Mubadalah.id – Beberapa tahun lalu salah satu teman saya membalas unggahan snap-WhatsApp saya yang berisikan tentang kelas feminisme. Tiba-tiba dia beranjak menjadi seorang penasehat, “Hati-hati lho sama ajaran feminisme, nanti kamu dibawa ga benar, soalnya feminisme tidak sejalan dengan Islam.” Sejenak pikiran saya memutar sambil bertanya-tanya, benarkah feminisme bertentangan dengan Islam? Padahal saya tahu dan merasakan kebermanfaatan semangat feminisme sangat besar khususnya untuk perempuan.
Rasanya mencari benang merah antara feminis dengan Islam sangat menarik untuk dibedah. Karena saya yakin seseorang yang sepakat dengan feminisme akan menerima pertanyaan serupa “Apakah feminisme sejalan dengan Islam?” dan kita sebagai orang muslim yang sepakat dengan feminisme tentu harus bisa menjawabnya.
Bagi saya feminisme adalah sebuah gerakan yang memperjuangkan hak-hak keseteraan gender, artinya jenis kelamin apapun, orientasi seksualnya seperti apa, ekspresi gendernya bagaimana pun itu tetap memiliki hak-hak peran sosial sebagai manusia utuh. Jika ada seseorang yang menyebutkan feminis itu membenci laki-laki dan tidak menikah, kurang tepat rasanya jika narasi tersebut dihadirkan, karena tujuan dari feminisme adalah terciptanya masyarakat yang adil gender.
Betul, ada aliran feminisme yang membenci laki-laki dan, memilih untuk tidak menikah, tetapi, tidak bisa hal itu digeneralisir bahwa feminisme semuanya seperti itu. Itu hanya soal pilihan yang setiap orang mempunyai cara dan jalan sendiri untuk menciptakan masyarakat yang adil gender.
Sama halnya dalam Islam, umat Islam sepakat bahwa Islam sangat menjunjung nilai kemanusiaan. Tetapi dalam praktik menuju kemanusiaan tersebut berbeda-beda tergantung cara fikir seseorang. Buktinya saya seorang feminis tetapi saya menyukai laki-laki dan ingin menikah. Lantas apa alasan Islam tidak sepakat dengan feminis?
Kondisi masyarakat sebelum ajaran Islam datang masih memperlakukan perempuan seperti benda dan harta. Misalnya perempuan ketika bayi rentan sekali untuk dikubur hidup-hidup, mereka juga dijadikan hadiah, jaminan utang, dan diwariskan. Hal tersebut menggambarkan bahwa posisi perempuan bukan sebagai manusia tapi seperti benda mati.
Bukan hanya itu, dalam wilayah privat perempuan rentan dipaksa menikah sebelum menstruasi, diceraikan sebelum menstruasi, dipoligami tanpa batas, dirujuk tanpa batas dan lain-lain. Bahkan perempuan tidak mempunyai hak penuh atas tubuhnya sendiri, dia mutlak di bawah kekuasaan dan kepemimpinan laki-laki. Perempuan sebelum menikah dia mutlak di bawah kekuasaan ayahnya. Sedangkan ketika sudah menikah dia mutlak di bawah kuasa suaminya.
Tetapi, setelah Islam datang dengan semangat tauhid kehidupan sosial masyarakat tersebut berubah. Semangat tauhid yang bermakna tidak menuhankan apa dan siapa pun selain Allah Swt. Dalam makna tata tauhid “Tidak ada Tuhan selain Allah”, jika seseorang menuhankan diri atas orang lain maka dia sudah melampau Allah. Semangat tauhid ini tentunya tidak hanya kembali pada Allah Swt., tetapi pada manusia itu sendiri. Hal tersebut terbukti dengan Islam membebaskan perempuan dari belunggu patriarki.
Nyai Nur Rofiah, Bil. Uzm. dalam bukunya menjelaskan bahwa pada saat Islam datang sekitar abad ketujuh Masehi, Islam menegaskan bahwa: Pertama, perempuan adalah manusia. Kedua, setiap manusia adalah hanya hamba Allah Swt. Ketiga, setiap manusia adalah khalifah fil ardh yang mempunyai mandat mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi. Artinya, laki-laki dan perempuan hanya hamba Allah Swt. Perempuan bukan hamba laki-laki, dan keduanya harus aktif mewujudkan kemaslahatan di muka bumi.
Jelas sekali setelah Islam datang tidak ada lagi penguburan hidup-hidup anak perempuan, perempuan tidak dijadikan warisan, bahkan sekarang diberikan hak waris, perempuan diakui keberadaannya sebagai manusia, tidak ada lagi perbudakan perempuan, poligami dibatasi hanya 4 dan itu pun dengan syarat adil dan masih banyak lagi. Bagaimana sudah sepakat bahwa feminisme sejalan dengan Islam?
Melihat fakta historis yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa gerakan feminisme yang digaungkan sekarang ini ternyata nilai dan semangatnya sudah dipraktikkan oleh Islam sejak dulu. Islam dengan membawa nilai-nilai ketauhidan membebaskan perempuan dari belenggu patriarki. Maka jika disimpulkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang ‘feminis’, karena secara praktik dia sudah seperti seorang feminis yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender.
Jadi dapat disimpulkan semangat feminisme tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan Islam dan sudah dipraktikkan oleh Islam terlebih dahulu. Jika saat ini kita masih mengamini budaya patriarki, maka kita sudah 1000 kali mundur ke belakang karena budaya patriarki adalah budaya masyarakat jahiliyah. []