Tidak perlu survei dengan menggunakan metodologi apapun untuk menggali jawaban “siapakah yang paling sibuk dengan pekerjaan dapur lebih lebih di Bulan ramadhan? “. Karena jawaban telah ditemukan sebelum survei dilakukan, ia adalah Istri.
Teringat pada status Ibu Lies Marcoes setahun yang lalu. Konon beliau bergegas pulang tidak lagi mendengarkan khutbah iedul fitri, karena sang khatib dengan keyakinan pengetahuannya berceramah tentang ketaatan dan kepatuhan istri kepada suami.
Jika tidak, sekuat apapun ibadahnya, maka ia akan tetap menghuni neraka. Ini khatib tidak paham konteks, bagaimana khatib dengan tega mengatakan seperti itu, menakut-nakuti istri, termasuk istrinya sendiri masuk neraka, di saat khutbah iedul fitri pula.
Momen yang seharusnya membahagiakan. Padahal yang paling sibuk di bulan ramadhan adalah istri, mulai mempersiapkan buka puasa, makan kedua, sampai bangun lebih dulu mempersiapkan sahur, bahkan mempersiapkan aneka jajanan dan baju lebaran anak anaknya. Barangkali sang khatib ini dilahirkan dari batu, bukan dari rahim ibu. Tidak memberi ruang bahagia sedikitpun setelah istri istri capek sebulan penuh.
Sepertinya masih banyak laki laki yang cara pandang dan perlakuannya kepada istri seperti khatib itu. Istri bukan lagi sebagai mitra hidup, melainkan mirip pembantu. Bukan hanya dalam bulan ramadhan, melainkan setahun penuh. Ya ayyuhal suami suami.. Sudahkah kita istirahatkan istri-istri kita, setidaknya sebulan ini saja. Atau jika tetap bekerja, bantulah. Kalau tidak bisa bantu, jangan lagi kau takut-takuti dengan api neraka, apalagi dengan dalil dalil agama yang kau pilih pilih sendiri.
Pada dasarnya menggiling gandum, membuat roti, memasak, mencuci dan pekerjaan rumah lainnya bukanlah kewajiban Isrti. Demikian menurut Imam Ahmad Bin Hambal dan juga menurut an Nawawi dalam kitab Majmu’nya. Jika pun Istri melakukan pekerjaan pekerjaan rumah, itu semata-mata bagian dari mu’asyarah bil ma’ruf yang dijalankan istri. Sekalipun memang ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa istri berkewajiban melakukan pekerjaan rumah sesuai dengan tradisi yang berlaku.
Al Qur’an tidak menyebut dan mengatur pekerjaan mana yang harus dilakukan suami dan mana yang dilakukan istri. Pekerjaan rumah tangga tidak berjenis kelamin. Al Qur’an lebih banyak memberikan prinsip dan nilai-nilai dalam hidup berrumah tangga.
Prinsip-prinsip itu antara lain adalah “mu’asyarah bil makruf” (saling memperlakukan pasangan secara wajar dan layak), “tasyawurin” (memusyarahkan apa yang terbaik bagi keluarga), “tardhin” (saling merestui, saling membahagiakan), dan husnut tafahum (saling mengerti dan memahami).
Inti dari prinsip dan nilai itu adalah “kesalingan” dan “keseimbangan”. Atas prinsip-prinsip inilah seharusnya rumah tangga dibangun. Tampanya, tidak akan ada “mawaddah” dan “rahmah” dalam keluarga. Tanpa keduanya tidak ada sakinah, tidak ada kedamaian dan ketenteraman dalam rumah Tangga.
Momen Ramadhan adalah saat yang tepat untuk membangun kesalingan dan keseimbangan terlebih di tengah social distancing akibat pandemi Covid-19. Kegagalan membangun kesalingan dan keseimbangan dalam keluarga, hanya akan melahirkan kekerasan dalam rumah tangga.
Hasil beberapa kajian lembaga nasional maupun internasional menunjukkan kenaikan angka kekerasan dalam rumah tangga di tengah Covid 19 ini. Padahal logikanya, ketika suami istri dan anak anak sama sama berada di rumah, maka pekerjaan dan beban rumah tangga bisa dipikul dan dirasakan bersama. Nah jika yang terjadi justru sebaliknya, yakni meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, maka ada prinsip dan nilai yang salah dalam keluarga.
Maka, mari kembali, menghayati dan meresapi prinsip dan nilai nilai al Qur’an, yaitu mu’asyarah bil makruf, tasyawurin, taradhin, husnut tafahum, dan yang semaknanya. Dengan prinsip-prinsip ini diharapkan terwujud mawaddah wa rahmah sebagai dua modal utama membangun keluarga sakinah, keluarga maslahah, kelurga bahagia-sejahtera. Amin. Wallahu A’lam. []