya. Ia sempat menoleh ragu, melihat bagaimana respon sang ayah. Satu sisi dia tidak ingin mengecewakan baginda Nabi yang menaruh atensi besar kepadanya. Namun, di sisi lain ia tidak mungkin membuat ayahnya murka.

Hening. Tiada barang sedikit suara yang terdengar dari ketiganya. Sang anak hanya mampu merasakan detak jantungnya sendiri. Di luar dugaan, sang ayah yang ia prediksi akan murka, ternyata malah sangat berbeda. Ia malah mengangguk memberi isyarat kepada buah hatinya. Ia membolehkan putranya meninggalkan agama nenek moyang, dan masuk agama Muhammad.

Bahkan dengan tabah hati mengatakan, Athi’ Abal Qasim (Wahai anakku, ikutilah apa kata Abu al-Qasim), ucap sang ayah pasrah. Lalu, sang anak pun bersyahadat di hadapan baginda Nabi dan ayahnya yang masih Yahudi.

Baginda Nabi setelah itu bersabda, Alhamdulillah alladzi najjahu (Segala puji Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut). Dari kisah ini tergambar terang bagaimana indah relasi sosial baginda Nabi dengan umat non muslim. Kalau saja tidak demikian, anak beragama Yahudi tadi hingga akhir hayat akan memeluk agama nenek moyangnya.

As-Syafi’i Dituduh Penganut Banyak Aliran Teologi

Para ulama adalah pewaris para nabi. Imam as-Syafi’i termasuk seorang ulama besar yang mewarisi sifat, keilmuan, hikmah serta prinsip hidup mereka, baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, khususnya. Dalam catatan sejarah para imam mazhab, as-Syafi’i disebut-sebut sebagai ulama yang berprinsip universal. Ia mampu menjalin relasi sosial dengan baik bersama para penganut aliran teologi yang lain; seperti Mu’tazilah, Rafidhah dan Musyabbihah atau Mujassimah.

Terbukti, as-Syafi’i pernah diklaim oleh para ulama pentolan tiga mazhab tersebut bahwa dirinya merupakan penganut ajaran akidah mereka. Di samping sebagai data yang unik, juga sekaligus menjadi bukti kuat bahwa Muhammad bin Idris as-Syafi’i adalah seorang ulama universal yang sukses menyulam rapi relasi sosialnya dengan orang-orang lintas akidah. Mengapa saya bilang “data yang unik”, karena hal ini bukan saja jarang terjadi. Bahkan sangat langka.

Meneladani Prinsip Universal Imam Syafi’i

Di mana, tuduhan-tuduhan sesat, kafir dan bidah, lumrahnya muncul dari oknum atau kelompok duri dalam daging. Alias dari internal kita sendiri. Seperti tuduhan kepada Abu Hanifah sebagai penyembah api, penganut ajaran Zoroastrianisme, tiada lain muncul dari kaum muslimin sendiri. Sebaliknya dengan as-Syafi’i. Ia tidak mendapat tuduhan dari golongannya. Melainkan tuduhan tersebut melayang dari golongan lain; Mu’tazilah, Rafidhah dan Musyabbihah bahwa as-Syafi’i penganut ajaran mereka.

Dan, tugas para ulama generasi as-Syafi’i adalah membantah tuduhan-tuduhan itu. Imam Muhammad bin Umar bin al-Husein, penulis tafsir Mafatih al-Ghaib yang fenomenal itu menulis sejarah tuduhan ini berikut dengan argumentasi masing-masing golongan dalam Manaqib al-Imam as-Syafi’i (hal. 91-94). Kawan-kawan bisa merujuk serta memahaminya secara rinci.

Ini salah sebuah bukti bahwa as-Syafi’i adalah manusia universal yang bergaul dan menjalin relasi sosial yang baik dengan orang-orang lintas akidah. Sampai-sampai ia menerima tuduhan-atau barangkali lebih tepat dengan istilah klaim-bahwa as-Syafi’i termasuk bagian dari mereka. Dan, prinsip-prinsip universal seperti ini penting kita teladani. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []

 

 

 

Tags: Akidahgus durimam syafi'ikemanusiaanmanusiarelasi sosial
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID